Pulau Siompu terletak di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Lokasinya berada di sebelah selatan Pulau Buton. Kami berkunjung ke Pulau Siompu seusai melaksanakan camping ceria di Pulau Liwutongkidi.
Kami menuju Pulau Siompu setelah mengantarkan Bapak Kepala Desa Kapoa Barat pulang ke Pulau Kadatua, lalu kami menuju ke Pulau Siompu. Kembali lagi kami melihat Pulau Liwutongkidi, namun kali ini terpisahkan oleh air asin.
Kami menuju ke Pelabuhan Siompu yang merupakan pelabuhan terbesar dan terdekat dari Pulau Kadatua. Ada pelabuhan lainnya, namun lokasinya berada di sisi lain pulau dan biasanya hanya digunakan sebagai pelabuhan pendukung, bukan primer seperti Pelabuhan Siompu. Pada artikel selanjutnya akan saya tampilkan foto beberapa pelabuhan pendukung tersebut.
Perjalanan ini kami lakukan pada tahun 2017 bulan November, jadi mungkin sudah banyak ada perubahan di lapangan pada saat artikel ini di unggah.
Kami dijemput oleh Kepala Desa Tongali yang bernama Bapak La Ahmad, atau biasa dipanggil Metro oleh Bapak Camat Siompu Barat. Pulau Siompu terbagi menjadi 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Siompu dan Kecamatan Siompu Barat. Untuk kunjungan pada artikel ini, saya akan bercerita mengenai perjalanan di Kecamatan Siompu saja terlebih dahulu.
Akhirnya kapal yang kami tumpangi bisa bersandar di bibir Pelabuhan Siompu, merapat erat dengan tepian kaki beton pelabuhan. Saya masih saja terkagum-kagum dengan perairan di daerah ini, bening dan jernih. Saya dengan mudahnya mengambil gambar dasar laut hanya dengan memutar sedikit filer CPL yang saya gunakan.
Sudah ada angkutan beroda empat dengan warna putih, yap sebuah kendaraan dinas Kecamatan Siompu sudah siap mengantarkan kami berkunjung ke beberapa lokasi. Karena keterbatasan tempat duduk, maka saya memilih untuk membonceng motor besama Bapak Kepala Desa Kaimbulawa saja, sehingga saya lebih leluasa untuk memotret suasana sekitar.
Tujuan pertama adalah berkunjung ke Pantai Desa Tongali, lokasinya berada di sebelah selatan Pelabuhan Siompu. Di pantai ini rupanya sedang ada pembangunan talud agar tidak terjadi abrasi yang berlebihan di Desa Tongali.
Saya bersama Mas Jussac melangkahkan kaki menuju ke ujung pantai yang sedang surut kala itu. Pasir putih dan halus, khas bentukan daerah pesisir tanpa aktivitas vulkanik.
Rupanya di pantai ini terdapat hamparan padang lamun yang luas, terlihat juga ada banyak gundukan pasir yang menandakan masih banyak aktivitas biota laut di daerah ini.
Kami menyusuri jalan setapak di antara padang lamun yang terbentuk karena aktivitas manusia, Mas Dzul tidak lama kemudia menyusul kami untuk bisa melihat lokasi padang lamun tersebut. Tahukah anda kalau padang lamun dan Dugong itu ternyata memiliki keterkaitan erat? bisa disimak artikel Lamun dan Dugong untuk Bahari yang Lebih Lestari.
Kami akhirnya kembali ke daratan, menyusuri jalanan Desa Tongali yang kini sudah terbuat dari beton. Di kiri dan kanan sebagian besar rumah warga terdapat pagar dengan warna merah putih, selain itu terlihat beberapa tanaman sayur di kebun-kebun tersebut. Budidaya sayur di kebun sendiri.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya, jalan mulai sedikit menanjak dan mengantarkan kami ke tempat yang lebih tinggi sehingga bisa melihat Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua dari Pulau Siompu.
Akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang bernama Tebing Kapapore. Sebuah tebing dengan pemandangan pantai lepas ke Laut Flores. Kami disajikan panorama Laut Flores yang luas, tebing-tebing serta pantai yang dalam satu paket bisa terlihat dari satu buah titik di Tebing Kapapore.
Terlihat air laut yang jernih dan beragam gradasi warna biru di tepian Pulau Siompu. Belum dipastikan juga apakah di perairan tepian Tebing Kapapore ini masih memiliki terumbu karang yang terjaga kelestariannya.
Beruntung sekali kami diberikan cuaca yang cerah saat itu, walaupun harus berdamai dengan terik yang membuat kami cepat berkeringat. Sebenarnya ada jalan setapak untuk bisa turun ke pantai di bawah sana, menuju ke batas air dan daratan, namun karena keterbatasan waktu maka niat tersebut saya urungkan.
Pak La Ahmad, Mas Jussac, dan Saya sempat turun ke bawah, menyusuri jalan setapak di bawah tebing. Ada tangga batu yang menurun, digunakan apabila ingin menuju ke sebuah pantai karang di bagian bawah Tebing Kapapore. Jika sedang musim hujan, tebing-tebing di samping tangga tersebut menggeluarkan mata air yang turun dari akar-akar pepohonan yang berada di atasnya.
Saatnya berpindah tempat lagi, kali ini kami berkunjung ke sebuah lokasi yang sangat vital bagi warga di sini, yaitu sumber air tawar di Desa Wakinamboro.
Lokasinya berada di sebuah gua di bawah bebatuan besar dengan banyak pepohonan yang mengakar kuat. Layaknya daerah dengan tanah kapur pada umumnya, persediaan air tawar selalu berada di bawah permukaan tanah, karena tidak memungkinkan adanya sungai di permukaannya.
Saya sempat turun ke bawah, seingat saya ada 71 anak tangga yang tidak ada penerangannya, hanya mengandalkan cahaya remang dari mulut gua. Sesekali melepaskan cahaya flash dari kamera untuk memetakan dimana tangga selanjutnya untuk menapakkan kaki dengan baik.
Untuk bisa mengalirkan air ke atas gua, maka digunakan pompa agar air bisa dialirkan ke warga sekitar. Saya sempat mencicipi dan membasuh wajah di sini, airnya terasa tawar dan sangat menyegarkan. Maklumlah, beberapa hari ini kulit saya terkena angin laut dan gosok gigi dengan air payau.
Ada papan informasi di dekat akses masuk ke gua, namun tulisannya sudah samar dan tidak bisa terbaca dengan baik. Namun sekilas saya masih dapat menemukan kata “budaya” dan “pariwisata” di papan tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan mengunjungi sebuah Rumah Adat yang terletak di depan Kantor Desa Nggulanggula. Rumah Adat ini biasa digunakan untuk kegiatan adat atau acara kemasyarakatan lainnya. Tanpa pintu dan memiliki langit-langit yang tinggi, menyesuaikan dengan suhu dan kelembapan udara di daerah ini. Saya pernah baca dimana, disebutkan bahwa budaya manusia terbentuk karena alam sekitarnya.
Di sekitar lokasi masih banyak ditemukan rumah warga dengan desain tradisional, berbentuk rumah panggung dengan bahan utama kayu. Belum nampak adanya rumah dari beton ataupun batako. Menginap di rumah panggung seperti ini rupanya seru sekali.
Tujuan selanjutnya adalah sebuah mata air lagi, namun saat kami sampai di lokasi, akses jalan masuknya sudah ditutup. Di sekitaran lokasi merupakan hutan bambu namun dengan tingkat kerapatan yang sedang. Instagramable sekali sebenarnya, namun kami harus berpindah tempat kembali.
Saya yakin ketika pagi saat musim kemarau akan menampakan ROL yang sangat indah seperti saat saya mengunjungi kebun bambu Boonpring Andeman di Desa Sanankerto.
Kali ini kami hendak menuju ke sebuah kebun jeruk khas daerah Siompu, katanya jeruknya berukuran lebih kecil dari jeruk pada umumnya namun rasanya sangat manis. Terbayang bukan bagaimana rasanya dahaga kami saat dikabari akan berkunjung ke kebun jeruk yang tentunya sangat menyegarkan.
Melintasi jalanan aspal hingga kerikil, sampai akhirnya kami terhenti karena jalan masih dalam proses pembangunan sehingga hanyalah kaki yang bisa menapaki bebatuan besar untuk bisa menuju ke kebun jeruk siompu.
Akhirnya kami tiba di kebun jeruk siompu, dan rupanya setelah mencari ke sana kemari, belum ada jeruk yang matang dan belum ada satupun yang bisa dikonsumsi. Karena penasaran, ada satu buah jeruk yang sudah menampilkan sebagian warna kuning. Kami buka dan dicicipi, rupanya masih masam. Hahaha air putih terasa lebih segar saat itu.
Mas Jussac bukan hanya mencicipi jeruk, namun cabai, iya cabai. Entah ada apa tetiba ia memetik cabai di kebun tersebut lalu mencicipinya tanpa gorengan. Bagaimana rasanya? iyak, betul, pedas, pedas sekali, cabai di daerah pantai akan terasa lebih pedas karena kandungan airnya yang lebih sedikit. Tentu saja Mas Jussac meminum air putih cukup banyak setelah menikmati cabai tersebut.
Kami sempat beristirahat di sebuah bangunan kecil di kebun tersebut, seperti gubug namun bertingkat. Sepertinya kami sempat tertidur sejenak menanti Bu Herma mengobrol dengan Bapak Kepala Desa Kaimbulawa terkait kebun jeruk tersebut. Kami tidur di bawah, mereka mengobrol di atas.
Bu Herma sempat bercerita bahwa jeruk yang ada di Pulau Siompu ini tidak bisa dibudidayakan di daerah lain, jikapun bisa hasilnya tidak akan semanis seperti buah jeruk di Pulau Siompu.
Lalu tak berapa lama, kami diajak Bapak Kepala Desa Kaimbulawa untuk mampir ke rumahnya. Di rumahnya kami disuguh kelapa mudah yang benar-benar menyegarkan di siang yang terik tersebut. Alhamdulillah, kesegaran yang haqiqi ditambah angin sepoi yang berhembus.
Kami selanjutnya diajak ke sebuah tempat pemandian, atau tempat renang ya sebenarnya. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Bapak Kepala Desa Kaimbulawa, melewati jalan aspal yang membelah hutan bambu.
Kami menepi, melanjutkan langkah dengan berjalan kaki di atas sebuah jalan beton yang segera menampakkan pemandangan laut di sela-sela pepohonan. Namanya Pemandian Air Loka.
Air Loka merupakan sebuah kolam pemandian yang langsung bertemu dengan air laut. Pada satu titik, tepatnya di bawah pohon besar, keluar mata air tawar yang segera bercampur dengan air laut yang masuk ke dalam area pemandian. Airnya jernih, tidak ada gelombang, diteduhi oleh pepohonan rindang di sekitarnya.
Selain itu, dibalik bebatuan yang menjadi pagar alami antara kolam pemandian dengan laut, ada banyak bebatuan besar yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk berpindah ruang pandang ke Laut Flores.
Sebuah tempat bersandarnya kapal nelayan, namun juga digunakan untuk berenang, atau juga mandi. Airnya nampak segar dan amat sayang kalau hanya dianggurkan saja tanpa nyebur ke dalamnya.
Segera Mas Jussac dan Mas Dzul melepas baju mereka, melihat mereka berbilas air sejernih itu maka saya tanpa berpikir panjang segera menyusul mereka.
Jadilah kami bertiga berenang di tempat tersebut. Bu Herma sempat heran melihat saya sampai berenang karena pada hari-hari sebelumnya biasanya hanyalah Mas Jussac dan Mas Dzul saja yang gemar masuk ke dalam air.
Bagi saya, inilah pengalaman pertama bisa berenang di tempat seperti ini. Sayangnya ada beberapa sampah plastik yang tersangkut di bebatuan. Kami sempat membersihkannya karena merasa risih saja bila tempat sekeren ini harus ada sampahnya.
Lalu ada 2 orang anak kecil yang ikut bergabung bersama kami, entah siapa namanya, pokoknya seru saja rasanya berenang beramai-ramai sore itu. Saya tidak bisa berenang lho ya, ketolong saja sama tempat renangnya yang tidak terlalu dalam ini.
Saya tetiba teringat, dimanakah saya menyimpan foto-foto hasil jepretan Bang Ebi saat ada di lokasi ini. Dulu sudah sempat saya salin, tapi entah dimana, saya cari-cari tidak ketemu, padahal ada foto saya saat berenang di sini lho kalau pada gak percaya saya bisa main air. Hehehe
Akhirnya kami beranjak dari kesegeran di tempat tersebut. Kembali ke tempat Bapak Kepala Desa Kaimbulawa untuk berpamitan. Selanjutnya kami akan berpindah ke Kecamatan Siompu Barat. Ada banyak keseruan lainnya juga saat kami berkunjung ke Kecamatan Siompu Barat, nantikan kelanjutan artikel ini.
19 comments
Membaca kisah Mbk ini jadi teringat perjalananku selama di Padang, pengen aku tulis juga nih, semoga masih ingat. Sangat menginspirasi kisahny Mbk
aduh aku dipanggil Mbk, sebentar saya pakai bedak dulu, hehehe
Ayo ditulis, aku juga pingin baca, belum pernah ke Padang juga,,,
Belum pernah ke Buton selatan, ternyata di sana cantik sekali. Air lautnya bening pula.
Semoga suatu saat bisa traveling ke sana.
Amiin mba, semoga bisa terwujud ya untuk berkunjung ke Buton Selatan
Masya Allaaah…. indahnya alam Indonesia, ya. Airnya juga bening gitu. Maklooooom…. daku terkurung di kota yang air sungainya aja keruh 😥
Mari berkeliling ke luar dari kota-kota yang bersungai keruh,,,,,
Tempatnya bagus dan cakep2 ya. Duh, jadi pengen banget kesana… Ajak dong kapan2. Hehe…
Yuk mari, gas segera untuk ke sana,,,,hahaha
Asyik banget kayaknya ni yah jalan jalan gini
Jadi pengen neh
Lihat alam pemandanga gini
Dilihat memang seru, yang di lapangan jauh lebih seru, hehehe
Air Loka. Hhhhmmm airnya perpaduan air tawar dan air asin dari laut. Keoengen nyebur dan berlama2 di asna deh. Btw, wisata Pulau Siompu ini menyenangkan tapi kudu punya effort tinggi ke sana kemari (Baca: apalagi buat emak2 & kiddos hahaha) 😀 Lagi ngebayangin 70an anak tangga, masuk ke dalam gua tanpa penerangan itu gimana yach? Hiiiyyyyy, kalau sendiri bahaya kayaknya ya mas 🙂 Nice story.
Terimakasih mba,
Kalau emak2 sama kiddos mainnya di pantai saja, biar santai-santai saja….
Seruuuu banget wisata d Buton Selatan ini.
Asri dan natural sekalii
kalo pandemi udah bubar, pengin bgt ke sana
mari nabung nabung buat bisa gas ke sana, sebentar lagi pandemi ya selesai kok
suasananya masih asri dan banyak banget hidden gems nya yang seru untk dieksplorasi. BTW kalau ngga ada pemandu bisa kah? atau harus pake pemandu sekalian beli paket wisata?
Betul, masih banyak potensi wisata di sana yang belum dieksplorasi.
Saya rasa tanpa pemandu bisa, cukup tanyakan ke warga sekitar, pasti sampai tujuan
Ternyata banyak tempat keren di Indonesia.
Kasih tips dan trick perjalanan biar bisa yaa estimasi dana kalau mau jalan2 kaya begitu…
waduh, ini perjalanan dibayarin owk, jadi gak tahu dananya berapa, hihihi
Wah keadaan disana indah sekali ya kak, , keren banget nggak pengen pulang pasti saking indahnya..