Hari mulai beranjak sore saat Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan di Batauga telah ditutup. Segera kami mengemasi peralatan, lalu berpindah ruang untuk berganti kostum agar lebih nyaman saat penyeberangan nanti. Kami akan menyebrang ke Pulau Kadatua, untuk bermalam di Desa Waonu.

Langit sore ketika kami bergegas menuju ke Pelabuhan Topa

Saya saat itu berada dalam rombongan yang berjumlah 7 orang, Bu Herna, Bang Ebi, Mas Jussac, Mas Zul, Kepala Desa Waonu, dan Kepala Desa Kapoa Barat. Kami menyebrang dari Pelabuhan Topa yang terletak di Kota Baubau, memakan waktu sekitar 30 menit berkendara dari Batauga, Ibukota dari Kabupaten Buton Selatan.

Mas Jussac dan Bu Herna sudah siap menuju ujung dermaga di Pelabuhan Topa


Senja menyambut kami di Pelabuhan Topa (foto 360, silahkan diputar-putar)

Sesampainya di Pelabuhan Topa, rupanya kami tidak perlu takut kehabisan alat transportasi. Banyak sekali perahu kecil yang siap mengantarkan penumpang ke Pulau Kadatua kapan saja. Sehingga saat itu kami bisa segera naik dan melewatkan senja di atas laut.

Mas Zul dan saya duduk di belakang, di samping mesin, kalau ngobrol berasa kayak di acara nikahan, harus TREAK TREAAK….KWKWKW


Saya dan Mas Zul asyik di belakang mesin kapal yang otok otok otok otok bunyinya (foto 360, silahkan diputar-putar)

Mungkin hanya perlu waktu sekitar 15 menit dari Pelabuhan Topa untuk bisa mencapai Pelabuhan Banabungi, sebuah pelabuhan sederhana yang sering digunakan oleh warga Pulau Kadatua ketika akan bepergian ke Kota Baubau. Saat kami sampai di Desa Banabungi, hari telah gelap dan sama sekali saya tidak bisa mendokumentasikan apa-apa.

Lalu kami dijemput oleh mobil angkutan yang biasa mengantarkan penumpang dari Pelabuhan Banabungi. Setelah semua barang kami naik ke dalam mobil, segera kami bertujuh melanjutkan perjalanan melalui jalanan di Pulau Kadatua. Kiri-kanan terlihat gelap, sesekali kami memasuki perkampungan, lalu kemudian kembali memasuki daerah yang gelap dan sepi.

Sesampainya di Desa Waonu, saya langsung terkesan dengan rumah Kepala Desa Waonu. Rumah Panggung, rumah yang dari dulu saya impikan untuk bisa bermalam, kali ini bisa terwujud. Dengan ramah Kepala Desa Waonu mempersilahkan kami masuk dengan menaiki tangga kayu yang memiliki anak tangga ganjil.

Kami meletakkan barang bawaan kami sementara di sebuah kamar sederhana, yang penting bisa masuk, urusan pembagian posisi tidur urusan belakangan. Kami diperkenalkan dengan anggota keluarga Kepala Desa Waonu, salah satunya adalah Bang Hartono, seorang mahasiswa jurusan sejarah yang sangat membantu kami ketika berkeliling di Desa Waonu.


Kumpul bersama di kediaman Kepala Desa Waonu (foto 360, silahkan diputar-putar)

Semua berkumpul di ruang tamu, terasa hangat suasana malam itu. Saya melirik jam tangan, baru pukul 20.00 WITA. Jamuan berupa jajanan tradisional berserta teh hangat serta kopi menemani obrolan santai kami. Obrolan santai tersebut tidak jauh-jauh tentang sejarah Desa Waoni, kebiasaan masyarakat, kuliner, hingga rencana Kepala Desa Wanonu untuk mengembangkan Desa Waonu.

Kebetulan pada malam itu ada perkumpulan karang taruna, para remaja di Desa Waonu sedang mengadakan rapat di Balai Desa Waonu. Kami diajak Kepala Desa untuk sejenak hadir untuk bersilaturahim dengan para remaja Desa Waonu. Saya selalu merindukan saat seperti ini, berjumpa dengan para calon generasi baru di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, mereka terlihat polos dan antusias.


Ikut nimbrung di acara para remaja Desa Waonu (foto 360, silahkan diputar-putar)

Bersama para generasi muda Desa Waonu, SEMANGAAT….!!!!11

Tidaklah lama kami berada di dalam acara para remaja tersebut, selain waktu sudah malam, juga saat itu bukanlah hari libur, jadi tidaklah elok ketika kami harus meminta waktu istirahat mereka. Seperti biasa, sebelum berpamitan, foto bersama terlebih dahulu, siapa tahu kelak kami bisa berjumpa lagi di tempat yang tak terduga.

Kameranya kurang mumpuni untuk mengabadikan Milky way, padahal menurut kalender bulan sudah bisa, mungkin jam yang kurang tepat.

Setelah kami sampai kembali di rumah Kepala Desa, segera saya mengisi ulang semua perangkat elektronik, maklumlah karena listrik di Pulau Kadatua hanya menyala saat malam hari saja. Sehingga saya harus bisa memastikan kegiatan di siang hari aman dari yang namanya kehabisan baterai.

Baca Juga :  Mempelajari Apel dan Jeruk di Desa Wisata Poncokusumo
Pagi di Desa Waonu, mendung sesudah hujan

Pagi harinya, saya terbangun cukup awal, berencana untuk mengabadikan matahari terbit di sekitar rumah Kepala Desa. Namun mega mendung disertai angin kencang menandakan akan segera turun hujan, benar rupanya jika tak berapa lama hujan deras seketika membungkus keinginan saya untuk mengabadikan matahari terbit.

 

Saat hujan sudah berbaik hati menjadi gerimis, Bang Hartono mengantarkan adiknya untuk berangkat ke sekolah. Namun tidak berselang lama setelah berpamitan, mereka berdua kembali lagi, rupanya guru di sekolah mereka tidak berangkat karena hujan. Guru mereka tinggal di Kota Baubau, sehingga saat hujan menjadikan gelombang laut sebagai alasan untuk tidak menjalankan kewajiban mereka. Entah, mengapa mereka tidak tinggal saja di sekitar sekolah atau maksimal di Pulau Kadatua agar mereka bisa menjalankan kewajibannya.

Pantai yang berada di depan rumah Kepala Desa Waonu, entah Mas Jussac ngapain itu pegang hape, padahal thetering dari ponsel saya sedang mati.

Saat gerimis telah tiada, saya menuju ke daerah paasang surut laut yang berjarak satu rumah dari rumah Kepala Desa. Saya menuju gerombolan anak-anak kecil yang berlarian membawa ember cat bekas dan gayung. Mereka mengerumuni kubangan yang berisi air, mencari ikan dan kuda laut. Beberapa kali mereka berpindah kubangan sembari menghindari bulu babi yang kadang tersamarkan oleh warna karang.

 

Rasanya seru bisa mengikuti aktivitas mereka mencari ikan, bukan mencari aib teman sendiri. Mereka tahu benar memanfaatkan waktu saat laut pasang surut, karena siang nanti biasanya laut akan segera pasang naik. Lalu tak berselang lama, Bang Ebi memanggil saya, katanya sarapan sudah hampir siap, segera saya meninggalkan anak-anak kecil yang terlihat menikmati libur dadakannya.


Di pantai ini, pagi harinya banyak anak-anak kecil mencari kuda laut (foto 360, silahkan diputar-putar)

Sarapan pagi terasa nikmat dan santai, seperti biasa Mas Zul dan Mas Jussac adu balap menghabisi kepala ikan kakap. Suasana yang disajikan oleh keluarga Kepala Desa sangat hangat dan serasa menganggap kami ini adalah keluarga bukan tamu. Kami malah merasa nyaman karena tidak ada perlakuan spesial bagi kami, sehingga kami bisa merasakan benar bagaimana kehidupan sehari-hari di Desa Waonu.

Namanya Kima, tahukan kalau makhluk ini dilindungi penuh oleh PP No. 7 Tahun 1999 terkait pemanfaatannya.

Seusai sarapan, kami sejenak mengistirahatkan perut di teras rumah Kepala Desa. Ditemani secangkir kopi, angin pantai terasa bagai pemberat bagi kelopak mata saya. Namun tidak lama kemudian Bu Herna segera mengajak kami untuk mulai berkeliling Desa Waonu untuk mengunjungi beberapa titik yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kunjungan wisatawan.

Yuk, mulai bertualang di Desa Waonu dengan berjalan kaki


Pemandangan pemukiman di Desa Waonu (foto 360, silahkan diputar-putar)

Kami dipandu oleh Bang Hartono, anak sulung Kepala Desa Waonu dan 3 orang rekan sebayanya. Jalan utama di Desa Waonu sudah dibeton, lebarnya sudah cukup untuk berpapasasn untuk 2 mobil walau harus menepi sejenak. Sepanjang jalan saya melihat rumah adat warga desa yang berupa rumah panggung kayu. Walaupun ada sebagian kecil yang sudah berupa rumah beton.


Sekilas pemandangan di perjalanan (foto 360, silahkan diputar-putar)

Air hujan masih terlihat menggenang, merefleksikan langit Desa Waonu
Terlihat sepintas rumput tumbuh subur di tanah yang datar, namun ternyata rumputnya tumbuh menutupi tanah karang.

Langit masih terlihat mendung setelah menuntaskan bebannya berupa saat yang lalu. Perjalanan kami dengan berjalan kaki menyusuri jalanan Desa Waonu semakin nyaman. Setelah keluar dari area pemukiman warga, ruang pandang kami mulai dipenuhi oleh ladang-ladang warga yang sebagian besar ditanami ubi. Waktu panen ubi di daerah ini rata-rata mencapai waktu hampir 2 tahun karena media tanamnya bukanlah tanah vulkanik, namun tanah karang.

Berbelok di bawah pohon kelapa yang dijadikan sebagai penanda

Tujuan pertama adalah menuju ke sebuah Benteng yang berada di atas bukit karang. Benteng ini dibangun sebagai pertahanan Pulau Kadatua dari perompak pada saat masa penjajahan dulu, oleh karena itu semua Benteng di wilayah Buton pasti menghadap ke arah laut.

Mulai naik ke atas bukit, licin licin sekali
Berasa latihan untuk ikutan acara Ninja Warior, ahaha

Kami harus naik bukit dengan jalan yang bisa dibilang cukup menguras tenaga, bukan karena ketinggiannya, namun karena aksesnya yang cukup menguras keringat bagi yang tidak terbiasa. Sehingga perlu saling membantu agar tidak ada yang terpeleset atau kehilangan pegangan saat sedang bermanuver.

Baca Juga :  Berkunjung ke Desa Benowo, Purworejo. Mutiara Wisata di Pegunungan Menoreh
Bonus, kita harus berjalan lagi melalui ladang ini.

Seusai melintasi tanjakan, kami belum serta merta mencapai dinding benteng. Kami harus berjalan kembali sekitar 200 meter melintasi ladang dengan bebatuan karang guna bisa mencapai dinding benteng. Sesampainya di dinding benteng, kami harus mencari pintu masuk benteng dengan cara berjalan di permukaan dinding benteng.

Naik dulu ke atas dinding benteng untuk mempermudah berjalan ke sisi lainnya.
Iya, ini kami berjalan di atas dinding benteng yang cukup lebar namun terasa sempit karena rimbunya pepohonan di kiri dan kanan.

Berjalan di atas dinding benteng bukan hal yang mudah juga rupanya, karena ranting-ranting pepohonan di sampingnya membuat kami menghindarinya agar tidak terkena semut merah yang nampak sudah berkoloni.

Dalam perjalanan, nyasar itu adalah bumbu, tapi kalau kebanyakan bumbu juga gak enak, ahahhaa

Setelah menemukan tempat untuk akses masuk ke dalam benteng, kami diberi cobaan kembali. Cobaan tersebut adalah pemandu kami semuanya lupa jalan untuk bisa mencapai ke area tengah benteng. Maklum, semak belukar tumbuh subur di sini, sehingga jalan yang biasa dilewati telah tersamarkan kembali.

Makam Wa Kawohe di area tengah benteng.

Hingga akhirnya kami sampai di area tengah Benteng, terdapat sebuah makam pada area ini. Makam tersebut adalah makam Ma Kawohe, hingga saat ini saya masih menunggu balasan percakapan dari Bang Hartono mengenai siapa beliau.


Pemandangan dari salah satu titik di Benten Waonu (foto 360, silahkan diputar-putar)

Di benteng ini sebenarnya terdapat 2 buah meriam berukuran kecil, satu telah hilang dicuri, satunya diamankan oleh tokoh masyarakat setempat agar tidak hilang juga. Sama seperti meriam-meriam di kawasan Buton, semua tersematkan logo VOC.

Area pintu masuk utama yang menghadap ke arah laut.

Kami bergerak menuju ke pintu utama benteng yang tepat mengharap ke arah Pulau Liwutongkidi dan Pulau Siompu, rupanya terletak di tepi tebing dengan ketiadaan akses jalan untuk turun ataupun naik, yang ada hanyalah pohon besar yang tumbuh dengan akar mengular.

Dari titik ini, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Siompu nampak jelas.

Kami beranjak kembali ke tempat awal, rupanya perjalanan kembali tak kalah seru saat menuruni tebing yang tadi digunakan sebagai jalan naik. Walaupun sempat beberapa dari kami kepayahan, namun alhamdulillah semua selamat tanpa ada tragedi.

Perjalanan turun itu perlu didokumentasikan, agar bisa mendapatkan foto yang lucu, ahaha
Cara teraman untuk turun pada medan seperti ini adalah dengan cara berjalan mundur.
Bunga di tepian jalan ketika kami akan menuju jalan utama desa.


Sejenak beristirahat setelah menuruni bukit (foto 360, silahkan diputar-putar)

Lalu kami berjalan menuju ke arah barat, menuju daerah perbatasan dengan Desa Kapoa Barat. Kami berjalan ke belakang SMPN 3 Kadatua, ada sebuah pantai kecil yang belum tersentuh pembangunan. Saya dan Mas Zul harus menuruni tebing karang terlebih dahulu agar bisa merasakan air asinnya.


Pantainya sepiiiiiii hahahha (foto 360, silahkan diputar-putar)

Pantainya sepi, sampai kita dilihatin ikan-ikan, ahaha
Karena ini bukan di Pantai Parangtritis, jadi pakai baju warna hijau aman.
Batas Desa Waonu dan Desa Kapoa Barat

Berhubung hari sudah cukup siang, kami berjalan kembali ke rumah Kepala Desa Waonu, namun di tengah perjalanan pulang, saya diceritakan mengenai adanya Batu Lumba-lumba dan Batu Ganda. Batu Lumba-lumba jika diperhatikan dengan seksama memang bentuknya mirip betul dengan lumba-lumba, posisinya berada di dalam sebuah gua kecil yang cukup sulit untuk diraih.

Batu Lumba-lumba
Saat hendak berpindah ke Batu Ganda, melewati tirai akar yang kokoh ini. Bang Ebi dengan santai berfoto tanpa menahan nafas untuk menjaga bentuk perut, jujur.
Ini batunya, saat saya rekam videonya, ternyata suara pukulannya lebih kencang dari pada suara yang keluar, salah pilih alat pemukul rupanya.

Sedangkan untuk Batu Ganda merupakan sebuah batu yang ketika dipukul bisa berbunyi, bunyinya seperti kentongan dari kayu namun dengan lubang yang kecil. Sepengamatan saya, Batu Ganda ini adalah pilar karang yang ketika proses sedimentasinya menyisakan rongga udara di dalamnya, sehingga akan meresonansikan bunyi ketika dipukul.

Di balai-balai mereka rekan, namun di ruang makan mereka adalah rival.

Sesampainya di rumah Kepala Desa Waonu, kami duduk-duduk sejenak di balai-balai. Merasakan sejenak semilir angin laut yang tenang. Hingga akhirnya muncul ajakan untuk berenang di laut. Rupanya pantai yang saya kunjungi tadi sudah pasang naik, kira-kira setinggi leher saya, saya memiliki tinggi 175 cm. Saya, Mas Zul, dan Bang Ebi turun ke laut, sedangkan Mas Jussac dan Bu Herna memilih untuk mengobrol saja dengan Kepala Desa Waonu.

Entah berapa kali saya sampai harus naik turun sampan agar bisa sampai ke sini.
Saat foto ini diambil, semuanya masih berstatus lajang, kini satu sudah enggak lagi.

Kami meminjam 2 buah sampan untuk bermain-main di laut, serasa kembali ke masa kecil, mendayung berputar-putar hingga sampan terbalik, semua dilakukan dengan penuh kegembiraan dan melupakan umur.

 

Setelah terasa lelah dan kedinginan, kami kembali ke darat, berbilas dan makan siang. Kami harus mengejar waktu untuk segera berpindah ke Desa Kapoa Barat. Sembari menunggu mobil yang akan mengantarkan kami, ada seorang remaja penjual es kacang hijau. Ada kisah seru dengan remaja ini.

Baca Juga :  Susur Rawa Pening di Ambarawa, Pesona Laut Tawar di Tengah 7 Gunung
Bu Herna sembari memegang es kacang hijau, memanggil anak-anak kecil yang ada di sekitarnya

Awalnya saya tidak tahu, karena saat itu saya masih berkemas-kemas. Ketika saya keluar rumah, Bu Herna sudah berada di samping remaja ini bersama beberapa anak kecil, terlihat Bu Herna memegang satu barang es kacang hijau, jualan remaja ini. Lalu Bu Herna memanggil beberapa anak kecil di sekitar beliau untuk ikut menikmati es kacang hijau ini.

Es kacang hijaunya laris manis,

Mulanya hanya beberapa anak kecil saja, lalu akhirnya anak kecil yang ada di area itu dipanggil semuanya, intinya Bu Herna mentraktir semua anak-anak yang ada di situ untuk bisa menikmati es kacang hijau. Ramai sekai, hingga anak kecil yang masih berada di dalam rumah ikut keluar, rupanya remaja ini juga tahu bahwa semua daganganya akan diborong oleh Bu Herna.

Es….es…es… es kacang hijau gratissss…..” teriaknya beberapa kali.

Kami juga ikut membantunya dengan melambaikan tangan kepada anak-anak kecil yang terlihat malu untuk mendekat.

Tetot…tetot…tetot…..!!!!!” pekik terompet sang penjual menambah tawa kami.

Seingat saya, ada sekitar 50 batang es kacang hijau yang ludes saat itu, ketika masih tersisa satu batang, dengan sigap remaja penjual es kacang hijau tersebut segera memasukkanya ke dalam mulutnya, rupanya tidak ingin kehabisan. Sontaklah kami tertawa keras melihat tingkah lakunya.

 

Belum sampai di situ, Bu Herna dengan santainya mengerjai remaja penjual tersebut dengan pura-pura bingung mengenai siapa yang akan membayar semuaya es kacang hijau yang telah dibagikan.

Lho, Saya kan tidak bilang kalau mereka semua saya yang traktir….” ucap Bu Herna dengan raut wajah bingung

Aduuuuh……” jawab remaja penjual dengan menepuk kening di wajahnya yang nampak pucat

 

Kami tertawa kembali, entah mengapa kehadiran remaja penjual es kacang hijau ini begitu menghibung kami yang ada di situ saat itu.

Foto bersama di depan rumah Kepala Desa Waonu bersama anak-anak. Maaf kalau watermarknya mengganggu, sudah otomatis sih, ehehe

Akhirnya Bu Herna menyudahi keisengan beliau terhadap remaja tersebut, seingat saya total untuk semua es kacang hijau yang telah dibagikan tersebut hanya sekitar Rp.50.000, sebuah jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan kebahagiaan anak-anak kecil yang terlihat menikmati es kacang hijau tersebut.

Sebelumnya bukan hanya penjual kacang hijau ini saja, ada beberapa penjual jajanan lainnya yang sempat kami borong dagangannya. Sekalian mencicipi jajanan Desa Waonu juga sekalian menglarisi dagangan mereka. Semoga menjadi berkah bagi semua, amin.

Siap berangkat menuju ke Desa Kapoa Barat

Mobil yang akan kami tumpangi untuk menuju ke Desa Kapoa Barat telah siap dengan muatan barang-barang kami, tak lupa sebelum berpindah ke Desa Kapoa Barat kami berpamitan dengan keluarga Kepala Desa Waonu serta para remaja yang dengan ikhlas telah mengajak kami berkeliling. Sungguh jamuan yang tidak akan pernah kami lupakan, kesederhanaan yang membuat kami akan terus mensyukuri segala yang sedang kami kerjakan.

 

Waktu terlalu cepat berlalu, orang datang silih berganti, jabat tangan mengawali pertemuan dan mengakhiri perjumpaan.

 

Terima kasih saya ucapkan kembali kepada Kepala Desa Waonu beserta keluarganya, para remaja pemandu kami berkeliling, Bapak Supir, serta masyarakat Desa Waonu. Do’akan, kelak salah satu dari kami bisa berkunjung kembali.

Maket Desa Waonu, berasa difoto pakai drone, hahah

Jika ingin berkunjung ke Desa Waonu, atau berkeliling di Pulau Kadatua, Anda bisa menghubungi anak sulung Kepala Desa Waonu. Namanya Bang Hartono dengan kontak 0852-4006-6930, atau juga bisa melalui akun instagramnya pada @bostonhartono.

Pembuatan jalan ini dulu sampai meledakkan batu karang yang terbelah di depan itu. Hawa di sini agak gimana gitu. Ditunggu ya artikel mengenai Desa Kapoa Barat ini.

Untuk perjalanan kami di Desa Kapoa Barat, akan saya usahakan bisa tayang bulan ini, semoga.

Sadarkah Anda kalau anda telah membaca 2000 kata, 40 foto, dan 10 foto panorama 360?

Salam es kacang hijau.

0 Shares:
4 comments
  1. Pantas saja aku baca artikelnya ga selesai2…tnyata 2000 kata..hahahaa..istimewa mas 😀

    Jadi anak pulau ni ceritanya 😀
    Ke sana dalam rangka apa mas…?
    Kalau berkunjung di tempat baru memang paling enak bisa membaur dengan masyarakat lokal dan merasakan kearifan masyaratnya. Tentu saja cicipi kulinernya juga 😀

    1. Iya Mas, jadi anak pulau selama beberapa hari.

      Dalam rangka perjalanan mencari jatidiri Mas, haha padahal nang Jatingaleh ono…ahaha

      Yup. serunya itu kalau main ke tempat baru, aaah rindu jadi orang asing…

  2. Pantes perasaanlu kok panjang banget ini artikel, bia dibagi jadi dua loh kakakakakkakaak.
    Melihat pantainya kok mirip area Gunungkidul ya, karang dipantainya. Kalau pas setelah dari makam, batu hitam itu sepertinya lumayan tajam. Mirip sebagian pantai di belakang rumahku, hitam dan terjal-terjal. Kalau diinjak lumayan bikin rematik berkurang.

Ambil hanya informasi, tinggalkan hanya komentar. Silahkan berbijak hati untuk mengisi kolom komentar. Salam

You May Also Like