Mendung masih bersama kami saat melintasi perbatasan antara Desa Waonu dengan Desa Kapoa Barat, kedua desa ini berada di Pulau Kadatua, Kabupaten Buton Selatan. Pada perjalanan sebelumnya, kami sempat menginap dan merasakan sensasi tidur di rumah panggung saat di Desa Waonu.
Raung mesin Suzuki Futura yang mengantarkan kami membelah kesunyian tebing batu yang entah mengapa saya merasa dingin saat melintasinya. Rupanya rasa dingin ini beralasan setelah saya mendengar cerita dari seseorang saat kami sampai di Desa Kapoa Barat.
Belumlah jauh kami memasuki area perkampungan yang didominasi oleh rumah panggung, kami sudah melihat ada seorang gadis yang sedang menenun dengan alat tenun tradisional. Segera Bu Herna meminta untuk menepi, kami mendekat untuk melihat aktivitas yang dilakukan di bawah rumah panggung tersebut. Rupanya ia sedang menenun kain yang nantinya akan dijadikan sarung buton.
Gerak tangan dan kaki yang lincah nan serasi membuat saya terpaku beberapa saat untuk menikmati pola dan suara yang tercipta. Posisi kami saat itu berada di tepi jalan yang berhadapan langsung dengan laut berombak tenang, menentramkan sekali suasana saat itu.
Gadis penenun itu sempat ditanya oleh Bu Herna beberapa pertanyaan, mungkin karena malu atau masih belum terbiasa berinteraksi dengan orang asing, maka ia hanya menjawab dengan singkat dan disertai senyum kecil.
Sebentar, ingatan saya samar saat berada di lokasi ini, apakah kami sudah ditemani Kepala Desa Kapoa Barat atau belum. Pokoknya, kami sempat berjalan menyusuri jalan beton yang membelah desa guna melihat kondisi desa sembari berjalan menuju rumah Kepala Desa Kapoa Barat. Maklumlah, ini perjalanan pada bulan November 2017 dan baru saya tulis pada Februari 2019.
Hari telah sore, sehingga kami hanya melihat ada 2 orang penenun, sisanya hanya peralatan tenun tanpa penenun di bawah rumah panggung. Mereka biasanya menenun sarung buton dari pagi hingga selepas siang. Selain dijual, kain hasil tenun yang ada di Desa Kapoa Barat ini juga dijadikan sebagai arisan oleh ibu-ibu.
Akhirnya kami sampai di kediaman Kepala Desa Kapoa Barat, rumahnya sudah beton dengan lantai keramik. Kami semua duduk di sofa empuk yang tertata rapi di ruang tamu. Ibu Kepala Desa kemudian mengeluarkan setumpuk Sarung Tenun Buton hasil tenun penduduk desa. Sebagian merupakan hasil tenun dari tangan Ibu Kepala Desa, sebagian yang lain didapatnya dari hasil arisan kain tenun bersama penduduk desa.
Sekarang lihat foto di bawah ini ketika Bang Ebi mencoba salah satu Sarung Tenun Buton. Familiar dengan motif yang nampak? Yup, produsen sarung nasional banyak yang mengadopsi atau bisa dibilang mungkin meniru dari motif Sarung Tenun Buton. Tentu saja untuk kualitasnya tentu saja berbeda, hasil tenun tanpa mesin ini tidaklah sehalus hasil dari mesin tenun di pabrik. Namun itulah yang menjadikannya khas dan memiliki nilai tersendiri.
Dari berat, tentu saja Sarung Tenun Buton lebih berat dan tidak bisa terlipat menjadi tipis. Setahu saya ini karena material benang yang digunakan dan juga karena hasil dari menenun dengan cara tradisional. Saya sempat diberi tahu bedanya kain tenun yang bagus dan yang tidak, dilihat dari kerapatan antar kain. Walaupun saya sudah mencoba melihat dan merasakannya dengan teliti, namun tetap saja saya tidak bisa membedakannya, hahaha.
Satu hal lagi yang sampai sekarang saya masih tidak paham adalah posisi kepala sarung saat digunakan. Kata Bang Ebi selaku orang Buton, yang membedakan saat Orang Buton atau bukan saat mengenakan Sarung Tenun Buton adalah peletakan posisi kepala sarung tersebut. Kalau tidak salah ingat, kata Bang Ebi adalah ciri bagian kepala memiliki tinggi baris yang lebih pendek dari pada bagian kaki.
Bagian ini saya coba perhatikan, namun masih belum bisa menemukan bedanya, haduuuuuh payah sekali saya ini. Ada lagi, katanya ada juga bagian sarung yang harus berada di belakang tengah saat dikenakan, kalau tidak salah ingat, itu adalah bagian sambungan kain tenun yang memiliki lebar kolom paling lebar diantara kolom yang lain. Mohon diperhatikan lagi ya, saya samar-samar dalam mengingat penjelasan Bang Ebi yang cepat tersebut. hehe
Kata Ibu Kepala Desa, jika kain tenun yang kurang rapat karena saat menenun kurang keras saat menarik batang untuk merapatkan benang, maka beberapa waktu akan semakin terasa lembek. Intinya, tingkat keawetannya berbeda dengan kain tenun yang memang ditenun dengan teknik dan tenaga yang optimal.
Saat itu sebenarnya beberapa dari kami ingin membeli Sarung Tenun Buton tersebut, namun Ibu Kepala Desa bilang kalau kainnya tersebut tidak dijual. Lalu katanya ada semacam showroom di Desa Kapoa Barat, namun sedang kosong. Ya sudahlah, kami merasa cukup kecewa karena tidak bisa memiliki Sarung Tenun Buton asli di Desa Kapoa Barat.
Kebetulan saat itu Mas Dzul hendak menikah, maka ia mendapatkan satu pasang Sarung Tenun Buton gratis dari Ibu Kepala Desa. Katanya hadiah pernikahan walaupun tanggal nikahnya masih 2 bulan lagi. Beruntungnya Mas Dzul, tapi saya dan Mas Jussac juga tetap merasa beruntung karena telah menikah terlebih dahulu jadi bisa meledek Mas Dzul masalah persiapan pernikahan. Wik wikwik wik wik
Sore itu kami ditawari oleh Kepala Desa Kapoa Barat untuk bermalam di Pulau Ular, pulau kecil yang terletak di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu. Tentu saja kami segera mengiyakan tawaran tersebut. Tak menunggu lama, segera Kelapa Desa menghilang sejenak untuk mengambil terpal guna berjaga-jaga apabila hujan.
Lalu Kepala Desa berkata, “nanti kita tidur di bawah dermaga saja bila hujan”. Lalu Bapak Kepala Desa menitip pesan kepada istrinya untuk nanti malam menyusul dengan membawa nasi, lauk dan kopi untuk menentramkan perut kami.
Segeralah tidak memakai lama, kami berjalan menuju dermaga kecil yang terletak tidak jauh dari rumah Kepala Desa Kapoa Barat. Saat itu ada banyak anak kecil yang sepertinya penasaran dengan kami ini siapa, terlebih penampilan Bu Herna dengan rambut putih panjang yang tertutupi topi merah.
Sore itu saya hanya mengambil satu buah foto panorama 360, hasilnya bisa dilihat di bawah ini, diputar-putar ya sesuai keinginan jari.
Pengalaman di Pulau Ular lebih seru lagi, malam hari di Pulau Ular rupanya sempat memberikan pengalaman mistis kepada kami. Penasaran, yuk baca kelanjutan perjalanan kami di artikel : Camping di Pulau Ular, Buton Selatan. Serasa Pulau Pribadi dengan Pasir Putihnya.
Sekian artikel perjalanan sederhana kami ini, salam bahari…