“Tengah malam, saya melihat ke atas, nampak langit terbuka hanya di atas lokasi kami. Sekitarnya nampak awan hujan dengan sesekali kilat yang menarik perhatian kami. Rupanya ada yang menjaga kami dari hujan badai malam itu. Dia adalah sosok yang menjumpai Bu Herna dengan baju dan jenggot putih yang memanjang.”
Seusai menginap di Desa Waonu di Pulau Kadatua, sore harinya kami berkunjung ke untuk berkunjung ke tempat Kepala Desa serta melihat aktivitas menenun di Desa Kapoa Barat. Kini kami berniat untuk menginap di Pulau Ular yang berada tidak jauh dari Desa Kapoa Barat.
Pulau Ular, namun bila kita lihat di peta maka bernama Pulau Liwutongkidi, namun beberapa masyarakat sekitar menyebutnya juga dengan nama Pulau Peter Both (semoga tidak salah menulisnya), karena katanya dulu sempat ada pelaut asing yang bernama Peter Both mampir ke pulau kecil tersebut. Selanjutnya dalam artikel ini saya akan menyebutkan sebagai Pulau Liwutongkidi.
Dinamakan Pulau Ular karena sempat ada cerita yang tersebar di masyarakat sekitar, sempat ada seorang Bapak dan Anaknya yang datang ke pulau ini untuk mencari kayu. Lalu ketika itu ada seekor ular besar yang menelan anak tersebut. Lalu sang Bapak meminta pertolongan warga untuk membantunya mencari ular tersebut. Setelah ketemu, maka dibelahlah perut ular tersebut dan sang anak masih bisa diselamatkan.
Ada dua respon yang saya tangkap dari warga mengenai cerita itu, sebagian mengatakan bahwa cerita tersebut benar, anak yang ditelan itu memang ada dan masih hidup di Pulau Siompu, bahkan sudah punya anak. Yang lain, mengatakan bahwa itu hanyalah dongeng saja. Mana yang benar? Entahlah.
Laut terasa tenang saat kami berada di atas perahu motor yang mengantarkan kami dari Pulau Kadatua menuju ke Pulau Liwuto. Perahu motor tersebut hanya berisi kami saja, tujuh orang termasuk nahkoda. Hari saat itu sudah hampir gelap, namun masih bisa melihat tanpa bantuan cahaya.
Video saat menyebrang ke Pulau Kadatua ke Pulau Ular bisa dilihat di bawah ini, sebenarnya saya merekamnya dalam format 360, namun karena resolusinya hanya 2K, maka lebih baik saya buat menjadi free capture saja seperti yang saya embed dari akun yutub saya.
Sekitar 10 menit kami habiskan di atas laut sebelum akhirnya kaki kami berjumpa dengan pasir putih yang lembut di pantai Pulau Liwutongkidi. Segera semua bergerak menuju ke dermaga beton yang dulu dibangun oleh warga desa Kapoa Barat. Sedangkan perahu motor yang kami gunakan tadi, berbalik arah untuk kembali ke Pulau Kadatua.
Saya cukup kaget, karena di pulau kecil ini malah saya bisa mendapatkan sinyal 4G untuk operator Telkomsel. Segera saya hidupkan tethering dari ponsel tiongkok saya untuk menafkahi para fakir kuota di sekitar saya. Rupanya karena dari Pulau Liwutongkidi kami bisa dengan bebas melihat Kota Bau-bau, pantas saja sinyal operator bisa sampai ke tempat ini dengan mudah.
Kami segera menata barang-barang bawaan kami di bawah dermaga. Sayangnya hanya sebagian kecil dari bagian dermaga yang bisa kami gunakan untuk berteduh bila hujan. Sebab semua lantai kayu yang ada telah hilang dicuri oleh orang tidak bertanggung jawab. Tersisalah lantai dermaga dari beton yang kemudian kami tambahkan terpal di bagian atasnya untuk memperluas area yang terlindung.
Beberapa dari kami mengikuti Kepala Desa Kapoa Barat untuk berkeliling mencari kayu untuk membuat api unggun. Malam itu terasa sangat gelap tanpa ada bulan purnama, sejauh mata memandang terlihat awan gelap yang sudah siap menghujani bumi. Beberapa saat kemudian, dari jauh terlihat nyala lampu yang disertai bunyi mesin perahu motor.
Rupanya Ibu Kepala Desa yang datang, membawa makanan dan minuman untuk menjaga kelangsungan hidup kami di Pulau Liwutongkidi. Tak perlu menunggu lama, maka segera kami membuka lapak agar segera bisa makan malam. Walaupun telah menyalakan api unggun, saya mencoba membantu menambah penerangan dengan USB Stick LED milik saya yang cukup saya colok ke power bank.
Rupanya dengan lampu 1 watt tersebut sangat terasa terang di tempat yang gelap gulita tersebut. Alhamdulillah, kami bisa makan dengan nyaman, tidak tertukar mana ikan mana batu. Masakan dengan rasa yang luar biasa, selain memang masakan yang enak, suasana yang berbeda menjadikan kami sangat mensyukuri apa yang kami santap malam itu.
Seusai bersantap malam, tibalah waktunya minum kopi sembari mendengarkan banyak cerita dari Kepala Desa. Langit masih menampakkan awan saat itu, membuat kami semakin was-was akan hujan mendadak. Kepala Desa sempat beberapa kali berjalan sendiri dalam gelap malam itu, entah kemana. Kami hanya berada di sekitaran dermaga, tidak berani berkeliling jauh saat malam hari.
Saya masih ingat saat Kepala Desa menunjuk cahaya kecil seperti cahaya senter di sebelah selatan sembari berkata :
βada orang juga di sana, mungkin sedang berburu kepiting kenariβ
Saya mencoba melihat ke arah tersebut, memang benar terlihat cahaya yang bergerak layaknya lampu kepala yang dipakai oleh orang berjalan. Cahaya itu menghadap ke arah kami, saya melihatnya seperti sedang berjalan ke arah kami. Namun setelah beberapa saat, cahaya itu bukannya tambah mendekat, malah hilang dalam gelap malam saat itu. hhmmtttt
Saya sempat memasang hammock di dermaga yang rupanya lebih diminati oleh Mas Dzul untuk leyeh-leyeh setelah makan malam. Saya lupa pukul berapa, seingat saya malam sudah cukup larut. Saya masih ingat kalau yang masih terjaga adalah Kepala Desa dan Bang Ebi. Sisanya sudah meluruskan badan di atas pasir.
Sebelum beranjak tidur, saya sempat melihat ke atas, nampak langit terbuka hanya di atas lokasi kami. Sekitarnya nampak awan hujan dengan sesekali kilat yang menarik perhatian kami. Rupanya ada yang menjaga kami dari hujan badai malam itu.
Keesokan harinya, Bu Herna sempat menanyakan siapakah yang tidur disampingnya semalam. Karena ada ruang kosong diantara Istri Kepala Desa dan Bu Herna. Bang Ebi menjawab tidak ada yang tidur di situ semalam. Sempat juga Bu Herna melihat ada orang duduk menghadap ke pantai, di depan tempat kami tidur.
Sosok tersebut menampakkan dirinya sebagai lelaki tua dengan baju putih dan jenggot putih yang panjang. Hanya Bu Herna saja yang bisa melihat sosok tersebut, itupun baru Bu Herna tanyakan saat hari sudah terang. Sebentar, kalau tidak salah ada juga yang merasakan kedatangan sosok tersebut di sela-sela tidurnya.
Bu Herna bercerita kalau sosok tersebut mengatakan sesuatu kepada dirinya, saya agak lupa bagaimana persisnya, namun intinya bahwa βjanganlah takut kalian di sini, saya jagaβ. Kepala Desa menegaskan kalau sosok adalah βpenghuniβ Pulau Liwutongkidi, kadang menampakkan dirinya dalam sosok yang menakutkan, kadang menampakkan dirinya dalam sosok yang baik.
Malam itu sosok tersebut menampakkan wujud yang baik ke pada kami, maksud saya kepada Bu Herna. Kata Kepala Desa, sosok tersebut tahu bahwa kami tidak memiliki niat buruk saat bermalam di Pulau Liwutongkidi.
Baiklah, kita lanjutkan kondisi malam itu.
Angin saat itu terasa kencang, seperti hendak badai, lalu sempat turun gerimis deras yang cukup renggang, paham kan bentuk hujan yang saya maksudkan ini? Kami sempat terbangun dari teriakan Bang Ebi, segera saya, Mas Jussac dan Mas Dzul bergerak cepat untuk mengangkat pakaian yang kami jemur selama.
Tidaklah lama, hanya sekitar 1 menit, lalu langit dan angin kembali tenang. Sepertinya hujan sejenak malam itu adalah sebuah βkewajibanβ untuk harus hujan. Paham kan? hehehe
Pagi harinya, saya bangun terlambat, sekitar pukul 06.00 WITA baru membuka mata. Maklumkan saja, sebagai orang yang biasa hidup di area WIB, itu terasa seperti pukul 05.00 WIB. Tidak ada ritual mengabadikan matahari terbit pagi itu. Matahari sudah terlihat meninggi dengan selimut mega di atas Pulau Siompu.
Segera saya mengambil kamera, sembari menghirup udara pagi yang terasa cukup asin untuk hidung saya. Laut cukup surut pagi itu, sehingga beberapa batu karang nampak ke permukaan. Saya berjalan bersama Mas Jussac, menuju ke arah timur dengan menyusuri pasir putih yang bersih nan lembut.
Video suasana pagi itu bisa dilihat di bawah ini ya, dalam format free capture saja lagi ya supaya terlihat lebih nyaman untuk dinikmati.
Obrolan pagi bersama Mas Jussac saat itu berasa seperti kuliah anak kelautan, sedikit banyak saya bertanya kemudian Mas Jussac menjelaskan mengenai biota pantai yang kami jumpai saat itu. Pagi yang berfaedah di tempat yang jauh dari rumah. Saya banyak belajar pagi itu, sehingga bisa tahu kulit kerang mana yang sudah lama ditinggalkan dan mana yang belum.
Kata Mas Jussac di sekitar area tersebut terlihat seperti bekas terpapar oleh aktivitas pengeboman ikan oleh nelayan nakal. Terlihat banyak patahan-patahan kecil terumbu karang yang terdampar di tepian pantai. Juga saat itu kami menemui padang lamun mini, kata beliau, itu adalah sebuah usaha untuk awal sebuah kehidupan yang baru. Bisa dilihat di dalam foto panorama 360 berikut ini, ada garis random warna hijau yang nampak di perairan dangkal.
Iya, lamun atau seagrass merupakan salah satu tempat berpijahnya banyak spesies ikan, sehingga jika sebuah tempat terdapat padang lamun, tentu saja pasti ada banyak ikan di tempat tersebut. Untuk informasi lebih lengkap mengenai padang lamun, silahkan menuju artikel saya yang berjudul : Lamun dan Dugong untuk Bahari yang Lebih Lestari.
Langit pagi itu membuat saya cukup gusar, karena ketika saya menghadap ke arah Pulau Siompu atau arah timur, awan mendung yang kemudian menjadi hujan deras terlihat dari lokasi kami. Namun bila menghadap ke barat atau ke Pulau Kadatua, langit cerah dengan awan putih yang menawan.
Akhirnya saya dan Mas Jussac memutuskan untuk kembali saja ke tempat kami bermalam, rasanya bila hujan sampai menyentuh Pulau Liwutongkidi, kami tinggal masuk kembali ke dalam sanctuary dengan kisah mistisnya tadi malam.
Pagi harinya saat semua sudah berkumpul, kami segera sarapan, masih ada nasi dan lauk yang harus dihabiskan. Sayang sekali teko yang berisi kopi tadi malam telah diserang oleh negara semut. Tidak perlu lama bagi kami untuk segera menunaikan aktivitas sarapan pagi itu.
Kami diajak oleh Kepala Desa untuk menuju ke bagian tengah Pulau Liwutongkidi, katanya ada sumur tua dengan sumber air tawar di sana, cocok untuk mencuci muka agar terlihat seperti sudah mandi. Kami berjalan membelah sabana yang baru tumbuh usai kebakaran beberapa waktu lalu.
Kami juga sempat menjumpai bangkai seekor penyu yang sudah terkoyak, baunya cukup menyengat. Entah mati disitu karena kebakaran atau mati saat sedang ke darat, entah, kasihan melihatnya. Padahal ukuran penyu tersebut besar lho.
Pemandangan menuju ke sumur tersebut sebenarnya biasa saja, hanya ilalang yang sedang mencoba tumbuh kembali. Coba beberapa bulan lagi, pasti sabananya akan nampak indah dipandang, ya instagramable.
Saat saya berjalan hanya bersama Mas Jussac saat itu, sejauh mata memandang terasa lapang dan rasanya kaki berjalan di tanah yang rapuh, ya karena bekas terbakar jadi terasa seperti abu ketika diinjak. Video ini saya sajikan masih menggunakan format yang sama seperti di atas :
Sesampainya di sumur tersebut, segera kami bergantian mengambil air dengan timba sederhana dari jerigen bekas dan tali. Mencuci muka dan sedikit membasahi rambut dengan tujuan menghilangkan sedikit rasa garam yang menempel. Sungguh segar, benar-benar segar setelah beberapa waktu kami harus terbiasa dengan air payau.
Air di sumur ini benar-benar jernih, tidaklah begitu dalam, jikapun ada sampah itu hanyalah dedauan yang jauh. Dari jauh sebenarnya posisi sumur ini mudah terlihat, seperti oase di tengah gurun, sumur ini dikelilingi beberapa pohon kelapa yang jaraknya dekat satu sama lainnya, maka akan segera nampak ketika kita berjalan di sabana Pulau Liwutongkidi.
Ketika kami sedang berada di sumur, sebenarnya kami sedang menunggu kapal dari Pulau Siompu yang akan datang menjemput kami. La Ahmad, seorang kepala desa, seingat saya beliau adalah Kepala Desa Tongali, Kecamatan Siompu. Rencana pagi itu adalah berpindah ke Pulau Siompu untuk kembali berkeliling mengambil beberapa data dan berjumpa dengan beberapa Kepala Desa dan juga Camat.
Saat kami berjalan dari sumur menuju dermaga, terlihat sebuah perahu motor yang melaju dengan jarak yang cukup dekat dengan Pulau Liwutongkidi, sudahlah pasti itu adalah Pak La Ahmad. Kami mempercepat langkah kami agar bisa segera menyambut perahu motor tersebut. Walaupun kami sedang berada di pulau yang kecil, namun kami tidak sampai harus membuat kode penjemputan dari asap atau bahkan membentuk kata HELP dari tubuh manusia.
Perahu motor akhirnya merapat ke pantai, kami dengan segera mengemasi peralatan kami yang sebelumnya berantakan. Berkemas sejadinya asalkan tidak ada yang tertinggal, lalu segeralah kami menaiki perahu motor tersebut guna menuju ke Pulau Kadatua untuk mengantarkan Kepala Desa Kapoa Barat dan Istrinya.
Mas Dzul sepertinya pagi tadi sudah sarapan, karena pagi itu kami sarapan bersama, pokoknya saat berada di perahu motor ia memegang piring kembali. Di sebelahnya ada Kepala Desa Kapoa Barat yang menaiki motor Vega R di atas perahu motor.
Kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Kepala Desa Kapoa Barat dan Istirnya saat kapal telah merapat ke sebuah pelabuhan kecil di Desa Kapoa Barat. Entah apa jadinya kami kalau malam itu Istri Kepala Desa Kapoa Barat tidak jadi datang. Mungkin kami sudah makan pasir rebus atau mencoba menelan pahitnya masa lalu. Apasih
Segera perahu motor yang kami naiki berbalik arah, melaju ke Pelabuhan Siompu. Tentu saja kami melewati Pulau Liwutongkidi saat itu, pemandangan yang membuat saya harus ingat untuk tetap mendokumentasikannya. Sebagai orang yang tidak tinggal dekat dengan laut, tentu saja berdiri ketika di atas perahu adalah sebuah hal yang wajib untuk dilakukan. Bahkan untuk sekelas Mas Jussac yang sudah memiliki sertifikasi sebagai seorang diver saja, ia tetap berdiri bersama saya. Hahahah
Sekelumit videonya bisa disimak di berikut ini. Niatnya saya unggah dalam format 360 ke yutub, namun entah mengapa komputer saya tidak bisa meng-inject metadata yang diperlukan, jadi ya tetap dalam format free capture ya. Sebenarnya ada foto panorama 360-nya, tapi rasanya kebanyakan foto di artikel ini. Sudah 30 foto lho, hehehe
Katanya, di jalur laut rute dari Pelabuhan Topa hingga ke Pulau Siompu kadang terlihat lumba-lumba yang berenang dengan jarak yang terlihat oleh mata manusia dari kapal. Namun kami mencoba memasang mata dengan baik, alhasil kami tidak melihat adanya ikan lumba-lumba, ah kami belum beruntung.
Ada kisah apa lagi di Pulau Siompu? Ada banyak keseruan di sana, ditunggu saja kelanjutan kisahnya. Segera, agar tak hilang ditelan oleh beban menjelang tanggal tua. π
Salam bahari.
-Buton Selatan, November 2017-
6 comments
Di sunda juga ada cerita dongeng anak kecil yang di makan ular, terus ularnya di belah perutnya dan ternyata si anak masih hidup π
si ibu gak takut apa ya? ada penampakan gitu, diajak ngobrol pula π
indah banget yaa tempatnya, pasir putihnya. Dan kerangnya!
Iya teh, pasir putih dan bersih memang selalu menggoda π
indah bangettt … hamparan pasir putihnya .. bikin mupeng
benar2 serasa pantai milik sendiri π
Iya, pulau kecil nan sepi, asyik pokoknya Bang camping dimari π
Adoh dolan mu mas brow, ππ
pie tah mas taqo? wkwkw