Karimunjawa bisa dikatakan adalah sebuah kawasan objek wisata yang lebih banyak didatangi oleh turis. Dalam artikel ini saya menjabarkan bahwa turis adalah mereka para pelancong yang gemar menghabiskan malam dan malas beranjak bangun pagi untuk mencari matahari terbit. Mereka lebih gemar bergempita saat jingga senja ataupun berguru pada bintang malam.
Saya dan Istri saya sempat bingung, hendak menikmati matahari terbit di mana, karena pada beberapa artikel yang saya baca, mereka menikmatinya pada sebuah pantai yang telah “dikuasai” oleh sebuah resort, jadi kita harus “membayar” lagi untuk menikmati matahari terbit pada lokasi itu. Padahal menurut Pasal 26 dan Pasal 61 dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, area pantai termasuk ruang terbuka hijau publik yang tidak boleh dimiliki oleh pihak pribadi atau swasta, tanah tersebut adalah milik negera (umum) dan tidak dapat diperjualbelikan. Jadi…..silahkan simpulkan sendiri potret pariwisata pantai di negara kita ini.
Baik, kita lanjutkan dalam kegiatan mencari tempat untuk menanti matahari terbit. Pulau Karimunjawa hanya memiliki sedikit jaringan jalan di sebelah timur, jadi secara logika, pasti jaringan jalan tersebut dibuat tidaklah terlalu jauh dari pantai. Walaupun Pelabuhan Karimunjawa itu bisa melihat ke arah timur, namun kami tidak ingin menggadai kesempatan semburat pagi di lokasi tersebut.
Kami masih bisa melihat beberapa bintang saat kami mengeluarkan motor dari penginapan. Melaju pelan dengan suasana Karimunjawa yang masih sepi, sangat jauh berbeda ketika dibandingkan pada malam tadi. Dari arah pelabuhan, kami menuju arah utara, mencoba menebak jalan yang berada di tepian timur. Hingga kami melintasi sebuah resort yang saya maksudkan di atas, namun kami masih melaju kembali beberapa saat ke depan.
Ada sebuah papan yang bertuliskan “Pantai Pancuran – Sunrise”, Waaah ini yang kami cari. Segera menuruni jalan kecil yang hanya cukup untuk kendaraan roda dua, memarkirkannya pada sebuah tanah datar yang rupanya sudah ada sebuah motor plat Semarang di lokasi tersebut. Lalu kami lanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 50 meter.
Sampailah kami di Pantai Pancuran, sepi sekali, hanya ada 4 orang di sana saat itu. 2 orang sedang memotret sunrise, sedangkan selebihnya adalah kami. Memang benar tebakan kami kalau area wisata seperti ini, sunrise bukanlah atraksi utama bagi para pengunjung kebanyakan. Maka dari itu kami bisa bersantai-santai, memotret, bermain ayunan, menghabiskan jajan dan juga tentunya melihat matahari lagi kembali pagi itu.
Rupanya saya lupa membawa filter GND, namun bisa saya akali dengan menggunakan SIM C yang tersemat pada dompet saya. Alhasil, jadilah sebuah foto dengan kompensasi cahaya yang merata di keseluruhan foto.
Matahari terbit ketika kita saksikan dari pantai itu lebih lambat ya munculnya bila dibandingkan menyaksikannya dari gunung. Itu dikarenakan perbedaan ketinggian sehingga menghasilkan sudut pandang yang lebih rendah dalam menyaksikan cakrawala.
Sekitar pukul 6 pagi, barulah ada serombongan keluarga yang datang ke Pantai Pancuran. Sedangkan kami sejenak bermain ayunan terlebih dahulu, menunggu terang lebih rata pada dunia.
Ketika kami menaiki motor untuk kembali ke penginapan, ada banyak warga sekitar yang sudah memulai aktivitas paginya. Saya yang menaiki motor dalam kecepatan pelan tersebut, menatap beberapa warga yang kami lintasi. Saya sudah menyiapkan senyuman dan menyapa mereka ketika mereka melihat ke arah kami. Namun, hingga kami berpapasan dengan beberapa warga, sepertinya memang mereka sudah terlalu bosan melihat kepada turis atau wisawatan.
Mungkin dulu ketika wisatawan masih dalam jumlah yang sedikit dan memiliki sifat gemar menyapa warga sekitar, warga sekitar masih terbiasa untuk disapa dan menyapa. Ini mungkin dikarenakan serangan negara api, sehingga kebanyakan wisatawan yang datang belakangan ini seolah hanya berjalan di aspal, tanpa memperhatikan warga sekitar, meskipun warga sekitar sudah bersiap untuk disapa menyapa. Jadilah warga sekitar merasa tidak perlu lagi memasang pandangan ke arah wisatawan yang hanya menatap aspal.
Kondisi tersebut berbeda ketika saya berada di daerah utara, dimana banyak warga di sana yang menaruh mata kepada kami saat melintas. Kemudian saya sapa, mereka menyapa balik.
Pokoknya dimanapun dan bagaimnapun kondisi kita ketika berada di tanah orang, jadilah pribadi yang sopan dengan menyapa dan senyum. 😀
Untuk perjalanan selanjutnya, bisa Anda simak pada tautan di bawah ini :
Menuju Karimunjawa #1 : Berhasil Berkunjung ke Destinasi Impian ala Backpacker.
Menuju Karimunjawa #2 : Menyambangi Bukit Love dan Hutan Mangrove KarimunJawa
Menuju Karimunjawa #3 : Menikmati Matahari terbit di Pantai Pancuran
Menuju Karimunjawa #4 : Berwisata Bahari di Karimunjawa Bersama Bule
Menuju Karimunjawa #5-Habis : Beranjak Meninggalkan Karimunjawa untuk Kembali ke Pulau Jawa
4 comments
Mas ghozaliq ceritanya lg hunimun yak… 😀 Keren euy foto2nya 🙂
Hehee, ini bulan Juli kemarin mas, baru sempet di posting.
Cuaca aja yang cerah mas, makanya fotonya jadi ikutan lumayan hasilnya 🙂
Foto sunrisenya cakep-cakep *serasa pantai milik berdua dong ya.
Kalau pepatah yg sering sy dengar, saat berkunjung ke tempat baru, ‘dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak’. Suka tidak suka, kita sebagai pendatang yg harus menyesuaikan diri 😀
Iya Mbak, sepi…. Wisatawan pada begadang malemnya kayaknya…jadi penunggu pagi itu sedikit sekali…
Begitulah, beberapa wisatawan ada yang hanya merasa “berwisata”, kurang melihat ada kehidupan di sekitarnya.