Tok…tok…tok…, terdengar bunyi ketukan pintu dari luar kamar penginapan kami. Ternyata Mas Ali yang sudah menunggu saya di depan pintu, menawarkan sebuah motor untuk disewa kepada kami. Mas Ali menjelaskan kalau semua motor di rentalan sedang disewa semua, sehingga saya selaku tamu di penginapan diberi tawaran oleh Mas Ali untuk menggunakan motor sewaan tersebut sebelum ada wisatawan lain yang menyewa.
Setelah berkemas seadanya, saya dan Istri saya menuju alun-alun Karimunjawa, mencari makan siang yang sekiranya bisa kembali menjernihkan logika kami akibat kelaparan. Ternyata warung yang kami tuju saat itu sedang kehabisan nasi, rupanya jumlah wisatawan pada saat kami berkunjung melebihi perkiraan pemilih warung. Tidak lebih menunggu dari 20 menit, segeralah nasi panas siap disantap dengan beragam lauk yang menggoda.
Seusai saya menyeruput es jeruk di gelas bening itu, saya berdiskusi kepada Istri saya, hendak kemana sebenarnya kita ini. Jujur, saat itu saya belum memiliki rencana pasti hendak kemana, peta daerah Karimunjawa saja saya tidak punya, ehehehe. Lalu sempat teringat kembali bentuk memanjang Pulau Karimunjawa yang menembus ke utara hingga Pulau Kemujan. Jadi, saya nekad saya menuju arah utara, sembari mencari objek wisata apa yang bisa kami temui.
Berjalan pelan, sembari melihat ke kiri dan kanan. Mencari sesuatu yang bisa kami hinggapi, hingga akhirnya ada sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “Bukit Love”. Apa? Hill Cinta? Ah apapun itu penamaannya membuat kami beranjak mengikuti tanjakan yang sedikit berliku tersebut, hingga kami dihantarkan ke area parkir dengan petugas retribusi di sekitarannya.
Biaya per orang Rp. 10.000, sudah termasuk air mineral dingin yang bisa didapatkan dengan menukar karcis masuk area tersebut. Sejenak melihat ke sekeliling, ternyata tempat tersebut adalah sebuah bukit yang memiliki area pandang dari arah timur, selatan, dan barat. Sehingga bisa dinikmati baik menanti matahari terbit atau merelakan matahari terbenam.
Mungkin saya lebih mudah untuk mengenalinya sebagai titik foto. Mungkin karena menurut saya, wahana di sini ya hanya berfoto di beberapa benda endemik buatan manusia. Duduk saat suasana terik seperti itu tidaklah membuat kami mampu bertahan lama pada satu titik. Pada area ini, kami bertemu kembali dengan Sarah dan Fina, aah lumayan, bisa minta tolong untuk memfotokan kami berdua di atas sarang “bruce al mighty” (yang udah nonton angry bird the movie pasti tahu).
Saat Sarah dan Fina sudah beranjak dari area tersebut, saya dan Istri saya masih gemar-gemar saja merasakan panas di area tersebut. Habiskan waktu sejenak lagi sajalah di area ini sembari mendekatkan waktu matahari terbenam nanti, gumamku.
Saya juga sempat membuat foto panorama 360 di Bukit Love ini, bisa Anda nikmati di bawah ini, pastikan juga Anda menggunakan browser yang telah mendukung html5 seperti chrome, firefox atau browser bawaan smartphone. Ukurannya di bawah 1 mb, jadi pasti tidaklah memakan waktu lama untuk memuat seutuhnya.
Setelah dirasa cukup terpapar terik siang saat itu, kami bergerak menuruni Bukit Love guna menuju jalan raya. Saya merasakan ada gerakan yang tidak normal dari bagian motor yang kami gunakan, ternyata ban depan motor tersebut agak gembes. Alhasil, kami segera menuju kembali ke pusat kecamatan guna mencari bengkel atau sejenisnya yang bisa melakukan tambah angin pada ban depan motor ini.
Setelah berkeliling beberapa saat, tidak kunjung juga terlihat bengkel motor yang buka di sekitar kami. HIngga sampailah pada sebuah bengkel motor kecil yang menyediakan sebuah tabung kompresor di depannya. Segera saya menanyakan kepada orang yang berada di bengkel tersebut untuk mengisi angin, ternyata tabung kompresor tersebut kosong, sama sekali tidak berisi angin. Akhirnya saya dipinjami sebuah pompa sepeda, iya sebuah pompa biasa yang akhirnya bisa mengatasi masalah ban depan gembes dengan sedikit keringat di kening yang segera dihapus oleh Istri saya. *ciyee
Kembali melaju ke arah utara, kembali melintas tanpa tujuan jelas. Biarkan sinar sore mengantarkan kami hingga ke ujung aspal. Sempat melihat ke arah barat, siapa tahu kami menemukan akses masuk ke sebuah pantai guna merelakan sinar senja menghilang. Kata teman saya, Pantai Ujung Gelam merupakan pantai yang paling ideal untuk menikmati matahari tenggelam di cakrawala, namun saya sama sekali tidak bisa menemukan petunjuknya hingga kami mulai memasuki daerah dengan jalanan yang bisa dibilang rusak.
Di jalan rusak tersebut, kami berpapasan kembali dengan Sarah dan Fani. Mereka kini menuju ke selatan, sedangkan kami masih menuju utara. Sempat bingung, apakah mereka berbalik arah karena sudah tidak ada jalan di depan? Namun hati saya berkata, ini masih di Pulau Karimunjawa, belum sampai ke Pulau Kemujan. Akhirnya kami tetap melaju ke utara, hingga sebuah jembatan kecil dengan sungai rawa di bawahnya.
Jembatan tersebut merupakan penghubung antara Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sebuah area Hutan Mangrove atau Hutan Bakau yang luas dan segera menarik perhatian kami untuk mengunjunginya. Sepeda motor kami parkirkan di tepian jalan yang sepi itu, berjalan perlahan di atas anjungan dari kayu yang membelah hutan mangrove tersebut. Hingga ada sebuah pertigaan dengan bangunan kecil yang menandakan bahwa itu adalah loket untuk tiket retribusi.
Biaya perorang untuk masuk ke kawasan Hutan mangrove adalah Rp. 10.000/orang lokal untuk hari kerja, dan Rp. 15.000/orang lokal untuk akhir pekan. Untuk wisatawan asing tentunya lebih mahal, namun saya lupa berapa tepatnya. Saya mendapatkan dua buah karcis yang diberikan kepada saya dengan nominal karcis yang tertutupi oleh jempol penjaga tiket. Saya belum curiga saat itu ketika melihat pose jemari yang cukup aneh untuk memberikan tiket masuk kepada kami.
________________________________
Saya baru sadar saat malam hari di penginapan, membongkar kembali tiket wisata seharian, ternyata tiket untuk lokasi Hutan mangrove ada 2 jenis dalam pecahan Rp. 5.000, sedangkan saya hanya mendapatkan 1 pasang, seharusnya adalah 2 pasang atau total 4 lembar tiket masuk dengan total nominal Rp. 20.000 untuk dua orang. Waaaaah….ada yang nakal, pantas saja ketika saya bertanya masalah lokasi pantai yang terdekat untuk menikmati sunset, tidak diberi jawaban yang memuaskan, seakan ingin segera mengakhiri percakapan.
__________________________________
Menyusuri Hutan Mangrove saat itu cukuplah nyaman, tidak ada nyamuk yang menyerang kami. Sepertinya memang suhu dan cuaca saat itu tidak menggoda nyamuk atau serangga lainnya untuk keluar. Pada beberapa titik perjalanan menuju gardu pandang, ada papan informasi mengenai flora dan fauna yang hidup di hutan mangrove tersebut. Cukup membantu untuk memberikan informasi kepada para pengujung.
Tidaklah lama, langkah kami mulai menginjak papan kayu dengan air payau di bawahnya. Tanda kami sudah hampir berada di area gardu pandang. Cukup sepi saat itu, sepertinya lokasi ini memang bukanlah tujuan utama pawa turis, namun bagi para pejalan mungkin inilah salah satu lokasi yang wajib dikunjungi. Selain hawa udaranya yang terasa sejuk walaupun pada siang hari sekalipun, tenang dan sesekali terdengar suara burung yang berada dalam kawasan tersebut.
Sesampainya di area gardu pandang, kami menaiki sebuah bangunan yang terbuat dari kayu dengan tinggi sekitar 3 lantai. Terasa kokoh dan aman walaupun kita menaikinya dengan cepat. Pemandangan dari atas gardu pandang memang terasa beda, terasa lebih luas. Saat saya berada di atasnya, waktu telah cukup sore, sehingga pantulan sinar jingga menutupi birunya lalut di ujung sana.
Berhubung kami masih harus mencari jalan menuju pantai untuk mencoba menikmati matahari tenggelam, maka kami berbegas menuju pintu keluar melalui jalur yang berbeda ketika tadi berangkat dari pintu masuk. Jaraknya sama saja, waktu tempuh serta kondisinya juga hampir serupa.
Karena masih penasaran dimana letak Pantai Ujung Gelam, maka saya bersama Istri saya melanjutkan perjalanan ke arah utara. (semakin menjauh dari lokasi Pantai Ujung Gelam yang sebenarnya). HIngga akhirnya kami sampai pada daerah Kampung Bugis yang terletak di ujung utara Pulau Kemujan. Ada beberapa petunjuk menuju pantai yang terdapat di sekitaran jalur yang kami lalui, namun semua jalurnya mengarah ke arah timur, bukan ke arah barat.
Akhirnya kami sampai ke Bandara Dewandaru, berarti fix sudah kalau kami sudah terlampau jauh dari tujuan semula. Kondisi ketiadaan sinyal provider 3 membuat saya tidak bisa membuka Google Maps, menggunakan aplikasi GPS offline pada Nokia Lumia memang terasa jauh dari lengkap untuk mendapatkan informasi toponimi. Alhasil saya hanya bisa mengintip lokasi saya berada di ujung Pulau Kemujan.
Kami segera memacu kembali motor ompong ini menuju ke Pulau Karimunjawa, kami yakin sekali kalau Pantai Ujung Gelam tidak terletak jauh dari Bukit Love. Jalanan yang kuranglah begitu bagus di Pulau Kemujan membuat saya memilih untuk melintas pelan sembari menikmati suasana sore bersama Istri. Sampai pada sebuah ruas jalan dimana sebelah kanannya teradapat areal persawahan, kami berhenti sejenak, menikmati matahari ternggelam di balik pepohonan kelapa. Akhirnya kami menikmati matahari tenggelam di persawahan ketika berada di Karimunjawa, keren kan? Ahaha.
Semakin gelap, semakin banyak serangga kecil yang beterbangan di depan saya. Beberapa kali saya harus mengucek mata saya karena mengenai serangga tersebut. Akhirnya kami sampai pada sebuah pertigaan dimana banyak sekali kendaraan yang keluar dari pertigaan tersebut, baik mobil maupun motor. Ternyata pertigaan itulah arah ke Pantai Ujung Gelam yang kami cari-cari seharian tadi, penunjuk di pertigaan itu juga terlalu biasa dan tidaklah terlalu jelas untuk dilihat dari jauh. Ya sudahlah, mungkin besok sore kami bisa menikmati senja di Pantai Ujung Gelam.
Priotitas saya adalah kembali ke penginapan dengan selamat walau harus pelan dan menggunakan lampu jauh (lampu dekat mati). Sesampainya di penginapan, segera berbenah dan berbersih diri, kemudian melaju menuju alun-alun Karimunjawa. Mencari makanan yang sudah kami idamkan sedari sore tadi. Suasana alun-alun Karimunjawa terasa ramai saat itu, ada banyak jenis makanan yang bisa Anda cicipi di area tersebut. Mulai dari nasi rames, goreng, hingga khas seafood.
Saya dan Istri memilih untuk menikmati nasi goreng saja, di tepian alun-alun yang sedikit lebih sepi dari pada bagian utara. Saya alergi terhadap protein hewani, oleh karena itu saya tidak bisa makan makanan seafood dalam porsi yang tidak bisa diterima oleh tubuh saya. Saya yakin sekali saat itu Istri saya ingin mencicipi seafood di area tersebut, namun mungkin dikarenakan mengerti kondisi saya, maka terpaksalah ia memilih menyantap nasi goreng bersama saya.
Malam harinya tidaklah banyak kegiatan yang kami lakukan kemudian, hanya menata pakaian kotor dan melihat beberapa foto sedari tadi. Penginapan yang kami sewa tersebut memang menyediakan sebuah area untuk menikmati pantai, namun rasanya badan ini sudah terasa Lelah untuk terjaga malam itu. Kami harus menyiapkan diri untuk mencari matahari terbit esok hari, kemudian dilanjutkan kegiatan wisata bahari yang sudah diatur jadwalnya.
Untuk perjalanan selanjutnya, bisa Anda simak pada tautan di bawah ini :
Menuju Karimunjawa #1 : Berhasil Berkunjung ke Destinasi Impian ala Backpacker.
Menuju Karimunjawa #2 : Menyambangi Bukit Love dan Hutan Mangrove Karimun Jawa
Menuju Karimunjawa #3 : Menikmati Matahari terbit di Pantai Pancuran
Menuju Karimunjawa #4 : Terjebak Wisata Bahari di Karimunjawa Bersama Bule
Menuju Karimunjawa #5-Habis : Beranjak Meninggalkan Karimunjawa untuk Kembali ke Pulau Jawa
2 comments
mas aku waktu kesana belum ada bukit love..sekarang kok dadi apik banget..masih muda, perbanyaklah jalan2
Iya mas, sudah banyak yang bagus-bagus sekarang.
Hehehe…siap mas, sebentar lagi nambah personil, 😀