Pendakian Gunung Telomoyo via Arsal kali ini sangatlah berkesan bagi keluarga kecil kami. Setelah sekian lama kami tidak bertualang di alam bebas, terakhir kali adalah saat camping ceria di basecamp Mawar, sebuah pos pendakian di kaki Gunung Ungaran pada tahun 2019.
Pada tahun ini kami sekeluarga telah berpindah domisili di daerah Solo Raya, jadi saya mencari beberapa lokasi hiking yang cukup ringan dan tidak telalu ramai. Maka jatuhlah pilihan jalur Arsal ini, waktu tempuh hanya 60 menit dari tempat tinggal kami.
Pendakian jalur Arsal ini juga memiliki jarak dan waktu tempuh yang saya rasa ideal untuk perjalanan hiking pertama Rengganis, dan untuk Saya bersama Istri yang sudah lama tidak menggerakkan otot kaki untuk menanjak mendekat ke awan. Lokasi basecamp jalur Arsal ini bisa dilihat pada peta yang saya sematkan di bawah ini.
Kami sampai di basecamp Arsal sekitar pukul 08.45 WIB, lantas melakukan pendaftaran. Satu tiket kami tebus dengan harga Rp.15.000, lantas ditambah parkir motor sebesar Rp.5.000, jadi total adalah Rp.50.000. Di basecamp ini kita juga bisa memesan makanan dan minuman sederhana, seperti mi rebus, nasi goreng, teh, kopi, dan sejenisnya.
Kami segera berbenah ulang, mengatur dan menata isi perbekalan di dalam 3 tas yang kami bawa. Pada perjalanan awal, Rengganis dengan girang menggendong tas favoritnya, yaitu Deuter Kikki 6L dengan bentuk pinguin kegemarannya. Saya menggendong tas Deuter Futura 42 milik istri saya. Lantas istri saya menggendong tas baby carrier Four Season yang akan saya gunakan ketika Rengganis mulai kelelahan.
Maka sekitar pukul 09.00 WIB kami memulai melangkahkan kaki pertama guna membuka kisah perjalanan hari itu. Melintasi sebuah gang kecil di samping basecamp. Pada formasi awal, kami bertiga masih berjalan sendiri-sendiri. Saya dengan setia memegang tangan Rengganis agar tidak keluar jalur dan memandunya menghindari area yang sekiranya bisa membuatnya terpeleset.
Perjalanan awal masih didominasi oleh perkebunan warga, di titik ini saya mulai mengaktifkan fitur track log dari GPS Garmin Colorado yang saya bawa. Seperti biasa, nantinya akan saya gunakan untuk menandai pos dan POI yang mempermudah navigasi untuk kembali ke basecamp, meniadakan kemungkinan untuk keluar dari jalur.
Rengganis mulai sering bertanya ketika melihat beberapa objek yang baru ia temui di perjalanan, seperti beberapa jenis tanaman yang baru pernah ia lihat di area perkebunan, melihat gubug, karung pupuk, hingga suara serangga musim panas yang sering ia dengar di film doraemon. Maka sudah seharusnya saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan jelas dan baik.
Pada area ini beberapa kali berjumpa dengan para petani yang sedang beraktivitas, maka beberapa kali kami menyapa dan tentu saja kami mendapatkan sapaan balik dari mereka. Ah serunya awal perjalanan ini, bisa berinteraksi dengan warga sekitar. Mengingatkan pendakian Gunung Prau via Wates yang sempat kami lakukan di bulan Agustus tahun 2016.
Langkah kaki kami mengantarkan posisi kami mendekat ke gerbang rimba, sebuah istilah dalam dunia pendakian yang menandai batas antara kebun warga dan hutan. Tentu saja hutan di jalur Arsal ini akan berbeda sekali dengan hutan di Gunung Kemiri ataupun di Gunung Sinabung.
Beberapa kali kami menjumpai beberapa pendaki yang melakukan perjalan turun, dan tentu saja sudah bisa ditebak siapa yang menjadi perhatian ketika kami berpapasan? Yap, Rengganis menjadi bintang perjalanan kami saat itu. Bagaimana tidak, celana merah, jaket kuning dan suara lengkingnya yang cerewet membuat banyak pendaki yang menaruh senyuman padanya.
Akhirnya kami sampai di Pos 1, berjarak sekitar 650 meter dari basecamp. Rengganis sudah nampak kelelahan dan berkeringat, segera ia membuka tas Deuter Kikki nya untuk menemukan coklat Cha-Cha yang memang sudah ia impikan sedari basecamp. Sembari duduk di kursi dan meja dari kayu di Pos 1, kami mengeringkan sejenak keringat yang tentu saja sudah mulai membasahi baju kami.
Saya tidak lupa untuk menandai lokasi Pos 1 dalam GPS Garmin saya. Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan dengan lelah yang sudah cukup berkurang. Dari pos 1 menuju pos 2, kami menjumpai seorang pendaki, sepertinya ia berjalan terlebih dahulu dari rombongannya. Terlihat dari tas carrier nya yang berukuran cukup besar. Ketika ia berpapasan dengan kami, ia segera melempar senyum kepada Rengganis.
Dengan badan sedikit membungkuk, ia mengarahkan telapak tangannya seukuran pandangan Rengganis. Segera Rengganis meresponya dengan melayangkan telapak tangannya dengan sekuat tenaga. TOOSSS….!! saya pun tersenyum keheranan dengan tingkah mereka berdua. Pendaki tersebut pun berlalu pamit kepada kami sekeluarga. Sehat-sehat terus ya Mas Pendaki TOOSSS….!!
Perjalanan kami teruskan hingga menuju ke Pos 2, kalau tidak salah berjarak sekitar 400 meter dari Pos 1. Di sini terdapat kursi dari kayu untuk duduk beristirahat. Kalau tidak salah ingat kami di sini berjumpa dengan sepasang pendaki yang tidak lama setelah kami beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan turun.
Saat beristirahat di Pos 2, kami juga menjumpai 2 anak SD dengan satu pendaki yang mendampingi mereka. Mereka tidaklah lama di Pos 2, hanya beberapa detik, lalu melanjutkan langkah kembali menuruni tangga tanah yang membelah vegetasi rendah.
Di Pos 2 ini, Rengganis nampaknya sudah mulai kelelahan, ia minta untuk naik ke tas baby carrier yang dibawa istri saya. Lalu terjadilah adegan pertukaran tas. Istri saya membawa Deuter Futura 42, saya membawa tas baby carrier yang berisi Rengganis. Dengan bobo Rengganis yang kini sudah mencapai 16 kilogram, ditambah beberapa logistik yang tersemat di bagian bawah tas baby carrier, jadilah memunculkan suara “ngeden” saat pertama kali menuju posisi berdiri tegak dari posisi duduk.
Disaat kami mulai hendak melanjutkan langkah, dari arah atas terdengar seok langkah yang menyibak sunyi di Pos 2. Turunlah seorang pemula (pendaki muka lama) yang berjalan sendirian dengan tas model ultralight. Akhirnya kami mengobrol sejenak, obrolan yang jujur saja saya rindukan ketika sedang melakukan pendakian.
Beliau rupanya berasal dari Kota Salatiga, satu rombongan dengan 2 anak SD yang sebelumnya melintasi posisi kami, juga satu rombongan di atas yang memuat 2 orang bule. Kami pun mengobrol sejenak, ah sekedar obrolan remeh temeh namun meninggalkan kesan bagi saya. Ia menanyakan apakah saya mebawa mantel karena di atas nampaknya akan turun kabut yang tidak menutup kemungkinan akan menjadikan hujan sebagai kenyataan.
Saya pun menjawabnya kalau saya membawa mantel dengan jumlah kami, serta tarp tent guna sejenak berteduh ketika memasak nanti. Obrolan kami pun sejenak beralih ke peralatan ultralight yang sedang kami bawa masing-masing. Hahahah, rupanya pemula seperti kami memang sudah saatnya beralih ke ultralight, selain dana yang sudah longgar, juga kondisi badan yang tidak segegabah jaman muda.
Kami pun saling berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Jika Mas pemula membaca tulisan ini, kontak saya ya Mas, kita hiking bareng di kesempatan selanjutnya.
Kami berjalan kembali, tentu saja kami berpapasan dengan rombongan yang sempat diceritakan Mas pemula tadi itu. Mungkin jumlahnya ada sekitar 10 orang, ada 2 mas bule di tengah rombongan itu, sepertinya mahasiswa dari caranya berpakaian saat itu.
Di depan rombongan itu ada 2 orang perempuan yang menyapa Rengganis dengan riangnya. Salah seorang dari mereka menanyakan umur Rengganis kepada saya, sepertinya kelak family goal nya ingin bertualang bersama seperti kami ini.
Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 berjalan dengan pelan, selain jalur yang semakin menanjak, tenaga yang sudah terkuras, dan bobot di pundak masing-masing (kecuali Rengganis) yang lebih berat dari sebelum Pos 2.
Sesekali Saya dan Istri saya duduk di tangga tanah yang cukup tinggi, mendengarkan detak jantung dan juga menenangkan Rengganis yang maunya jalan terus. Hahahaha, lha dia kan enak tinggal duduk digendong. Lumayan juga ternyata dengan bobot Rengganis yang sudah mencapai 16 kilogram ditambah dengan beberapa muatan di dalam tas, jalan menanjak seperti ini terasa menanjaaaaaaaaaak tanpa ujung hihihihi.
Sesampainya Pos 3, kami kembali duduk beristirahat sekitar 5 menit, tidaklah terlalu lama kami di sini, karena lokasinya tidaklah banyak menyisakan tempat datar yang cukup lapang untuk membongkar muat perabotan kami. Lantas Kami melanjutkan perjalanan guna mencari lokasi yang lebih ideal. Kami menemui area Tugu Batas, terdapat patok batas antara kabupaten Semarang dengan Kabupaten Magelang.
Di area Tugu Batas ini kami sempat berfikir sejenak, apakah akan membuka perabotan di sini atau lanjut sedikit lagi agar mendapatkan ruang pandang yang lebih luas. Karena dalam area Tugu Batas masih ditemui tanaman tingkat tinggi, jadi rasanya itu gak bisa melihat lanskap yang lebih luas.
Kami kembali berjalan, kali ini Rengganis minta untuk berjalan sendiri. Dasarnya memang sudah capek, baru berjalan tidak sampai 20 meter sudah minta digendong kembali, akhirnya terpaksa saya gendong kembali ketika kabut perlahan merapat ke posisi kami.
Kami memulai perjalanan dalam kondisi yang syahdu, jalan setapak, kabut tebal, udara dingin dan juga suara riang Rengganis yang wajahnya berkali-kali menghindari goyangan rerumputan yang berpindah posisi karena gerakan tangan saya, bisa disimak pada video di bawah ini.
Akhirnya kami sampai di sebuah lokasi yang bernama Tanjakan Katresnan alias tanjakan cinta. Karena kekuatan cinta kami, maka akhirnya kami memutuskan untuk menggelar hajatan makan siang di sini saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.46 WIB.
Segera saya memasang tarp tent untuk keadaan darurat bilamana hujan turun dengan mendadak. Lalu menyiapkan perlatan masak untuk makan siang. Cukuplah segelas kopi, tentunya dengan gelas ukuran jumbo ya. Disambung dengan 2 porsi mi lemonilo, dilanjutkan dengan memasak setengah porsi pancake untuk makanan penutup dan sedikit bekal untuk perjalanan turun.
Rengganis sangat kegirangan berada di tempat ini, berkali-kali ia berkeliling dengan menari serta mendendangkan lagu yang tidak berlirik. Istri saya fokus memasak, dan saya harus fokus menjaga Rengganis agar tidak ke area-area yang berbahaya. Posisi kami sedang berada di igir, tahu kan apa itu igir?
Ah, akhirnya saya bisa merasakan momen ini , bersantai di alam dengan cuaca yang syahdu, mendengar dendangan anak yang sesekali diselingi kicauan burung, serta suara Istri yang memberi kabar bila masakan sudah siap disantap. Momen yang dalam waktu dekat ini ingin kami rasakan bersama kembali.
Sekitar 60 menit kami berada di titik ini, kami tidak menjumpai orang lain yang melintas. Hanya ada kami, hingga akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, kami mulai berkemas, mencoba bergegas agar ketika turun tidak terkena hujan. Lokasi kami saat ini, sesekali rintik gerimis karena kabut. Hal ini menandakan bahwa area bayangan hujan telah terbentuk pada ketinggian di bawah kami.
Setelah semua perabotan telah masuk ke dalam tas, dan kami memastikan tidak meninggalkan sampah. Kami berdo’a sejenak untuk kemudian mulai melangkahkan kami untuk menuruni tangga-tangga yang telah mengantarkan kami menuju ketinggian.
Suara langkah kaki berbalut dengan sunyinya cakrawala, ada secercah lelah yang telah terbayar oleh tawa.
Berlatar belakang kabut, saya mencoba mengajak Rengganis untuk berfoto bersama, dan ya seperti terlihat pada foto di bawah ini, Ia selalu bersembunyi dalam telapak tangannya.
Kami mencoba turun dengan cepat, mengejar waktu agar tepat dalam melipat jarak. Penggunaan GPS sangat membantu dalam melihat posisi pos selanjutnya. Sebelum sampai pos 2, hujan rintik memberikan komando kepada kami untuk mengenakan mantel sesegera mungkin. Selang 5 menit berjalan hujan mereda, namun kami tetap mengenakan mantel, hingga ketika sampai di Pos 2, hujan akhirnya datang. Perjalanan dari Pos 2 hingga Pos 1 ditemani oleh hujan dengan intensitas sedang.
Dai Pos 1 menuju ke basecamp, barulah hujan turun cukup deras. Sepatu istri saya sempat jebol karena sol nya terlepas, terpaksa saya ikat dengan tali agar bisa digunakan dengan baik hingga perjalanan turun.
Rengganis mulai merasakan kedinginan ketika sudah memasuki area perkebunan warga, dimana hujan paling deras ada di aera ini. Badan saya terasa pegal sekali, bobot tas bertambah karena basah, ditambah stamina saya yang sudah menurun. Pundak terasa pegal tak terkira, badan saya mulai kedinginan. Namun, saya harus bisa sampai di basecamp sesegera mungkin agar Rengganis bisa segera berganti pakaian kering dan minum teh hangat.
Saya lupa pukul berapa akhirnya sampai di basecamp, kami terlalu fokus untuk bersyukur dan mengurus dengan segera Rengganis agar bisa menghilangkan rasa dinginya. Tak berselang lama, alhamdulillah suhu tubuh Rengganis sudah normal kembali dan tidak merasakan kedinginan.
Kami sempat panik karena telapak tangan Rengganis memerah, ketika saya tekan dan saya usap katanya tidak terasa sakit. Rupanya warna merah tersebut karena Rengganis memegang erat celana merahnya ketika perjalanan turun, warna merah ini luntur dan membekas di telapak tangannya.
Oh ya, di depan basecamp inilah pertama kalinya Rengganis bisa melihat pelangi secara langsung. Sebuah dongeng menjelang tidur yang kini menjadi kenyataan baginya, saya tak sempat mendokumentasikan keberadaan pelangi saat itu dengan riang senyum Rengganis, tak terpikirkan untuk masuk ke dalam basecamp guna membongkar tas untuk mencari dimana ponsel saya. Biarkan memori ini terekam secara organik.
Setelah semua dikemas dengan baik, kami berpamitan dengan petugas yang ada di basecamp, cuaca telah cerah dan mendukung kami untuk bisa segera pulang. Tak sampai 10 menit memulai perjalanan, Rengganis sudah terlelap tertidur dalam kelelahan. Alhamdulillah kami bisa sampai ke kontrakan kami dengan selamat tanpa ada halangan apapun selama perjalanan.
Badan pegal dan beragam perabotan kotor menemani kami ketika menyalakan lampu rumah. Lumayan juga olahraga hari ini, membuat Rengganis ketagihan diajak naik gunung kembali. Kami sebagai orang tua juga harus rajin berolahraga kembali untuk meningkatkan stamina kami ketika mengajak Rengganis naik gunung.
Jadi, adakah keluarga muda yang berada di sekitaran kami? Yuk kapan-kapan ngetrip bareng, gak perlu harus naik gunung, bertualang ria di bumi perkemahan juga sepertinya seru.
31 comments
anak laki lakiku wis 26 kilo ki mas saiki.
bakal boyokan kalau dia minta gendong,
perlu latihan squat kayanya aku.
rencana bulan sepetember ini mau naik ke sana
wkwkw wes gede yo Mas, wes berapa tahun to siki? 6 ya? kayake sama anaku jaraknya 2 tahunan,
latihan squat buat nggendong apa buat naik gunung?
sudah mulai sering hujan di daerah sini Mas, hati-hati ya,,,
Menyenangkan sekali membaca postingan ini, sekaligus perkenalan pertama dengan Rengganis yang sudah naik gunung sejak usia dini sekali 😀 wajahnya ceriaaa bangeet 😀 jadi kangen naik gunung nih dan ngehirup udara segarnya :3
Ayo naik gunung kembali, mumpung masih pada sepi,,, hihihih
Masya Allah.. seruuu banget nih cerita pendakiannya. Saya baca gak ada yang skip lho.. haha.. saking serunya. Salam buat adik Rengganis yaa.. ceria bangett bikin gemesss 🙂
Btw Solo nya mana, Mas?
terimakasih mba Diah telah berkenan membaca tanpa skip-skip. Salam disampaikan mba,
Di Boyolali, dekat pintu tol kota, silahkan mampir kalau ke Boyolali mba…
wuih keren bgt nih mas bisa mendaki bareng keluarga tercinta. serunya!!!
iya, mumpung ada libur dan memang sudah direncanakan, 😀
Waah seneng bgt ya mas bisa mendaki bareng keluarga. Saya sendiri sudah lama gak pernah mendaki. Jadi kangen masa-masa muda dulu
Ayo Mas, mari mendaki kembali, hiburan fisik sembari bernostalgia 😀
Ya Allah keren banget sih Ghozali sekeluarga benar-benar petualang sejati, kalau aku sudah nggak kuat deh haha pengen mengajak anak-anak berkemah kayaknya seru ya
terimakasih teh Dewi,, ayo camping di umbul sidomukti aja teh,,, ayo….
keren sekali mas.. pengen sekali rasanya naik gunung. tapi apa daya, temen-temen saya nggak ada yang mau karena takut hal-hal mistis.
hohoh naiknya pas siang aja, bisa si mistis lagi bobo,,,
Keren banget Rengganis… Tante aja belum tentu sanggup buat mendaki gunung kayak gitu.. Gemes deh.. Sehat sehat terus ya Rengganis dan keluarga..
ayo tante Elisa, naik bareng Rengganis,,,,haha
siap mba, terimakasih…. sehat selalu juga buat mba Elisa…
Abis baca cerita mendaki gunung ini, aku tiba2 kepikiran ntar kelar pandemi mau ajak suami dan anak2ku mendaki gunung 😍 Suka deh melihat keluarga kecil ini menikmari pemandangan alam, ada masaknya juga, ada serunya.
Ayo mba, segera setelah kelar pandemi, mari menepi mencari sepi di bawah kesejukan kanopi alami
waw, seru banget naik gunung bareng keluarga yaa, mana adek rengganis bahagia banget itu disana… saluut trimakasih sharingnya pak,
terimakasih kembali mas Adjie
keluarga satu hobi nih, asik banget,saya pernah diajak untuk mendaki, tapi masih ragu banget dan masih parno
Ayo ayo ayo, gak usah pakai takut dan overthinking, pokoknya ya gas saja sampai ke puncak Mas,,
MasyaallaH. Luar biasa. Iri sayaaa melihat kebersamaan kalian naik gunung ini.
terimakasih mba Agustina …
Ya ampun, Kaaakk, seru bangeett bisa mendaki sekeluarga
mana adek kecilnya kooperatif sekaliii
masyaALLAH, tabarokALLAH.
Pengin dehh, ketemu sama adek manis kalo aku main2 ke Solo yaakkk
Silahkan mba, main-main ke sini, dekat exit tol Boyolali kota mba,,,
Wah, menarik sekali ceritanya mas, berasa ikut mendaki. Menantang banget ya bawa bocil ke atas… hahaha. 16 Kg… kalau saya udah langsung ambil cuti bbrp hari setelah itu… pegel pasti.
betul, lumayan juga ini badan tidak pernah dibawa fisik berat selama beberapa tahun. hahaha
Keluarga idollaaaaa ketua👍😊
matursuwun mba…
Duh mimpiku yang tertunda nih mas, saya dulu sejak sma juga pendaki. Istriku juga pendaki, belum sempat punya momongan istri keburu meninggal. semoga kelak bisa melanjutkan mimpi ini dengan anak anak dan istri yang baru,,,aaminn