Di sudut kelas pada jam pelajaran terakhir, Andra mengerang pelan sambil memegangi punggungnya yang tertutup kain kasa. Seminggu sebelumnya, kulitnya masih mulus. Tapi kini, di antara bahu dan tulang belikatnya, muncul ruam-ruam merah seperti api yang menyebar, disertai lepuhan kecil berisi cairan. Pak Aldo sebagai guru IPA menduga bahwa Andra terkena cacar api.
Pak Aldo menanyakan kepada Andra mengenai apa saja yang dirasakannya. Andra bercerita pertama kali merasakan gejala aneh saat bangun tidur dua hari sebelumnya. “Awalnya hanya gatal dan panas di punggung, seperti digigit semut api,” katanya pada Pak Aldo. Namun sehari kemudian, bercak merah itu meluas dan menyebar hingga ke dada. Pak Aldo menyuruh Andra untuk izin pulang dan segera memeriksakan kondisinya kepada dokter agar bisa segera di diagnosa dan mendapatkan perawatan medis yang tepat.
Andra lantas pergi ke rumah sakit bersama Ibunya, setelah pemeriksaan oleh dokter spesialis kulit, dokter mendiagnosis penyakit yang dialami oleh Andra dengan nama Herpes Zoster atau cacar api. Penyakit yang muncul akibat virus Varicella Zoster yang tertidur di tubuh Andra sejak ia terkena cacar air di usia 5 tahun.
Berdasarkan hal yang dialami oleh Andra, mari kita telusuri lebih dalam apa sebenarnya cacar api, ciri-cirinya, dan bagaimana mencegahnya agar kita bisa mengambil langkah apabila ada saudara atau teman di sekitar kita yang mengalami tanda-tanda cacar air.
Apa Itu Cacar Api?
Cacar api atau Herpes Zoster adalah infeksi virus yang disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella Zoster (VZV), merupakan virus yang sama yang menyebabkan cacar air. Setelah seseorang sembuh dari cacar air, virus ini tidak hilang sepenuhnya, tetapi “tertidur” di saraf tulang belakang. Penyebabnya adalah saat sistem imunitas tubuh melemah (akibat stres, usia lanjut, atau penyakit tertentu), virus ini kembali bangkit dan menyerang saraf serta kulit, menimbulkan ruam menyakitkan dengan rasa seperti api menjalar.
Gejala dan Ciri-Ciri Cacar Api
Cacar api atau herpes zoster sebenarnya memiliki gejala yang tidak jauh berbeda dengan penyakit kulit pada umumnya, bahkan terkadang terasa samar dikarenakan disertai dengan gejala penyakit lainnya. Secara umum, penderita cacar api akan mengalami 3 fase, masing-masing fase bisa dipahami lebih lanjut di bawah ini :
- Fase Prodromal (1-5 hari sebelum ruam) :
- Permukaan kulit akan terasa panas, gatal, atau kesemutan di area saraf tertentu.
- Gejala awal seperti flu yaitu lelah, demam ringan, dan sakit kepala.
- Fase Ruam Akut :
- Muncul bercak merah dengan lepuhan kecil berisi cairan, lepuhan ini akan membentuk pola seperti rantai atau “garis api” pada permukaan kulit.
- Nyeri tajam seperti terbakar atau tersengat listrik.
- Ruam ini hanya di satu sisi tubuh (misal: separuh punggung, atau satu sisi wajah).
- Fase Pemulihan:
- Lepuhan akan mengering dalam 7-10 hari, meninggalkan bekas di kulit.
- Nyeri bisa bertahan selama berbulan-bulan (postherpetic neuralgia/PHN).
-Kisah Andra-
“Ruam di punggungku seperti diiris pisau setiap kali bergerak,” cerita Andra. Ia harus tidur tengkurap selama dua minggu dan menghindari kontak dengan adiknya yang belum pernah cacar air.
Diagnosis Cacar Api, dari Mitos ke Fakta Medis
Awalnya, keluarga Andra mengira ruam itu alergi atau gigitan serangga. Tapi pola ruam yang khas dan riwayat cacar air di masa kecilnya membantu dokter cepat mendiagnosis apa yang dialami oleh Andra. Pada bagian ini, mari kita mencoba lebih bijak membedakan mana mitos dan mana fakta medis, terutama pada cacar api.
Langkah diagnosis secara medis :
- Pemeriksaan klinis pada pola ruam hanya di satu sisi dan nyeri khas menjadi petunjuk utama.
- PCR test dilakukan untuk bisa mengambil sampel cairan lepuhan guna mendeteksi DNA virus Varicella Zoster (VZV).
- Pengambilan sampel darah guna dilakukan tes darah mempermudah dalam pemeriksaan antibodi IgM dan IgG terhadap Varicella Zoster (VZV).
Mitos yang dianggap biasa oleh pasien :
- Sering dikira penyakit kulit biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya, seperti dermatitis atau herpes simpleks.
- Nyeri di fase awal sering disalahartikan sebagai sakit jantung (jika ruam di dada) atau migrain (jika di wajah).
-Kisah Andra-
“Kata dokter, jika terlambat diobati, cacar api di wajah bisa sebabkan kebutaan. Aku bersyukur segera ke rumah sakit,” ungkapnya
Penanganan Medis Guna Melawan Virus Sebelum Menyebar
Pengobatan cacar api berfokus pada pengobatan dari dalam dan luar, dari dalam guna memerangi virus penyebabnya, sedangkan dari luar untuk mengurangi rasa gatal dan perih yang muncul. Ada 4 penanganan yang biasa dilakukan, yaitu :
- Antivirus (Acyclovir/Valacyclovir) yang diberikan dalam 72 jam pertama untuk mengurangi persebaran dan perkembangbiakan virus.
- Penghilang Nyeri, bisa berupa obat antiinflamasi (ibuprofen) untuk nyeri ringan, dan antidepresan trisiklik atau antikonvulsan untuk PHN.
- Perawatan Topikal beripa lotion kalamin atau lidokain gel untuk mengurangi gatal yang terasa.
-Kisah Andra-
Andra mencoba kompres dingin dan madu untuk menenangkan kulit. “Ini membantu, tapi bukan pengganti obat dokter,” tegasnya.
Pencegahan Cacar Api Melalui Vaksin dan Imunitas Kuat
Seperti yang kita tahu bahwa pencegahan lebih baik daripada mengobati, cacar api bisa dicegah dengan beberapa cara seperti di bawah ini :
- Vaksin Shingrix®, yang menurut penelitian memiliki efektivitas 97% pada usia 50 tahun ke atas. Vaksin ini diberikan dalam 2 dosis dengan rentang waktu 2-6 bulan.
- Jaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan kaya vitamin C (jeruk), zinc (kacang), dan probiotik (yogurt). Selain makanan, istirahat yang cukup dan pengelolaan stres juga wajib diperhatikan agar kondisi imunitas tubuh semakin baik.
- Hindari kontak dengan kelompok rentan, karena orang-orang dengan imun yang sedang rendah lebih rentan terkena cacar air. Adapun seperti ibu hamil, bayi, orang dengan HIV lebih mudah berisiko tertular dari lepuhan cacar api.
-Kisah Andra-
“Aku divaksin Shingrix setelah sembuh. Dokter bilang, ini mengurangi risiko kambuh 90%,” ujarnya.
Ajakan untuk Berempati dan Beraksi
Cacar api atau herpes zoster bukan hanya sebagai penyakit fisik saja. Studi di Journal of Pain (2019) menyebutkan 45% penderita mengalami depresi akibat nyeri kronis yang muncul baik saat fase ruam akut ataupun fase pemulihan.
Yang Bisa Kita Lakukan:
- Jauhi stigma negatif tentang cacar air atau herpes zoster. Perlu ditekankan bahwa herpes zoster tidak terkait dengan perilaku seksual, jadi berbeda dengan herpes genital.
- Dukung vaksinasi, terutama pada usia dewasa.
- Bantu pemulihan pasien dengan cara menghindari menyentuh ruam penderita dan tawarkan bantuan praktis seperti mengantar ke dokter atau membelikan obat.
Pesan dari Andra :
“Nyeri ini tak terlihat, tapi nyata. Dukungan orang di sekitar adalah obat terbaik.”
Dari Nyeri Menuju Kewaspadaan
Andra, yang kini kuliah di jurusan kesehatan masyarakat, aktif mengedukasi remaja tentang pentingnya vaksinasi. “Dulu aku malu karena cacar api. Sekarang aku bangga jadi bagian dari solusi,” katanya. Dengan vaksinasi, deteksi dini, dan manajemen nyeri yang tepat, kita bisa memutus rantai penderitaan dari virus yang “tertidur” ini.
Fakta Menarik:
- 1 dari 3 orang akan mengalami cacar api atau herpes zoster dalam hidupnya (CDC, 2023).
- Risiko meningkat setelah usia 50 tahun keatas, tetapi bisa terjadi pada anak muda dengan imunitas tubuh yang rendah.
- Ruam cacar api atau herpes zoster hanya muncul di satu sisi tubuh, mengikuti jalur saraf yang terinfeksi. Jadi ketika punggung terdapat ruam, maka bagian dada tidak terkena. Jika wajah sebelah kiri terdapat ruam, maka wajah sebelah kanan tidak terdapat ruam.
Referensi tambahan :
- Cohen, J. I. (2013). Herpes Zoster. New England Journal of Medicine.
- Kawai, K. et al. (2016). Risk Factors for Herpes Zoster: A Systematic Review and Meta-Analysis. Open Forum Infectious Diseases.
- CDC. (2023). Shingles (Herpes Zoster) Vaccination.
- WHO. (2022). Varicella and Herpes Zoster Vaccines: WHO Position Paper.
- Dworkin, R. H. et al. (2007). Recommendations for the Management of Herpes Zoster. Clinical Infectious Diseases.