Pendakian Gunung Muria ini saya lakukan pada tanggal 17 Agustus 2015 di Gunung Muria dengan Puncak B29 sebagai tujuan sebelum turun kembali, melalui jalur dari Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
Kudus terasa panas sekali siang itu, yang dengan cepat menguapkan harapan saya menikmati keindahan alam di Karimun Jawa. Gelombang tinggi menjadi satu-satunya alasan mengapa tidak ada penyebrangan ke Karimun Jawa pada minggu itu. Kudus menjadi kota tempat saya transit selama menanti kabar baik dari pihak pelabuhan Kartini, Jepara.
Suat dan rumahnya, tidak jauh berubah semenjak di penghujung 2012 saya mengunjunginya. Saya juga masih selalu bingung dengan labirin menuju rumahnya jika ditempuh dari alun-alun.
Pagi itu Suat berpura-pura sakit demam ( I can read it from your face bro) sehingga menemukan alasan tepat dan cepat untuk tidak menemani saya ke puncak B29. Terpaksa jok belakang saya isi dengan carrier dengan logistik instant yang saya dapatkan di perjalanan menuju ke Desa Rahtawu.
Perjalanan menuju Desa Rahtawu sebagai titik awal pendakian menuju puncak B29 di Gunnung Muria saya tempuh sendirian dalam udara hangat pagi khas pantura. Tidaklah terlalu sulit menuju ke Desa Rahtawu, sudah banyak plang penanda jalan sedari kota.
Gerakan kuda besi saya meliuk mengikuti setiap tikungan yang menggoyang isi tas carrier saya. Tidak memerlukan waktu lama bagi saya untuk bisa menemukan pos pendakian yang memang semenjadi dari Desa Rahtawu lengkap sekali plang penunjuk arahnya.
Jumlah kendaraan bermotor pada pos perijinan pendakian yang sederhana tersebut rupanya banyak sekali, saya sekilas membayangkan jumlah pendaki yang ada di Puncak B29 sana.
Seusai motor saya titipkan, membayar retribusi masuk lokasi, kemudian saya berdoa sejenak untuk mengawali langkah kecil saya menapaki jalanan yang telah terpapar cahaya terik saat itu.
Melangkah sendiri memang menguntungkan karena tidak perlu menanti dan dinanti, disamping beban di puncak yang jauh lebih ringan dari pada pendakian-pendakian biasanya. Langkah cepat dan teratur saya gunakan terus hingga akhirnya saya menemui beberapa pendaki yang turun.
Saya berhenti sejenak sembari melihat arloji pada pergelangan tangan kiri saya, saya kembali berpapasan dengan pendaki lainnya. Ratusan pendaki lebih yang saya temui ketika berlawanan jalur dengan saya.
Saat masih awal-awal saya masih sanggup mengeluarkan sapaan, kemudian sekitar seratusan pendaki kemudian saya hanya memberikan senyum. Entah kenapa rasanya lelah saya ketika harus menyapa mereka yang mungkin jumlahnya 300 hingga 400 pendaki yang saya temui dalam perjalanan menanjak saya.
Langkah semakin saya percepat guna mengejar waktu yang semakin siang. Sempat saya bertemu rombongan pendaki yang duduk beristirahat dalam perjalanan turun, muka kelelahannya menggambarkan kondisi fisik mereka yang memang tidak terbiasa mendaki bahkan tanpa membawa beban.
“Puncak masih jauh mas..!!” ucap seseorang dengan muka yang memaksa untuk bicara padaku di sela tarikan nafasnya.
Saya membalas dengan senyum sejenak, kemudian menyahut “Parkiran juga masih jauh mas..!!” Sontak gerombolan itu menyoraki pendaki tersebut.
Langkah semakin saya percepat karena waktu saya cukup terbuang ketika harus berbagi jalan dengan para pendaki yang turun dengan langkah kaki yang gontai. Ketika anda coba menyaksikan lebih seksama, anda akan mudah sekali membedakan antara mereka yang terbiasa dengan olah dan yang jarang olah fisik.
Salah satu cara membedakan yang paling mudah adalah ketika melihat langkah ketika turun dengan jarak sekitar 30-60 menit setelah titik tertinggi mereka. Akan ada langkah kaki yang aneh ketika memaksa melangkahkan kakinya menuruni yang telah mereka lewati saat menuju puncak.
Sering sekali saya berhenti dengan menepi pada beberapa tikungan atau jalan setapak ketika berhadapan dengan mereka yang berlawanan arah dengan langkah pelan turunnya.
Perkiraan waktu pendakian yang saya perkirakan adalah sekitar 2 jam untuk mampu mencapai puncak B29. Berjalan sendirian melewati medan yang tidak terlalu menanjak dan juga beban yang sangat ringan membuat saya mampu melangkah lebar dan memperjauh jarak untuk bersitirahat.
Ritme langkah saya sangat teratur saat itu, saya merasa sangat berbeda sekali saat itu, sebuah perasaan yang sudah lama tidak saya rasakan.
Sebuah perasaan bebas karena bisa melangkah tanpa mengejar dan tanpa menanti. Beban yang terbiasa melekat saat mendaki, kini terasa jauh lebih ringan.
Pada sebuah pertigaan, saya bertemu dengan 6 anak kelas X SMA. Mereka bertanya kepada saya,
“Om, ke puncak lewat mana ya?”
“Saya rasa lewat jalan itu” sembari menunjuk jalan teduh yang menanjak “Saya juga baru pernah ke sini, ayo jalan bareng saja, nanti kalua nyasar juga saya temani kok” lanjut jawabku.
Akhirnya kami berjalan bersama dengan posisi saya di belakang sendiri. Dengan bergabungnya saya dengan mereka, maka membuat ritme langkah saya turun secara drastis. Di mana biasanya saya beristirahat 15-20 menit sekali, kali ini 4-7 menit selalu ada istirahat. Waktu istirahatnya semakin lama meningkat baik dari durasi maupun intensitasnya.
Puncak yang sudah terlihat dan seharusnya bisa dicapai dalam setengah jam terpaksa menjadi sekitaran satu jam. Saya harus rela langkah saya sering terhenti karena menjaga baris terakhir anak-anak SMA tersebut.
Sesekali mereka berhenti dan menengok ke belakang untuk sekedar bersyukur atas pemandangan yang baru pernah mereka lihat. Sering terlihat beberapa dari mereka terlihat gemetaran setiap mencoba meraih bebatuan untuk membantu pijakan kakinya. Setiap langkah yang kami gerakan satu demi satu semakin mendekatkan posisi kami ke puncak.
Sesaat sebelum puncak B29, saya sempat berhenti pada lokasi yang teduh. Hadirlah sesosok pria dengan yang perawakan yang lebih muda dari umurnya setelah saya mengobrol dengannya. Beliau dan keponakannya baru pertama kali ini berkunjung ke puncak B29, sama seperti saya.
Beliau adalah seorang konsultan pada bidang aristektur yang lebih condong ke permodelan hidrologi. Seorang veteran pendaki yang sudah menapaki berbagai puncak di Indonesia, serta menyelami sebagian lautan di Indonesia. Kini beliau berdomilisi di Bandung, namun beliau berasal dari Cilacap, satu karisidenan dengan saya.
Obrolan kami berlanjut dari mulai membahas pengalaman beliau hingga menyerempet ke ranah hidrologi. Sejenak membayangkan ketika desa Rahtawu yang ada di bawah kami tersebut dijadkan waduk, lalu diskusi singkat mengenai jenis tanah, water catchment area, curah hujan, serta waktu yang diperlukan untuk mampu mengisi penuh waduk tersebut.
Sebuah obrolan yang baru pernah saya temukan selama mendaki berbagai gunung di Indonesia. Anak-anak SMA yang berada di sekitaran kami hanya terbengong karena tidak mengerti apa yang kami bicarakan, mungkin belum mengerti untuk lebih tepatnya.
Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di puncak B26 dengan keadaan yang sehat namun perlu beristirahat beberapa saat. Ada warung yang berada tepat di depan gapura ketika kita menapak puncak.
Ada sebuah lokasi yang bergaya bangunan Hindu, berupa satu area dengan pagar dari batu bata yang memisahkan teras dan area utama. Pada area utama ada semacam patung setinggi sekitar 4 meter, pada beberapa titik ada patung kecil yang menghadap ke bangunan tinggi tersebut.
Saya melangkah ke sebelah utara untuk menaungi rasa penasaran saya, ternyata ada patung yang mirip dengan lokasi pertama tadi, namun tanpa ada pagar yang membatasinya. Ada juga menara kecil, sepertinya menara tersebut hanya sebagai menara telekomunikasi. Saya berjalan di sebuah igir yang saya tidak tahu kemana jika saya teruskan langkah saya tersebut.
Pada ketinggian sekitar 1.700 mdpl tersebut, pemandangan yang bisa dilihat hanyalah puncak puncak kecil dari Gunung muria yang sepertinya melingkari posisi saya saat itu. Kondisi tengah hari membuat hamburan di atmosfer semakin membatasi pandangan saya untuk melihat titik yang lebih jauh.
Saya kembali ke sebuah tempat duduk dari papan yang berada di depan warung tadi, sembari mengambil gambar patok batas antara Kudus dan Jepara yang tepat berada di depan saya. Menikmati siang terik namun cukup terasa sepoi saya rasakan di bawah pohon bunga terompet tersebut.
Sesekali mengobrol dengan orang-orang yang tadi sempat bersama saya selama perjalanan. Kaos yang telah basah oleh keringat kini telah kering dan hanya menyisakan aroma yang melekat. Sekitar 90 menit setelah kami berada di puncak, akhirnya kami memutuskan untuk turun menuju kembali ke titik pendakian.
Kami sempat berfoto bersama dulu dengan background bangunan yang ada di puncak B29. Berdoa sejenak sebelum melangkah turun, agar langkah kami diperlancar tanpa kendala berarti. Formasi saat turun tetap sama seperti saat naik, saya tetap di belakang guna menjaga mereka yang berada di depan saya.
Gerakan turun mereka bisa saya katakana berbahaya, beberapa dari mereka memilih untuk berlari dengan mengandalkan beberapa pengangan seadanya untuk mengerem langkah mereka. Sesekali saya hanya bisa menasehati agar tidak terlau membuka lebar langkah kaki saat turun, untuk meningkatkan daya pengereman dan mengurangi peluang terpeleset akibat daya cengkram kaki yang membuka sudut tumpul.
Di sepanjang perjalan turun, saya beberapakali memberikan contoh gejala alam yang terjadi di sekitaran jalan turun, seperti bekas longsor, jenis awan, bentuk igir hingga beberapa contoh tanaman yang bagi mereka baru pernah melihat secara langsung. Sampai ada satu anak yang berkata “Wah naik sama Mas Ghozali seperti naik sama guru, apa-apa dijelaskan”, saya tersenyum saja menanggapi celoteh positifnya.
Tak terasa kami sampai di sebuah pos yang terdapat warung, kamar mandi dan mushola. Berbasuh dengan air pada ketinggian tersebut cukup memerahkan kaki kami karena sudah diajak bekerja keras.
Sejenak menanti keringat kami mengering untuk menyamankan diri melaksananan sholat berjamaah di mushola kecil namun bersih tersebut. Kembali melanjutkan perjalanan yang sepertinya baru kami tempuh sepertiganya.
Ritme turun kembali semakin memisahkan rombongan depan dan belakang, 3 anak di depan bergerak sangat cepat, sedangkan 3 di belakang terlihat sangat berhati-hati dengan langkahnya. Seingat saya, kami hanya bersitirahat 2-3 dua kali dalam perjalanan dari mushola hingga parkiran.
Ketika jalan sudah mulai datar, rombongan kami mulai terlihat lebih rapat. Jalan datar memang lebih lebar, sehingga bisa berjalan 2 hingga 3 orang secara bersamaan.
Sore itu terlihat cerah saat, siluet bukit di depan saya menggoda untuk diabadikan dalam bingkai digital. Sesekali ROL atau Ray of Light menusuk diantara sela pepohonan yang semakin menunjukkan keseksian kabut tipis sore itu.
Tak terasa sampailah saya di parkiran motor yang ternyata berbeda lokasi dengan parkiran ke 6 anak SMA tersebut, janji hendak bertukar kontak tertunda hingga membuat saya menanti mereka di dekat area wisata sungai Desa Rahtawu. Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya saya bisa mencegat salah satu dari mereka untuk memberikan nomor ponsel saya ketika hapenya sedang hang, namun saya tidak meminta kontak mereka.
Dia bilang akan menghubungi saya kemudian, namun hingga sekarang belum ada kabar. Ya mungkin saja besok ketika saya main ke kudus, saya bisa berjumpa dengan mereka lagi, mungkin saja kelak nanti mereka membaca postingan saya ini… ahahahaa