“Tubuh indra terguling, beberapa kali terpental dari bebatuan curam yang ada di depan saya. Hingga akhirnya berhenti dengan Posisi kepala di bawah. Waktu sama sekali tidak berjalan pelan saat itu, saya segera menyusulnya dengan kecepatan turun yang bisa saya kendalikan. Segera saya membalik tubuh Indra yang terjungkup, saya putar hingga bagian kepalanya berada di bagian atas. Darah, ada darah di keningnya.”
Pendakian Gunung Sumbing ini Saya lakukan bersama Indra pada tanggal 22 Desember 2013. 6 tahun silam namun ini adalah salah satu pendakian yang memberi banyak pelajaran bagi saya. Jadi harus Saya dokumentasikan dan Saya bagikan kepada para pembaca blog ghozaliq.com ini.
Pendakian kali ini adalah pendakian dengan dokumentasi perjalanan yang sangat sedikit, dikarenakan cuaca yang tidak memungkinkan untuk membawa kamera di luar tas.
Hari Pertama
Senin, 22 Desember 2013
Kami berangkat hanya berdua saat matahari belum terbit dari asrama UNY di Wates, Kabupaten Kulonprogo. Kami berangkat menggunakan sepeda motor Jupiter MX. Menuju basecamp pendakian Garung dengan mengambil rute Wates – Muntilan – Magelang – Temanggung – Parakan – Kledung – Garung.
Kami membawa dua tas carrier saat itu, Indra membonceng dengan menggendong tas carrier Consina Alpinist yang sarat muatan. Saya kaget saat tahu bahwa Indra menggendong tas carrier namun tidak disandarkan pada jok. Sehingga tas carrier yang digendongnya menggantung hingga akhirnya saya mengetahuinya saat beristirahat sejenak di Muntilan.
Ini adalah pendakian pertama Indra. Sudah beberapa kali ia meminta untuk ikut saya mendaki gunung. Indra berasal dari Aceh Singkil yang datang ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan di bangku perguruan tinggi.
Saya yakin kalau tidak ada masalah dengan kemampuan fisik Indra selama pendakian. Untuk tingkah laku juga tidak pernah aneh-aneh, selama ini Indra selalu menurut terhadap apa yang saya sarankan.
Sesampainya di Kledung, kami berhenti sejenak di sebuah warung makan di samping SPBU Kledung. Sarapan soto ayam ditemani teh hangat dengan melihat puncak Gunung Sumbing yang masih di kelilingi awan putih. Kami juga membungkus nasi rames untuk bekal makan siang nanti ketika di perjalanan pendakian.
Rencana pendakian kami adalah 2 hari, namun saat belanja logistik, kami membuat persediaan logistik kami untuk 3 hari. Berjaga-jaga siapa tahu memang memakan waktu yang lebih lama.
Sesampainya di basecamp pendakian Gunung Sumbing via Garung, kami segera melapor serta melakukan registrasi yang selanjutnya membayar retribusi. Saat itu seingat saya hanya Rp.4.000/orang dan biaya parkir Rp.5.000/motor. Kami sampai di basecamp garung sekitar pukul 11.00 WIB.
Saya juga sempat melihat sepeda motor milik Ganden di parkir basecamp, sahabat saya yang melakukan pendakian pada hari sebelum saya datang. Ia mendaki bersama Mas Said. Mereka berdua berangkat dari Semarang.
Pendakian saya mulai bersama Indra dengan berdoa terlebih dahulu, kami berharap semoga pendakian bisa lancar tanpa ada kendala yang berarti. Kami berjalan mulai dari basecamp pendakian dengan cara berjalan kaki, cara ini banyak dilakukan oleh pendaki pada saat itu. Pada masa sekarang ini di basecamp garung, kebanyakan pendaki menggunakan jasa ojek dari basecamp hingga Pos 1, melalui jalur pendakian lama.
Saya dan Indra memilih berangkat menggunakan jalur pendakian baru, nanti saat turun barulah menggunakan jalur pendakian yang lama. Saat saya akan mau pendakian Saya yakin bahwa nanti saat perjalanan akan berpapasan dengan Ganden dan Mas Sa’id yang turun gunung.
Ada perjalanan awal saya dan Indra memilih untuk berjalan dengan pelan, jika Indra terlihat mempercepat ritme berjalannya, saya segera bilang pada Indra untuk pelan. Salah satu alasanya adalah agar saya tidak tertinggal langkah oleh Indra yang berjalan dengan cepat, wkwkwk. Terlebih kami perlu penyesuaian tubuh dengan ketinggian saat itu.
Akhirnya kami keluar dari area pemukiman dan memasuki area perkebunan, pada area ini jalan sudah mulai berbatu dan menanjak, sesekali kami disapa oleh petani yang hilir mudik menggunakan motor trail modifikasi. Rupanya di jalur baru ini kita akan menemui sungai kecil yang bisa kami gunakan airnya untuk minum.
Karena cuaca cenderung gerimis saat itu, semua peralatan dokumentasi saya masukkan ke dalam kantong plastik sehingga tidak banyak foto yang saya dapatkan ketika perjalanan ini.
Kami sempat melintasi sebuah jalan yang memiliki ruang pandang cukup terbuka, dari jalan tersebut kita bisa melihat igir perbukitan yang merupakan jalur pendakian lama.
Dalam kabut yang ada di sekeliling igir tersebut, saya melihat samar-samar dua sosok yang berjalan menuruni igir. Kurus tinggi, siapa lagi kalau bukan Ganden dan Mas Sa’id. Hendak teriak pun percuma ,tidak akan sampai, cukup saya ingat waktunya untuk dikonfirmasi esok saat berjumpa.
Salah satu hal yang saya sesalkan dalam pendakian kali ini adalah saya membawa terlalu banyak air dari basecamp. Padahal ketika di jalan, selain kami menemukan sungai, saat itu perjalanan hampir didominasi oleh hujan sehingga banyak air yang bisa kita dapatkan dari air hujan. Air hujannya bersih, tidak seperti air hujan di kota.
Sebelum sampai ke Pos 1, kami beristirahat di sebuah gubuk pada sepetak kebun. Kami makan siang saat itu dengan nasi rames yang kami bungkus pada saat membeli sarapan. Sehingga kami cukup membuat kopi hangat untuk melengkapi kenikmatan saat itu, dan memang sangat praktis membawa nasi bungkus saat pendakian daripada harus memasak.
Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya melihat ada sebuah pagar kawat kecil yang menandakan batas antara perkebunan dan hutan. Akhirnya kami mencapai Pos 1, Pos 1 ini merupakan batas antara perkebunan penduduk dengan hutan yang sudah tidak boleh digunakan untuk perkebunan.
Perjalanan dari Pos 1 hingga ke Pos 2 didominasi tanah terbuka dengan tanaman tinggi. Tanah yang kami lewati terasa sangat licin karena hujan pada saat itu, dan mungkin hari-hari sebelumnya tapi tidak merasakan sinar matahari. Hari semakin sore, semakin dingin, dan terang semakin meredup.
Akhirnya kami di kepung oleh hujan deras saat kami baru tiba di Pos 2. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk membuka tenda dan bermalam di Pos 2 guna melanjutkan pendakian esok pagi.
Kami juga tidak mungkin melakukan pendakian saat malam hari, memang kami sudah membawa peralatan penerangan, namun dengan kondisi medan dan cuaca yang seperti ini, lebih baik beristirahat di Pos 2. Makan malam dan mencoba untuk tidur dengan pulas
Selain kami, ada juga rombongan pendaki lain yang membuka tenda di Pos 2. Dari beberapa rombongan tersebut, ada yang akhirnya pada malam hari memutuskan untuk membongkar tenda untuk kembali ke basecamp. Alasannya adalah kondisi mereka sudah tidak memungkinkan melanjutkan pendakian dengan kondisi yang basah kuyup di hampir semua peralatan mereka.
Saya juga sempat berfikir untuk turun ke basecamp jika melihat kondisi malam itu, namun bimbang ketika melihat Indra yang sangat antusias pada pendakian saat itu. Saya mencoba menimbang, kondisi fisik kami, logistik kami, dan juga cuaca esok hari bisa kita jadikan sebagai keputusan untuk melanjutkan pendakian atau tidak.
Tidur saya kurang nyenyak walaupun perut kenyang, kaki juga terasa dingin. Selain itu beberapa bagian tenda bocor, membuat saya sering keluar tenda untuk memperbaiki area tenda yang terkena air.
Maklumlah saat itu saya hanya memiliki tenda berkapasitas 2 orang, single layer. Tenda tersebut tidak direkomendasikan untuk pendakian gunung dengan cuaca seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, saya hanya memiliki tenda tersebut. Untuk tambahan, Saya juga telah meminjam terpal milik Firman untuk saya gunakan sebagai layar tambahan.
Malam turun tanpa mimpi, saya membuka mata sesekali, tidak ada bintang yang bisa saya tatapi, hingga saya berfikir apa yang sebenarnya dilakukan diri ini di tempat ini.
Hari Kedua
Selasa, 23 Desember 2013
Pagi menyapa kami dengan setengah cahaya, tidak ada sinar mentari yang benar-benar menghangatkan badan kami. Hanya sebuah pertanda perubahan cahaya yang mengisi ruang pandang kami.
Usai sarapan kami mulai berkemas, rupanya melakukan pendakian pagi itu dengan beberapa peralatan basah terasa tidak nyaman. Selain bobot tas yang bertambah, juga ada rasa lembab yang menempel di badan.
Rombongan yang saat itu bermalam bersama kami di Pos 2, telah pamit terlebih dahulu untuk melakukan perjalanan menuju puncak dengan meninggalkan tenda dan tas mereka di Pos 2. Padahal jarak dari Pos ke puncak itu sekitar 2 kali jarak dari basecamp ke Pos 2.
Perjalanan dimulai, kali ini Indra masih terlihat tetap semangat seperti hari kemarin. Hanya saya yang sering cemas dengan cuaca. Kami sering berjalan dengan 4 kaki karena Jalan licin yang benar-benar susah untuk didaki. Saya sesekali mengingatkan Indra agar berjalan dengan lebih pelan, karena berjalan dengan ritme cepat pada jalan menanjak yang licin seperti ini bukanlah cara agar tetap aman.
Beberapa kali saya lemparkan kata pelan pada Indra sepanjang pendakian ini, puluhan kali. Dengan langkah Indra yang cepat saya sering menemui ia terpeleset ketika sedang menanjak.
Setelah perjalanan menanjak yang dipenuhi adegan terpeleset akhirnya kami sampai di Pos 4. Pos 4 ini sering disebut dengan Pestan atau Peken Setan yang mana dalam bahasa Indonesia berarti Pasar Setan. Ada banyak cerita mistis di Pos 4 ini yang saya dengar dari beberpapa rekan yang pernah mendaki Gunung Sumbing.
Saya pun sempat di beri wejangan oleh seorang rekan bahwa jangan sampai membuka tenda di Pos 4. Selain tempatnya terbuka sehingga angin akan lebih mudah menyerang tenda, juga karena untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di tempat ini. Anda tahu apa yang saya maksudkan.
Di Pos 4 ini hanya ada kami berdua yang ditemani oleh cuaca mendung dan berangin lembut. Puncak Gunung Sindoro terlihat sesekali dengan awan putih yang menyelimuti.
Kami sempat mengambil beberapa foto diri di tempat ini, tidaklah terlalu lama hingga akhirnya kami memutuskan untuk beranjak. Dari Pos 4, kami harus bergegas menuju ke tempat yang lebih ramah terhadap tenda kami.
Untuk selanjutnya jarak antar pos tidaklah terlalu jauh, namun medan yang dilalui memang cukup membuat kami harus ekstra berhati-hati. Dari Pos 4 (Pasar Setan) menuju ke Pos 5 (Pasar Watu) jalan berupa tanah berkerikil, kami harus sering berjalan melewati jalur air. Jalur air ini cukup dalam, sehingga kami ketika beristirahat bisa terlindung dari angin yang bertiup saat itu.
Saat sampai di Pos 5, rupanya angin malah semakin kencang. Walaupun kami sudah tertutupi oleh bebatuan besar di sekitar kami. Akhirnya kami memutuskan untuk segera berpindah ke Pos 6 atau lebih sering disebut sebagai Watu Kotak.
Saat melanjutkan perjalanan ke Pos 6, Saya teringat ucapan Firman, bahwa akan ada persimpangan yang terlihat samar. Jalur yang salah malah terlihat lebih jelas dari jalan yang seharusnya. Akhirnya saya sampai di pertigaan tersebut, Firman sempat bercerita untuk mengambil jalan turun ke kiri, walaupun ia terlihat turun ke tebing tapi memang itulah jalan yang benar. Bismillah.
Jalan terasa sangat sempit dan sangat menantang, seingat saya hanyalah cukup untuk 1 tapak kaki saja, di kiri jurang di kanan tebing kami berdua harus memiringkan badan ke arah tebing agar tidak terbawa angin sehingga jatuh ke dalam jurang. Selanjutnya jalan berupa lempengan batu yang miring. Saya masih ingat bagaimana kami benar-benar berjalan dengan sangat pelan.
Akhirnya kami sampai di Pos 6 atau Batu Kotak, Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos 6 karena sudah tidak mungkin untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Cuaca tidak mendukung saat itu.
Kami berpapasan dengan rombongan pendaki yang semalam bersama kami di Pos 2, mereka rupanya baru turun dari puncak. Tidak ada obrolan berarti saat itu dengan kami, mereka berlalu setelah menyapa kami saat berada di Pos 6.
Kami menemukan sebuah tempat datar yang cukup untuk mendirikan tenda, Posisinya tepat di bawah tebing batu. Saya saat itu hanya berfikir bahwa tempat itu akan cukup terlindung dari angin saat malam datang. Semoga angin tidak turut menjatuhkan bebatuan dari atas tebing ke tenda, do’a kami.
Setelah tenda bisa berdiri, segera semua peralatan kami masukan ke dalam tenda, bergegas sebelum malam berkunjung. Saya menutup tenda dengan terpal yang saya pinjam dari Firman, rupanya saya tidak membawa pasak serta tidak menemukan tempat untuk mengikat terpal tersebut.
Akhirnya saya letakan batu yang cukup besar, lebih besar dari bola sepak di tiap ujungnya. Bahkan ada yang sampai saya ganjal dengan 3 batu. Saya lakukan agar terpal tidak terbang terbawa angin nanti. Firasat berkata nanti malam akan ada badai.
Kami berdua beristirahat di dalam tenda sembari berdoa agar cuaca menjadi bersahabat sehingga saat malam kami bisa sejenak menikmati suasana di luar tenda. Tetiba ada suara langkah yang turun dari atas, kemudian mengetuk tenda kami.
Seorang pendaki yang tertinggal dari rombongan saat turun dari puncak, saya mengenali wajahnya. Ia adalah salah satu dari rombongan yang berjumpa dengan kami di Pos 2. Rekan-rekannya yang lain telah turun dengan jarak waktu yang lumayan lama untuk sebuah perjalanan turun.
Ia meminta makanan kepada kami, kue kering atau semacamnya. Sedangkan kami saat itu hanya memiliki logistik yang harus dimasak dahulu, akhirnya ia pamit untuk segera menuju ke Pos 2. Saya rasa ia baru sampai Pos 2 saat hari sudah gelap.
Angin semakin bersemangat menyapa tenda kami ketika gelap telah menyelimuti. Saya mencoba terpejam, berharap bisa mendengkur pulas seperti Indra. Namun cuaca ini membuat mata saya tetap terjaga untuk waspada terhadap angin malam itu.
Saya sayup-sayup mendengar suara kendaraan yang melintas di jalan raya Kledung. What, ketinggian sekitar 2700 mdpl masih bisa mendengar suara kendaraan dari bawah sana. Beruntung saya hanya mendengar suara kendaraan saja, tidak ada suara yang lain. Alhamdulillah.
Entah berapa kali saya harus keluar tenda untuk membetulkan terpal yang tergeser oleh kuatnya angin. Pola angin bisa terbaca saat itu, ketika beberapa saat berhembus kencang disertai rintik embun, maka beberapa saat kemudian akan tenang sebelum akhirnya berhembus lagi.
Saat tenang itulah saya segera keluar dengan membawa senter. Tidak ada yang bisa dilihat di luar tenda, hanya ada kabut putih menyelimuti. Terasa seperti di negeri antah berantah. Layaknya hati yang sedang mencari pasangan. Eh
Masuk ke tenda, memakai kantung tidur, mencoba terpejam, keluar untuk membetulkan posisi tenda. Seperti itulah rutinitas saya malam itu. Terlebih dengan arah angin yang datang dari atas, menghujam tenda saya. Saya sesekali menahan frame tenda dari dalam, agar tidak patah terdorong angin dari luar.
Sungguh pengalaman berhadapan dengan badai yang baru pernah saya rasakan. Indra masih bermimpi jika mendengar dari lantunan dengkurnya yang mendamaikan tidurnya, bukan tidur saya.
Hari ketiga
Rabu, 24 Desember 2013
Sebelum Subuh Indra sudah terbangun, menanyakan apakah jadi summit attack atau tidak. Justru pagi sebelum matahari bersinar badai berhembus kencang, lebih kencang dari semalam. Kami berdua hanya duduk di dalam tenda sembari berdoa dan menunggu.
Saat angin sudah reda, kami memberanikan diri membuka pintu tenda, kabut putih telah sirna, segera kepala saya menengok lebih jauh untuk melihat ke arah utara. Subhanallah, pemandangan yang kami nantikan.
Kami mengambil foto diri secara bergantian dengan latar belakang Gunung Sindoro yang berkaki awan. Walaupun surai fajar tidak terlihat saat itu, namun tetap ada aroma pagi di ketinggian yang saya nikmati.
Saya sempat mengambil foto panorama dari tempat dimana kami mendirikan tenda. Semoga bisa ikut menularkan suasana pagi itu kepada pembaca.
Lalu kami berkemas untuk menuju puncak, tenda tetap kami tinggalkan di Pos 6. Saya menyuruh Indra untuk menggendong tas carrier yang berisi matras dan logistik. Sedangkan saya hanya membawa kamera dan tripod saja.
Pagi yang tenang untuk mendaki lereng yang curam, sesekali kaki kami terseok di bebatuan lepas yang banyak kami temui di sekitar jalur pendakian. Jika terasa lelah, saya segera membalik badan untuk kembali menatap Gunung Sindoro.
Indra kembali berjalan dengan tergesa, saya kembali berucap agar berjalan dengan pelan. Langkah cepat pada medan seperti ini tidak akan menuntunmu menuju puncak lebih dahulu, malah bisa membahayakan dirimu atau orang di belakangmu karena batu lepas yang tergeser oleh kaki.
Tidaklah lama hingga akhirnya kami sampai di Pos 7, di sini saya kembali mendokumentasikan Gunung Sindoro. Langit sedang cukup cerah saat itu, hanya ada separuh awan di bagian bawah Gunung Sindoro. Sisanya hanyalah guratan hijau dengan atap biru yang bersih dari polusi.
“Sebentar lagi puncak” ucapku pada Indra
“iya Mas, ayo semangat” timpalnya
Sekitar 30 menit berjalan dari Pos 7, akhirnya kami sampai di Puncak Buntu. Saya tidak tahu pasti berapa ketinggian di Puncak Buntu ini. Yang jelas, di sebelah barat ada Puncak Kawah dan Puncak Rajawali yang lebih tinggi.
Hanya ada kami berdua di puncak, tidak ada yang lain. Maklum, bukan akhir pekan atau hari libur.
Saya melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri saya, waktu menujukkan sudah pukul 09.30 WIB. Segera kami bergegas untuk mengeluarkan kamera dan tripod. Kami sadar bahwa kabut akan bergerak dengan cepat, sehingga selagi masih berkabut, keluarkan saja semuanya, agar nanti saat kabut mulai terbuka kami bisa segera mengambil gambar.
Entah, ini Puncak Buntu namun malah ada plang Puncak Kawah, entah dari Puncak Kawah dibawa ke sini atau yang membuat plang ini salah tangkap dimana Puncak Kawah?
Jadi teringat, saya pernah mengembalikan Plang Puncak Klentengsongo di Gunung Merbabu yang saya temukan sedang berada di Puncak Triangulasi. Dasar pendaki ngawur, tuman..
Tidak ada kehendak dari hati untuk turun ke dasar kaldera, tenaga dan waktu sudah tidak mendukung kami untuk kegiatan tersebut. Jadi berada di Puncak Buntu kami rasa sudah lebih dari cukup atas tekad dan keyakinan kami selama 3 hari ini.
Saat itu, saya masih menjadi pendaki kertas, hahaha. Bertepatan dengan hari ibu, 24 Desember 2014. Membuat ucapan di atas kertas, jika melihat foto ini kembali, saya jadi langsung teringat almarhum kakak saya. Ah, itulah hidup.
Kami tidak bisa mendapati foto dengan latar belakang Gunung Sindoro yang bersih dari awan. Hanya bagian puncaknya saja, itupun masih samar tertutupi kabut, selebihnya hanyalah lautan awan putih yang ada di ruang pandang.
Akhirnya pukul 10.30 WIB kami memutuskan untuk kembali ke Pos 6 tempat dimana kami meninggalkan tenda kami. Kami harus turun hari ini, logistik kami sudah tidak mencukupi jika harus bermalam lagi.
Indra berjalan di depan, saya sesekali tetap berucap agar Indra berjalan pelan. Turun pada lereng curam seperti ini bukanlah hal yang mudah, perlu kehati-hatian dalam melangkah dan juga mengambil arah.
Hingga akhirnya saya melihat hal yang tidak saya inginkan.
Saya melihat Indra turun dengan cepat, terlihat ia tidak dapat mengendalikan langkahnya karena gravitasi dan kemiringan lereng. Hingga akhirnya saya berteriak,
“INDRAAA….!!!!”
Waktu tidak berjalan lambat atau saya melihat kilas masa lalu dalam detik-detik tersebut. Semua berjalan dalam waktu yang normal, hanya saja saya yang masih tidak bisa menerima jika Indra terpelanting beberapa kali beberapakali hingga akhirnya ia berhenti oleh gravitasi.
Indra berada beberapa meter di depan saya. Segera saya mempercepat langkah dalam kecepatan yang masih bisa saya kendalikan. Jangan sampai menambah korban, karena di tempat itu hanya ada kami berdua saja.
Saya melihat Posisi tubuh Indra tengkurap dengan bagian kepala ada di bagian terendah. Segera saya membalikan badannya, lalu memutar tubuhnya agar bagian kepalanya ada di atas.
Saya melihat ada darah yang keluar dari keningnya, entah lecet entah lainnya. Saya panik dan bingung.
“Indra, Indra, Indra…..” panggilku lirih dengan bibir yang gemetar
Indra terlihat membuka mata dengan perlahan, terlihat bola matanya berkeliling.
“Mas, kita sudah di puncak belum?” tanya Indra kebingungan
Rupanya Indra mengalami goncangan yang keras saat terjatuh tadi sehingga menyebabkan kebingungan. Saya pernah mengalami hal seperti ini saat terjatuh dari motor beberapa tahun silam.
“Sudah Ndra, sudah, ini kita lagi mau turun ke tenda” jawabku pelan sembari menahan kepalanya agar tidak menempel tanah.
“Tenda kita dimana Mas?” balasnya lemas
“Di bawah Ndra, sudah kelihatan itu…” jawabku cepat.
Selanjutnya pertanyaan Indra hanyalah seputar puncak dan tenda. Posisi kami belum sampai Pos 7 ketika turun dari puncak.
Saya memeriksa tubuh Indra untuk melihat cidera yang lain. Telapak kaki kanannya terluka karena sandalnya terputus saat jatuh tadi. Mungkin cedera seperti ini bisa dihindari bila kami berdua mengenakan sepatu gunung.
Segera saya membantu Indra duduk, memberinya air putih, lalu melepas tas carrier yang digendongnya. Mungkin tas carriernya sedikit membantu mengurangi benturan di bagian punggung. Kami duduk sejenak, saya menenangkan pikiran untuk bisa menuju ke tenda sebagai tujuan terdekat.
Saya melepas kedua sandal saya untuk kemudian memakaikannya di kedua kaki Indra. Sedangkan sandal yang dikenakan Indra saya masukkan ke dalam tas, karena hanya sebelah kiri saja yang bisa dipakai.
Saya memastikan bahwa Indra sudah bisa berdiri dan berjalan, karena jika kami tidak bergerak, kondisi tersebut tidak akan membawa kami ke manapun. Tujuan pertama adalah tenda kami.
Saya menuntun Indra dengan kaki yang berjalan tanpa alas. Indra masih terus bertanya tentang puncak dan tenda. Masih syok atas kecelakaan tadi.
Saya berjalan dengan berbagai macam pertanyaan akan kebodohan yang saya lakukan sebagai seorang pendaki. Ada banyak mengapa yang hanya bisa saya sesalkan. Pembelajaran di gunung yang keras saya dapatkan saat ini.
Saya lupa berapa waktu yang kami habiskan untuk mencapat tenda kami di Watu Kotak dari lokasi kecelakaan tadi. Alhamdulillah, kami bisa mencapai tenda dengan kondisi yang masih sama pasca kecelakaan tadi.
Saya membersihkan luka-luka dengan air bersih sebelum menghistirahatkan Indra di dalam tenda. Tenda saya tutup dari luar dengan membiarkan Indra tertidur untuk meredakan goncangan yang ada pada dirinya.
Saya di luar tenda, memasak makan siang dan membuat minuman hangat. Seusai saya memasak, kondisi Indra terlihat sudah membaik ketika melihat dari caranya berbicara. Saya tidak banyak mengajak Indra berbicara, kami menikmati makan siang kala itu dengan penuh rasa syukur.
Saat kami hendak memulai memberesi tenda kami untuk memulai perjalanan turun. Datang 2 orang pendaki asal Jakarta yang baru kemarin hari turun dari Gunung Sindoro. Tas mereka besar-besar, mungkin 80 liter jika saya melihat dari lebarnya.
Kami berbincang basa-basi layaknya pendaki pada umumnya, hingga saya bercerita kalau kami baru saja mengalami kecelakaan. Lalu salah satu dari mereka segera menawari obat. Saya mengiyakan tawaran pendaki tersebut. Segera dikeluarkannya sebuah kotak P3k dengan berbagai macam obat.
Seingat saya saat itu ia memberikan vitamin dan obat pereda rasa nyeri. Masing-masing satu buah diserahkan kepada saya yang dengan segera memberikannya kepada Indra yang badannya masih terlihat lemas.
Ucapan terima kasih yang sangat besar dan jabat tangan mengkahiri perjumpaan kami di Watu Kotak. Mereka melanjutkan perjalanan ke Puncak, entah hendak membuat tenda dimana, saya tidak menanyakan.
Strategi packing saat itu berbeda dengan saat berangkat. Ketika saat berangkat dibagi rata, kali ini semua barang berat masuk ke dalam tas carrier Consina Alpinist yang saya gendong. Peralatan ringan lainnya saya masukan ke dalam tas carrier yang digendong Indra.
Saya turun dari Watu Kotak (Pos 6) tanpa alas kaki. Biarlah Indra memakai sepasang sandal yang saya gunakan saat naik. Kami berdoa dengan sangat tenang saat itu, agar perjalanan dilancarkan hingga ke tujuan.
Indra berjalan di depan, saya di belakangnya dengan memegangi tas carriernya. Sehingga akan lebih mudah menarik jika Indra hendak terpeleset. Ah, saya menyesal kenapa tidak membawa tali webbing untuk mengikatkan kami berdua. Jika jalan terasa longgar, saya berjalan di samping Indra dengan memegang lenganya.
Perjalanan yang sangat berat bagi saya saat itu. Bukan hanya fisik yang sudah lelah, namun ada rasa bersalah yang mendalam karena kecelakaan tersebut. Sudah, saya harus fokus untuk bisa mencapai basecamp dalam kondisi selamat.
Kami sempat berjumpa dengan beberapa pendaki selama perjalanan turun, tidaklah banyak, tidak terlalu ramai saat itu, mungkin kurang dari 20 pendaki dengan variasi jumlah rombongan.
Berjalan tanpa alas kaki rupanya memberikan sensasi tersendiri, geli-geli nyeri. Saya lebih menikmati berjalan di atas batu besar dari pada diatas tanah yang terbasahi oleh hujan sesaat sebelum kami datang.
Perjalanan turun terasa sangat cepat, terutama dari Pestan (Pos 4) hingga Pos 1. Mungkin karena medan tanah yang curam, sehingga rasio untuk naik dan turun sangatlah berbeda. Oh iya, sesuai rencana awal, kami turun melalui jalur pendakian lama.
Stamina Indra mulai membaik, berkebalikan dengan saya. Terlihat seusai Pos 2 ketika Indra mulai bisa berjalan sendiri serta sudah mulai banyak bicara. Saya mencoba menyamakan ritme langkahnya dengan telapak kaki yang mulai nyeri dan pundak yang terasa panas.
Alhamdulillah telah sampai di Pos 1 sebelum gelap, sekitar pukul 17.00 WIB, batas antara hutan dan perkebunan warga. Saya berharap akan ada petani yang hendak pulang ke rumahnya, sehingga bisa menitipkan Indra untuk bisa lebih dekat dengan basecamp.
Medan dari Pos 1 ke basecamp berubah menjadi bebatuan tajam. Telapak kaki saya harus memilah-milah dimana saya akan berpijak. Akhirnya saya mengeluarkan sandal sebelah kri yang masih bisa dipakai, berjalan dengan ketinggian kaki yang berbeda pada medan seperti itu merupakan kenangan senut-senut tersendiri.
Saat kami berjalan, terlihat sebuah sepeda motor milik petani yang ada di tepian jalan. Secercah harapan muncul saat itu. Kami terus berjalan melewati sepeda motor tersebut, dengan asumsi sebelum petang pasti petani tersebut akan pulang dan akan melewati jalan yang kami lewati.
Benar, baru berjalan sekitar 50 meter, terdengar suara rem yang berdecit karena basah ada di samping kami. Seorang petani paruh baya menawari saya untuk membonceng beliau karena melihat langkah kaki saya yang terseok.
“rencange kulo mawon pak” jawab saya dengan bahasa jawa kromo
Segera Indra saya bantu untuk membonceng beliau, saya berpesan kepada Indra untuk menanti saya di basecamp, yang penting Indra bisa mengistirahatkan kondisinya terlebih dahulu.
Tinggallah saya berjalan seorang diri tanpa ada satupun manusia yang saya temui di jalan itu. Hari mulai gelap, kabut semakin tebal, dingin tetap bersemayam dan hati makin dalam berdoa.
Berdasarkan pengalaman mendaki dalam kondisi gelap di gunung, saya selalu fokus untuk melihat lurus ke depan atau ke bawah. Pokoknya jangan melihat ke sekeliling kalau tidak berani. Saya mendapati pengalaman ini saat mendaki Gunung Lawu di tahun yang sama.
Saya sempat menemukan sebuah jalan sepatak yang keluar dari jalan batu tersebut, hati saya berkata bahwa ini adalah jalan pintas untuk mendekat ke perkampungan bila melihat dari pola jalan yang ada. Namun, logika saya berkata bahwa sudahlah jangan berspekulasi di kondisi seperti ini, ambil saya jalan yang sudah jelas terlihat.
Lalu saya melewatkan jalan setapak tersebut, berjalan kembali di jalan bebatuan hingga akhirnya berjumpa dengan pemakanan umum yang muncul usai jalan selesai berbelok. Bismillah ucap saya dalam hati sembari melirik ke arah pemakaman tersebut.
Usai melewati pemakanan tersebut, barulah saya menemukan persimpangan dengan jalan setapak tadi. Owalah, ternyata jalan ini digunakan untuk skip area pemakaman rupanya, ahahaha Logika dan hati saya berdamai seketika.
Alhamdulillah, sudah saya sudah mulai melihat perkampungan warga, lampu-lampu mulai menerangi langkah saya saat berjalan di jalan desa. Saya yakin bahwa basecamp sudah cukup dekat saat itu. Namun rasa lapar sudah sangat tidak bisa dikompromi saat saya melihat sebuah warung milik warga.
Segera saya mampir sejenak, membeli minuman manis dan beberapa bungkus makanan ringan. Saya rasa ini cukup untuk mengganjal rasa lapar ini. Ketika saya sedang menikmatinya sembari duduk santai di teras warung, hujan turun kembali dengan deras. Pemilik warung menyuruh saya untuk masuk ke ruang tamu.
Saya menolaknya dengan halus karena badan saya yang basah dan juga kotor, rasanya tidak sopan jika harus mengotori kursi di ruang tamu tersebut, lebih baik saya mendekat ke tembok agar tidak terkena hujan. Pemilik warung memaksa dengan mengangkat tas carrier saya masuk ke ruang tamu. Apa daya, saya mengikutinya dengan rasa ragu untuk duduk di kursi.
“santai saja Mas, ini juga sering buat nampung hasil panen” ucapnya santai disertai senyum
“nggih Pak, ngapunten nggih Pak damel kotor” balas saya sembari meminta maaf karena akan membuat salah satu kursi di ruang tamu tersebut kotor.
Sekitar 20 menit sembari mengabiskan makanan ringan, saya menatap keluar. Hujan tidak memberi tanda bahwa akan reda. Saya kepikiran bahwa Indra sedang menanti kedatangan saya, terlebih saya juga belum bisa memastikan bagaimana kondisi Indra setelah sampai di basecamp. Tapi saya sangat yakin bahwa Indra telah sampai di basecamp.
Saya memutuskan untuk pamit dan beranjak untuk menuju basecamp, sempat dicegah oleh pemilik warung karena hujan masih sangat deras saat itu. Namun saya tetap beranjak bersiap menerobos hujan sembari mengucapkan banyak terima kasih.
Baru sekitar 10 meter saya berjalan dari warung menuju basecamp, ada sebuah sepeda motor yang berhenti di samping saya dari arah belakang. Seorang warga menawari tumpangan untuk menuju ke basecamp, beliau bilang bahwa ia akan ke jalan besar, sehingga akan melewati basecamp.
Rupanya jarak dari tempat warung saya berhenti, masih ada sekitar 500 meter hingga mencapai basecamp. Beliau berucap bahwa kalau naik di tanggal-tanggal seperti ini maka cuaca memang tidak bersahabat untuk pendakian. Saya pun tersenyum sembari berbasa-basi untuk mengisi obrolan dalam perjalanan yang penuh dengan air dingin tersebut.
Begitu sampai di depan basecamp, saya turun lalu berucap terima kasih banyak kepada beliau. Ternayata beliau kemudian memutar sepeda motornya untuk berbalik arah, tidak menuju ke arah jalan besar. Ahahaha terima kasih Pak…!!!!
Tahukah anda, apa yang saya dapati begitu saya masuk menampakkan diri di pintu basecamp? Pemiliki basecamp berteriak sehingga semua pendaki yang bermalam tersebut melihat ke arah pintu masuk.
“Ini lho yang ditunggu-tunggu, temanmu sampai nangis tadi nyari’in kamu” ucapnya keras sembari diikuti suara tawa seisi basecamp.
“Teman saya hilang pak, teman saya hilang pak…!!!” lanjutnya dengan merekaulang ucapan Indra
Saya memasang wajah bingung, sembari mencari dimana Indra. Rupanya ia sudah berdiri untuk menyambut kedatangan saya.
“Ah bohong itu Mas” ucapnya dengan mata yang memerah.
Saya pun hanya tersenyum sambil menggigil karena badan yang telah basah kuyup saat itu. Ya ya ya, saya tahu mana yang bohong saat itu. Segera Indra mengajak saya ke bawah tiang, tempat dimana ia telah memesankan nasi goreng dan teh hangat yang telah menua menanti kedatangan saya.
Saya segera menurunkan tas dan melepas mantel. Mengeluarkan pakaian kering untuk segera berganti agar terhindar dari hipotermia. Lalu saya menyatap nasi goreng yang telah digoreng tersebut sembari mendengarkan cerita Indra sepulang kami berpisah di area perkebunan warga.
“Tadi saya turun di tikungan dekat jembatan itu Mas, rupanya bapak itu rumahnya di tepi kampung, jadi sisanya saya lanjut jalan” Indra bercerita tentang Pak Petani yang memboncengkannya saat itu
“Lho, sisanya kamu jalan sampai ke sini (basecamp)?” timpalku
“Iya, saya jalan ke basecamp, begitu siap sampai sini, saya segera pinjam motor buat jemput Mas”
“Saya sudah sampai ke ujung kampung, tapi Mas gak ketemu, saya pikir Mas kenapa-napa di kebun” lanjutnya bercerita
“Pas hujan deras tadi?” Tanyaku
“Iya Mas”
“Owalah, saya baru saja masuk warung Ndra, jajan bentar, maaf saya gak tahu kalau kamu bakalan balik lagi buat jemput saya”
Saya kaget dengan tekad Indra saat itu, saya tidak menyangka dengan kondisinya yang seperti itu, ia masih tetap berusaha untuk mencari saya untuk dibawa ke basecamp. Ini yang perlu ditolong sebenarnya siapa sih? Ahaha
Pendakian selama 3 hari 2 malam yang luar biasa. Tidak salah saya memilih rekan pendaki, hanya saya yang salah dengan percencanaan dan persiapan pendakian yang jauh dari kata aman.
Malam kami lewati dengan tertidur pada kondisi badan yang terasa hangat. Pegal menemani, namun perut kenyang dan hati lega hingga pagi menghampiri.
Hari Keempat
25 Desember 2013
Tidak menunggu siang dan tidak perlu mandi pagi, kami bersiap untuk kemudian sarapan nasi goreng lagi sebelum menuju ke Wates dengan Jupiter MX kesayangan yang kini sudah jadi milik orang lain. Melintasi jalan dimana kami masih bisa melihat Puncak Gunung Sumbing untuk waktu yang cukup lama. Cukup cerah pagi itu, tidak seperti kemarin.
Berpamitan dengan pemilik basecamp serta mengucap banyak terima kasih. Singkat waktu, kami telah sampai kembali ke asrama kami di Wates. Untuk kemudian meladeni pertanyaan beberapa teman akan Pendakian Gunung Sumbing.
Inilah hidup, akan ada selalu orang-orang yang baik yang menolong kita tanpa ada rasa pamrih. Terima kasih untuk semua pihak yang tak saya kenali dalam kisah ini, kasih kalian akan selalu saya kenang sebagai kisah berharga.
Terima kasih dan permohonan maaf untuk Indra atas pengalaman pendakian ini. Semoga kelak kita bisa melakukan petualangan bersama lagi, dengan kondisi yang lebih baik tentunya. Sampai jumpa Indra. Tunggu kedatangan saya di Aceh Singkil.
Salam lestari
8 comments
Cukup menantang juga ya gunung sumbing ini, jadi pengen kesana 😀
Iya Mas, silahkan dicoba 😀
Sehat. Alhamdulillah 😅
Alhamdulillah
😍
Luuuuurrrr
Wah sekarang udah migrasi ya mas
btw iya benar pendakian memang selalu banyak cerita. Untung indra gpp jadi perjalanan masih dilanjutkan. ngeri juga mendaki cuma dua orang. Itulah kenapa syaran pendakian selalu ganjil
btw, watermarknya besar banget mas. hehehe
Iya Mas, mumpung dapat promo.
Ho’oh, salah satu penyesalan saat itu.
Setuju, dulu saya naik Sumbing lagi via Kaliangkrik 5 orang, pas turun yang satu ilang, wkwkw untung ketemu di basecamp sebelah. Jadi ganjil lagi
Iya Mas, watermark-nya sekalian buat promosi, jangan tanggung-tanggung. Wkwkwk