“Tooot….toooot….tooot.…!!!”
3 kali klakson dengan nada panjang telah terdengar, tanda kapal akan segera melepas tambatan dengan bibir dermaga. Kami berenam terdunduk lemas, kapal itu adalah penyebrangan terakhir ke Sabang pada hari yang telah kami rencanakan ini. Akhirnya kami hanya bisa menatap KMP BRR yang mulai perlahan menjauh dari Pelabuhan Ulee Lheue.
KMP BRR saat itu adalah satu-satunya Kapal Ferry yang melayani rute penyebrangan dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Balohan. Menurut informasi yang saya dengan dari rekan saya yang tinggal di Banda Aceh, BRR merupakan akronim dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang beroperasi pasca bencana tsunami pada tahun 2004 silam.
KMP BRR merupakan urat nadi untuk mengirimkan berbagai macam kebutuhan di Kota Sabang, juga menjadi alat transportasi favorit para warga Kota Sabang atau wisatawan yang hendak merasakan keindahan di Pulau Weh.
Perjalanan ke Pulau Weh ini saya lakukan pada tahun 2012, 6 tahun silam, namun penyebrangan dari Banda Aceh menuju Sabang ini masih melekat erat dalam ingatan. Bisa merasakan serunya naik kapal Ferry di ujung barat Indonesia merupakan hal yang akan selalu terkenang.
Selain karena lokasinya yang berada di ujung barat Indonesia, penyebrangan kali ini juga sangat membekas karena kami kehabisan tiket pada hari tersebut, sehingga kami harus menunggu esok hari agar bisa menyebrang ke Sabang menggunakan KMP BRR. Beruntung kami diijinkan oleh petugas keamanan Pelabuhan Ulee Lheue untuk menginap di pelabuhan, dengan syarat hanya berada di sekitar mushola saja agar mudah dipantau oleh beliau.
Beruntung beberapa dari kami membawa sleeping bag, jadi bisa menghalau angin yang berhembus sepanjang malam. Sembari menunggu waktu tidur, kami berdiskusi membuat rencana perjalanan selama di Pulau Weh.
Pagi harinya Saya dan Rizqi bergegas menuju ke depan loket tiket agar tak kehabisan tiket seperti hari kemarin. Tiket KMP BRR hanya bisa didapatkan pada saat hari keberangkatan, jadi kami harus datang lebih awal ke loket tiket agar tidak kehabisan tiket di musim liburan ini.
Jarak saya dan petugas loket terbatasi oleh seseorang, tak sampai 5 menit maka tibalah giliran kami untuk berjumpa dengan seorang Ibu yang mengenakan seragam putih.
“6 orang dewasa kelas ekonomi Bu” ucap saya sembari menggenggam beberapa lembar uang kertas.
“Total seratus dua ribu rupiah” ucap beliau sembari menyobek dan menuliskan nomor di masing-masing tiket.
Lega dan tenang rasanya mendapati tiket penyebrangan ke Pelabuhan Balohan sudah di tangan. Sarapan sederhana pagi itu terasa damai dan segelas es teh yang menyejukkan dahaga. Kami selesai sarapan jauh sebelum Kapal Ferry berlabuh di Pelabuhan Ulee Lheue
Terlihat KMP BRR dari arah Sabang telah mendekat, hinga akhirnya bersandar dan mengantarkan muatannya ke lantai beton di Pelabuhan Ulee Lheue. Kami harus menunggu hingga semua penumpang dan muatan sebelum bisa masuk ke dalam lambung Kapal Motor Penyebrangan BRR.
Karena baru kali ini kami pergi ke Sabang, maka semua sepakat untuk memilih dek bagian atas agar bisa mendapati pemandangan yang lebih luas. Tentu saja ini adalah hal yang sering dilakukan oleh mereka para wisatawan. Kalau bagi warga Sabang atau yang sudah sering bolak-balik Banda Aceh – Sabang, pastilah lebih memilih untuk duduk sembari bersitirahat di dalam dek penumpang.
Perjalanan dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Balohan ditempuh oleh KMP BRR selama 120 menit, durasi yang cukup bagi kami untuk menikmati pemandangan laut di ujung barat Indonesia tersebut. Terlihat juga Gunung Seulawah Agam di sebelah timur, serta gugusan pulau di Kecamatan Pulo Aceh yang nampak hijau kebiruan.
Saya sempat bingung manakah Pulau Weh yang hendak kami tuju dalam penyebrangan kali ini,
“itu, yang hijau besar” ucap Heru sembari mengarahkan jari telunjuknya
Tak terasa, obrolan demi obrolan di antara kami berenam mengantarkan kami ke saat dimana KMP BRR memulai perjalannya. Melipat jarak untuk mewujudkan mimpi kecil kami menuju ke Sabang. Sebuah nama yang dulu hanya bisa ucapkan dalam sebuah lagu nasional.
Saat awal penyebrangan, tidaklah terlalu banyak yang berada di dek teratas ini, namun lambat laun mulai ramai. Saya yakin, mereka banyak yang ingin menikmati suasana terbuka dari tempat ini. Terlebih ada sebuah Cafetaria yang berada di dek ini, sehingga para penumpang bisa lebih betah di dek ini.
Sepanjang perjalanan, kami berenam hanya berada di dek atas, tidak sekalipun turun ke dek di bawahnya. Pemandangan dan suasana di sini lebih kami sukai. Walaupun hanya berisi obrolan ringan, namun bercengkrama dengan rekan-rekan seperti inilah yang membuat sebuah perjalanan akan terasa lebih hidup.
Topi yang saya kenakan saat itu sangat membantu untuk menghadapi sinar matahari yang bersinar cukup terik. Beruntung hembusan angin laut saat itu cukup kencang, sehingga membuat saya cukup nyaman selama perjalanan.
Sesekali saya berpindah ke tepian dek, bersandar pada pagar besi yang berwarna putih. Terlihat beberapa sekoci penyelamat yang terbungkus di dalam sebuah kapsul raksasa. Rasa aman muncul dalam benak saya ketika melihat aspek keselamatan dalam KMP BRR ini.
Saat berada di tengah perjalanan, gelombang laut mulai terasa. KMP BRR terasa miring ke kiri dan ke kanan, namun hal ini malah kami jadikan sebuah permainan. Permainan keseimbangan, kami berdiri di bagian tengah dek, dengan tangan terletak di depan badan, kami harus berusahan agar bisa berdiri tegak tanpa memindahkan telapak kami. Siapa yang kakinya bergerak, maka dia kalah. Kami sempat menjadi perhatian beberapa penumpang karena permainan kami ini.
Saya melihat ke arah depan kapal, Pulau Weh sudah terlihat lebih besar dari sebelumnya. Semakin lama semakin terlihat beragam aktivitas di Pelabuhan Balohan yang akan menyambut kedatangan KMP BRR. Beberapa dari penumpang terlihat berkemas kemudian bergerak turun menuju dek terbawah. Kami masih duduk santai, menikmati proses bersandarnya KMP BRR di Pelabuhan Balohan.
Kami tidak ingin berdesak-desakan ketika keluar dari kapal, karena kami sudah sampai Sabang yang seringkali diplesetkan menjadi “Santai Banget”. Satu persatu penumpang keluar dari lambung KMP BRR, terlihat beberapa wisatawan yang menunjukkan wajah bahagia karena telah sampai di Pulau Weh. Setelah kondisi mulai sepi, kami mulai bergerak turun.
Akhirnya, mimpi menjadi nyata, kami berenam bisa menjejakkan kaki di Pulau Weh. Terima kasih PT. ASDP Indonesia Ferry dengan KMP BRR-nya yang telah mengantarkan kami ke depan pintu gerbang keindahan di ujung barat Indonesia.
Selain mendokumentasikannya dalam Ephotobook seri Sabang, Saya juga sempat membuat sebuah video mengenai perjalanan kami ini. Silahkan disimak agar Anda juga ikut merasakan bagaimana rasanya melakukan perjalanan dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Balohan menggunakan KMP BRR.
Saya masih ingat sebuah tulisan di badan KMP BRR, yaitu “Bangga Menyatukan Nusantara”. Saya yakin Anda paham apa maksud yang terkandung dalam tulisan tersebut. Yuk jelajahi nusantara…
Salam.
2 comments
Kalo ke Pulau Weh berapa jam, Mas?
Aku pernahnya Ketapang-Gilimanuk itu cuma 1 jam haha. Jalannya juga pas malem terus. Tapi enaknya kapal ada setiap saat. Kalo beli tiket jam 8 pagi, mau naik jam 10 malem gak apa-apa asal masih di hari yang sama. 😀
120 menit Mas,
iya, cuman di sana itu cuman ada satu kapal, hahaha