Pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu sebagai jalur berangkat dan Cemoro Kandang sebagai jalur pulang.  Pendakian ini saya lakukan bersama teman-teman pada tahun 2013, bulan maret. Yup, bulan yang masih sering dirundung hujan, terutama di ketinggian seperti daerah Gunung Lawu dan sekitarnya.

Pendakian Gunung Lawu
Cover ebook Pendakian Gunung Lawu yang sebenarnya bisa diselesaikan, tapi entahlah, sedang embuh.

Sebuah artikel nostalgia setelah 6 tahun berlalu, bersama sebuah ebook yang sudah saya draft dan hampir selesai saja sekitar 85% masih saja terbengkalai sebagai file project di Adobe Indesign. Entah, biarkan waktu yang menyelesaikannya, dan biarkan kenangan yang menemaninya.

Saya berangkat bersama Utoro, Aji dan Badrun dari Wates, Kulonprogo, D.I.Yogyakarta. Berangkat pada sore hari untuk bisa bermalam di rumah Utoro yang berada di Boyolali, namun sangat dekat dengan perbatasan wiayah Sukoharjo dan Klaten.

Keesokan harinya, kami mendapatkan tambahan 2 orang dalam kegiatan pendakian yang akan kami lakukan nanti malam, yaitu Gentong dan juga Ifti. Lalu sebelum menjelang sore, kami berangkat menuju ke Karanganyar, ke sebuah rumah kontrakan yang dihuni oleh teman Utoro.

Pendakian Gunung Lawu
Bersantap bakso sebelum memulai pendakian di kontrakan Rochim. Foto dari kamera Ifti

Sebentar, saya lupa siapa nama teman Utoro ini, seingat saya (maaf kalau lupa ya) Rochim dan Ibra. Posisi Ibra adalah adiknya Rochim. Kami beristirahat sejenak sembari menikmati bakso di kontrakan Rochim yang sederhana ini.

Lalu setelah berbelanja kebutuhan pendakian, kami memulai perjalanan ke Cemoro Sewu yang terletak di Kabupaten Magentan, Jawa Timur. Ya walaupun lokasinya hanyalah beberapa ratus meter dari jembatan perbatasan yang memisahkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pendakian Gunung Lawu
Bersitirahat di warung sebelum membeli tiket pendakian.

Setelah perjalanan yang menguras tenaga kuda besi yang kami pacu untuk menanjak hebat dalam durasi yang cukup lama, akhirnya kami sampai di area parkir basecamp Cemoro Sewu. Sejenak beristirahat di warung untuk jajan dan ngopi, lalu kami menebus 8 tiket untuk pendakian malam tersebut. Harga tiketnya Rp.7.500 untuk tiap orang, ini harga tahun 2013 ya, tahun ini entah, saya tidak tahu. Mungkin pembaca ada yang ingin menambahkan informasi harga di kolom komentar.

tiket pendakian gunung lawu
Jangankan tiket naik gunung, tiket naik kapal ke Sabang saja masih saya simpan. 😀
Pendakian Gunung Lawu
Tebak, saya yang mana, iyap betul, saya yang motret.

Seusai berdo’a sejenak agar kegiatan pendakian gunung tertinggi ketiga di Jawa Tengah ini dilancarkan, kami mulai melangkah dengan riang gembira, seperti pendaki pada umumnya. Walaupun kegembiraan itu hanya berjarak beberapa puluh meter sebelum berubah menjadi nafas cepat dan muka yang memerah.

Dalam pendakian ini, kami tidak membawa tenda. Ngawur, iya memang, entah saya juga merasa aman-aman saja tanpa membawa tenda. Kata Rochim, nanti tidur di jalan saja atau tempat yang cukup terhindar dari angin. Semoga saja malam itu tidak hujan dan tidak terlalu dingin.

Pendakian Gunung Lawu
Baru jalan sebentar, sudah harus beristirahat.

Pada awalnya, dengan jumlah rombongan yang berisi 8 orang kami masih bisa berjalan dengan jarak yang cukup dekat. Hingga akhirnya rombongan kami terpecah menjadi 2 rombongan dengan masing-masing 4 orang tiap rombongan.

Pendakian Gunung Lawu
Awalnya salah satu kaki saya masuk ke dalam got hingga selangkangan, lalu menyusul kemudian Utoro separuh badannya masuk ke dalam got, entah, sedang embuh.

Jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu ini didominasi oleh tangga batu, jadi bagi yang terbiasa dengan jalan tanah, maka di sini menjadi sebuah ujian untuk tidak sambat. Bagaimana tidak, cukup sulit menyesuaikan lebar langkah dengan tangga yang telah tertata seperti itu.

Pendakian Gunung Lawu
Saya lupa ini di bagian mana, pokoknya Rochim sempat sejenak membuat kopi di tepi jalur pendakian.

Pendakian malam hari membuat saya mengantuk saat sedang berjalan, terlebih juga tidak ada tanda-tanda akan berhenti untuk bermalam. Beberapa kali saya terduduk dan tertidur, entah mengapa rasanya badan ini lelah sekali dan meminta jalan untuk beristirahat.

Seingat saya seusai Pos 3, saya yang berada di rombongan kedua terpaksa tidur di tepian jalan. Saya lupa bagaimana dengan teman yang lain, apakah ikut tidur atau tidak. Saya kaget karena ketika saya terbangun ada sosok perempuan yang tidur di sebelah saya. Saya ini tidur di tepian jalan lho, mencoba santai dan tidak panik, saja duduk dan melihat ke sekitar yang cukup gelap karena di bawah pepohonan yang cuku rindang. Dan memang ada banyak pendaki yang tidur di sekitar tempat tersebut.

Lalu saya mendengar suara dalam kegelapan, “Dah bangun kan, yuk lanjut..!!” Rupanya bangun saya ditunggu oleh mereka, saya tertidur sekitar 30 menit di tempat tersebut. Cukuplah untuk menuruti kemauan otak yang ingin tertidur.

Perjalanan semakin menguras tenaga, ada tangga mengular yang terjal. Sempat juga saat kami berjalan, ada sepasang pendaki yang kebingungan menyalakan kompor portable yang seukuran kertas A4 itu lho. Terlihat sang gadis sudah kedinginan karena suhu udara malam itu. Rupanya mereka terpisah dari rombongan dan hanya membawa air serta kompor portable tersebut.

Mereka meminta tolong kepada kami, bagaimana cara menyalakan kompor tersebut. Waladalah, ternyata tidak satupun dari kami pernah menggunakan kompor portable yang seperti itu. Beruntung, ada petunjuk yang melekat di bagian dalam koper kompor tersebut. Dengan senter yang kami bawa, segera kami mempelajarinya. Setelah membongkar posisi pemasangan tabung gas dan mencoba mendengarkan desis tekanannya, lalu barulah ketahuan bahwa pemantik kompor tersebut rusak, sehingga harus menggunakan korek untuk menyalakannya.

Segera setelah kompor tersebut menyala, sang gadis segera mendekatkan kedua tangannya di atas api yang menyala. Lalu kami melanjutkan kembali perjalanan setelah mendapatkan ucapan terima kasih dari mereka berdua. Beruntung saja dalam koper kompor portable tersebut masih ada petunjuk penggunaannya. Dasar kami saja yang masih menggunakan kapas dan spirtus untuk memasak di gunung 😀

Baca Juga :  Dalam Sebuah Pendakian, Ada Harapan dan Kenyataan

Akhirnya kami bisa menyusul rombongan pertama yang telah berhenti menanati kami. Diputuskan untuk mencari tempat tidur sebelum pos 5 dengan pertimbangan kondisi rekan-rekan pendakian. Kami tidur hanya beralaskan matras, beberapa dari kami menggunakan sleeping bag, beberapa lainnya hanya bermodalkan jaket dan sarung. Malam itu tidaklah begitu dingin menurut saya.

Pendakian Gunung Lawu
Kami tidur seperti ini, tanpa tenda, hanya beralas matras. Beruntung tidak hujan.

Rochim menyalakan kompor dari kapas dan spirtus untuk memanaskan air guna membuat kopi dan merebus mi instan. Rupanya sebelum air mendidih, sebagian besar teman-teman sudah tertidur saking lelahnya. Saya mencoba bertahan sejenak setelah sebagian teman telah merebahkan diri, namun malam itu terasa tidaklah begitu dingin, angin juga ramah terhadap posisi kami saat itu. Jadilah tak berselang lama saya ikut memejamkan mata.

Pendakian Gunung Lawu
Sebelum memejamkan mata, saya sempat mencoba menangkap gerakan kilat yang saling bersahutan, namun hanya ini yang bisa saya tangkap.

Pagi masih terlalu muda saat itu, beberapa teman sudah terbangun karena ingin menyaksikan pagi dari posisi kami yang menghadap selatan. Arah timur tidaklah terlalu terbuka pada posisi kami bermalam, tertutup punggung Gunung Lawu sebelah selatan.

Pendakian Gunung Lawu
Selamat pagi, wahai pagi.
Pendakian Gunung Lawu
Foto perdana Gentong di ketinggian.

Bagi Gentong yang baru pertama mendaki gunung, berfoto dengan latar belakang matahari terbit di ketinggian adalah sebuah checklist yang harus dilakukan ketika ada kesempatan. Sebagai orang yang membawa kamera saat itu, maka bolehlah menghabiskan beberapa lampu kilat untuk mengabadikan pagi sederhana nan penuh perjuangan saat itu.

Pendakian Gunung Lawu
Pemandangan sebelah selatan.
Pendakian Gunung Lawu
Hanyalah sebidang tanah datar seperti ini yang melindungi kami dari angin malam Gunung Lawu.

Saya lupa, pagi itu kami sarapan apa. Seingat saya ada kopi dan teh, entah kami makan apa. Entah roti entah mi instan, lupa. Karena kami tidaklah terlalu banyak membongkar barang semalam, maka proses packing untuk melanjutkan perjalanan pagi itu menjadi lebih cepat.

Pendakian Gunung Lawu
Kembali berjalan, melangkah mendekat untuk bisa berada lebih tinggi.

Pagi semakin dewasa saat kami mulai kembali menapaki jalanan berbatu yang sedikit menanjak dengan beberapa tangga batu yang ditemui. Sempat kami berhenti sejenak untuk menemukan jalan guna menuju ke Pos 5, namun akhirnya Rochim dengan segera bisa menemukan jalur yang benar.

Pendakian Gunung Lawu
Aji menggendong tas Consina Alpinist 70L milik saya yang sejatinya tidaklah berisi apa-apa.
Pendakian Gunung Lawu
Edelweis yang dijumpa, belum berbunga, sama seperti hatimu saat itu.

Akhirnya kami bisa berjalan pada punggung sebelah timur Gunung Lawu, Alhamdulillah matahari terasa menjadi hal yang kami rindukan saat itu. Hangat di badan, diselingi semilir angin ketinggian, cahaya putihnya sedikit memaksa mata kami untuk mengecilkan diameter pupil kami.

Pendakian Gunung Lawu
Akhirnya bisa kembali ke jalur yang benar dengan pemandangan yang lebih luas.
Pendakian Gunung Lawu
Puncak semakin mendekat, kaki semakin sekarat, padahal beban tas juga tidaklah berat.
Pendakian Gunung Lawu
Tebak lagi, saya yang mana, iyap, masih yang motret lagi.
Pendakian Gunung Lawu
Menoleh ke belakang sejenak, sebelum kembali menatap yang menjadi tujuan.

Area puncak sudah terlihat, menandakan Warung Mbok Yem juga sudah dekat. Namun tidak ada satupun dari kami yang menyempatkan untuk sarapan di Warung Mbok Yem. Warung legendaris tersebut memang sering dijadikan sebagai penolong kelaparan dan tempat untuk berlindung dari cuaca gunung, bukan hanya pendaki, tetapi juga peziarah yang datang ke Gunung Lawu.

Pendakian Gunung Lawu
Setahu saya ada tulisan “dilarang mencuci muka di sini”, pokoknya airnya ini bersih, dan kita juga wajib menjaga kebersihannya.

Sejenak kami berhenti di sebuah sendang untuk menambah persediaan air minum kami, lalu kami segera melanjutkan perjalanan menuju puncak. Ada dua jalur dari posisi kami saat itu, satu lurus nan terjal, satunya memutar dengan topografi yang sedikit lebih landai. Saya dan Aji mengambil jalur lurus, sisanya memutar. Siapa yang terlebih dahulu sampai, tentu saja yang mengambil jalan lurus.

Pendakian Gunung Lawu
Di belakang itu, ada bangunan, nha itulah warung Mbok Yem yang legendaris.
Pendakian Gunung Lawu
Punggungan sebelum menggapai puncak, landai namun mengular.

Kami berdua yang tiba terlebih dahulu di puncak segera berjalan-jalan sejenak dari Hargo Dalem hingga Hargo Dumilah. Berfoto bergantian dengan latar belakang yang sedikit berawan siang itu. Saya baru sadar, dari tiga pendakian bersama Aji, kami belum pernah berfoto berdua dalam satu bingkai.

Pendakian Gunung Lawu
Ternyata Aji pernah menjadi pendaki kertas.
Pendakian Gunung Lawu
Bendera yang dulu hampir tak pernah terlewat dibuka saat berada di puncak, kini teronggok di rumah mertua sebagai penutup kayu di samping rumah.

Lalu akhirnya rombongan kedua sampai juga di puncak, kami mulai segera mendokumentasikan posisi kami di bawah tugu yang terlihat jelas ada logo sponsor di bagian atasnya. Cukup ramai juga ternyata saat itu, sehingga kami tidak bisa mendapatkan foto tugu yang bersih dari pendaki lain.

Pendakian Gunung Lawu
Ramai sekali, hampir tak bisa berfoto tanpa pendaki lain.
Pendakian Gunung Lawu
Sampahnya banyak, saking banyaknya kami tak perlu bergeser jauh untuk menjadikannya sebagai properti foto.
Pendakian Gunung Lawu
Yang memotret ini kalau bukan Aji, ya Gentong. Terima kasih :). Foto dari kamera Ifti

Sebagian besar dari kami sempat tidur sejenak di area puncak, membayar hutang semalam yang kurang tidur sepertinya. Sekitar pukul 11.00 WIB kami mulai turun dari puncak melalui jalur Cemoro Kandang yang nanti akan tembus di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Jadi kami naik dan turun di provinsi yang berbeda.

Pendakian Gunung Lawu
Perjalanan turun dimulai, saatnya mengencangkan sendi lutut.

Jalur turun melalui Cemoro Kandang ini terasa jauh berbeda dengan jalur saat kami berangkat, jalan masih berupa tanah yang terasa licin karena musim hujan. Pada beberapa jalur mengular, terdapat jalan pintas untuk langsung turun melalui jalan air tanpa harus melewati bagian menikung. Tentu saja jalur air ini sangat beresiko untuk dilalui, selain terlalu terjal, bebatuan dan perakaran pohon juga kerap terlihat.

Pendakian Gunung Lawu
Bentuk trek yang lebih alami, namun juga lebih jauh. Foto dari kamera Ifti

Awal perjalanan turun, jarak kami berdelapan masihlah rapat, kami masih saling menunggui ketika ada yang meminta untuk beristirahat sejenak. Hingga akhirnya kami sampai di Pos 4 jalur Cemoro Kandang. Di sini, terdapat sebuah tanah lapang yang rumputnya itu gulingable banget. Kami beristirahat sekitar satu jam di area ini.

Pendakian Gunung Lawu
Sabananya tidaklah seluas sabana Merbabu via Selo, namun cukuplah untuk bermain-main sejenak.
Pendakian Gunung Lawu
Saat mereka masih bertenaga
Pendakian Gunung Lawu
Saat Rochim mencoba melawan gravitasi.

Berfoto-foto dan juga makan roti dan cemilan yang tersisa. Sungguh ini adalah pendakian dengan manajemen logistik terparah yang pernah saya lakukan, serta persiapan peralatan yang amat sangat minim. Sebuah keteledoran kegiatan pendakian yang pernah saya lakukan.

Baca Juga :  Pendakian Via Jalur Sigedang atau Tambi Menuju Puncak Gunung Sindoro (3153 mdpl) 1 of 3

Cuaca semakin berkabut, segera kami memutuskan untuk memulai perjalanan turun. Kami takut kehujanan karena tiada satupun dari kami yang membawa mantel. Paling hanya saya yang menggunakan Jaket Bergahus yang anti air sehingga bisa dijadikan atasan mantel saat itu.

Rombongan segera terpecah menjadi 2, kali ini 5 teman berada di depan, dan 3 di belakang. Saya, Badrun dan Rochim berada di bagian belakang. 5 pendaki berjalan teramat cepat saat itu, Badrun terasa kesulitan untuk mengikuti ritme rombongan pertama. Saya dan Rochim mau tidak mau harus memperlambat jalan untuk menemani Badrun yang sepertinya mulai lemas di bagian kakinya.

Ternyata, di antara kami bertiga tidak ada yang membawa air minum satupun. Semua persediaan air berada di rombongan pertama yang berjarak entah berapa menit di depan kami. Kami hanya berharap untuk bisa segera mencapai Pos 3 guna menemukan sumber air yang berada di tepi jalur pendakian. Saya agak lupa bagaimana akhirnya kami berdelapan bisa berada di sumber air yang kami maksudkan.

Mengisi persediaan air minum sebelum melangkah turun lebih jauh. Foto dari kamera Ifti

Perjalanan kembali berlanjut dari Pops 3 menuju Pos 2, kali ini rombongan tetap terpisah menjadi 2 kelompok dengan formasi yang sama. Kondisi ini berlanjut hingga sampai ke Pos 2, saat kami bertiga sampai di Pos 2, rupanya rombongan pertama telah beristirahat cukup lama, bahkan ada yang sempat tidur karena menunggu kami yang bergerak lebih lamban dari mereka.

Pendakian Gunung Lawu
Saya, Badrun, dan Rochim tidak berada dalam frame ini, kami tertinggal jauh di belakang. Foto dari kamera Ifti

Tak menunggu lama di Pos 2, perjalanan kembali dilanjutkan menuju Pos 1 dengan cuaca yang semakin mencekam. Kabut menebal, sesekali rintik air dari kabut terasa di kulit. Kembali, rombongan pertama melesat ke depan, Saya dan Rochim tetap setia menemani Badrun. Saya masih ingat, ketika Badrun mulai sering terpeleset, (untung saya tidak bercanda dengan menghitung berapa kali jatuhnya Badrun), Rochim berinisiatif untuk menukar sepatunya dengan sepatu Badrun yang sepertinya terasa licin untuk dipakai oleh Badrun.

Baru berdiri, dan berjalan selangkah dengan sepatu barunya, terpeleset lagi. Saya dan Rochim hanya tersenyum saja sembari melirik raut wajah Badrun yang terlihat sudah kelelahan. Posisi Rochim yang berada di depan Badrun, sering menarik tangan Badrun ketika terjatuh. Sedangkan posisi saya yang di belakang Badrun, sesekali menarik tas milik Badrun ketika akan terjatuh.

Perjalanan menuju Pos 1 terasa sangat berat saat itu, selain kondisi kami yang memang tidak bisa bergerak cepat, hati dan perasaan gondok terhadap rombongan pertama terasa menumpuk. Ingin berkata kasar, namun kami berada di tempat orang, ingin bermeditasi menenangkan pikiran malah nanti kami tidak bisa mencapai Pos 1 dengan segera.

Akhirnya Pos 1 terlihat, kami berharap rombongan pertama ada di situ untuk menunggu kami. Rupanya kosong, kami tidak menemui mereka satupun. Ada pendaki lain, kami bertanya kepada mereka apakah meninggalkan air atau makanan untuk kami, rupanya tidak. Ya sudah, mengambil nafas sejenak, kami bertiga melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga dan semangat yang ada.

Hujan turun dengan derasnya saat kami berjalan dari Pos 1 hingga basecamp  Cemoro Kandang. Badrun semakin terlihat kelelahan, karena tas yang dibawanya berisi pakaian yang tidak dibungkus plastik. Jadilah tas yang digendongnya semakin berat. Kami bertiga berusaha berjalan dengan cepat. Berjalan di rimbunnya hutan Gunung Lawu pada saat menjelang maghrib bukanlah hal yang menyenangkan.

Saya berusaha menatap jalan dengan menundukkan kepala, tidak berani melihat ke sekeliling. Rupanya hal ini tidak dilakukan oleh Badrun, ia sempat melihat beberapa hal karena pandangannya kemana-mana. Beruntung tidak ada hal buruk yang terjadi. Suatu saat Badrun terjatuh, Rochim berbicara kepada saya seperti ini :

Nanti, Jika ada “sesuatu”, Badrun saya gendong, kamu bawa tas gendongnya Badrun, Kita lari

Ucapnya saat itu masih terngiang di kepala saya. Badan basah, kedinginan, kondisi hutan semakin gelap, tenaga sudah hampir habis, rekan yang lain meninggalkan kami. Oh, kami bertiga harus bisa bertahan untuk mencapai basecamp Cemoro Kandang. Saya juga rasanya masih ingat, saat hendak memulai pendakian, ada salah satu di antara kami yang berucap seperti ini :

Pokoknya nanti jika “ada apa-apa“, jangan cerita di jalan, cerita nanti kalau sudah sampai rumah saja.

Sedikit mengulang cerita dari Badrun saat pandangannya berkeliling, ada dua kejadian yang sempat ia ceritakan kepada saya usai pendakian. Pertama, ia sempat melihat sosok kakek berbaju putih yang bergerak cepat dengan posisi merangkak pada sebuah tanjakan. Kedua, ada sebuah pohon besar yang terdapat lubang di tengahnya, ia sempat melihat ada kepala yang keluar dari lubang tersebut. Merinding? Okelah, saatnya kembali ke kisah perjalanan.

Baca Juga :  Tanam Pohon di Kedah Bersama Mr. Jali dan Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser

Tidak terhitung berapa kali Badrun terjatuh karena kondisi kakinya yang sudah tidak bisa menopang badannya dengan baik ketika berjalan. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib, hal tersebut cukup membuat semangat kami kembali naik, karena pasti perkampungan sudah dekat. Samar-samar juga terdengar suara kendaraan yang meraung di tanjakan.

Alhamdulillah, basecamp sudah dekat ujarku dalam hati

Rupanya, hingga 10 menit kami masih belum bisa mencapai basecamp Cemoro Kandang. Saya lupa, apakah pada saat ini kami menggunakan senter untuk menerangi jalan atau tidak. Seharusnya iya sih, ah sudahlah.

Hingga kami tiba di sebuah persimpangan, saya melihat bahwa jalur ke kanan terlihat jalan yang sangat jelas sering di lewati, sedangkan jalur yang ke kiri tidaklah terlihat seperti jalan. Saya sempat hendak mengambil ke kanan, namun Rochim berhenti sejenak, lalu mengajak kami untuk mengambil jalan di sebelah kiri. Rupanya itu adalah jalur yang benar, katanya kalau jalur yang ke kanan itu menuju jurang.

Lampu-lampu mobil mulai terlihat di sela-sela pepohonan, kami semakin semangat untuk menuruni jalanan yang terbanjiri oleh air hujan. Lampu bascemap Cemoro Kandang akhirnya terlihat di depan kami tanpa terhalang apapun. Alhamdulillah, perjalanan kami telah sampai di ujung penantian.

Entah saya yang terlalu percaya diri atau apa, saya berharap ada salah seorang dari rombongan pertama yang berpayung kecemasan dan terbasahi oleh kekhawatiran untuk menanti kedatangan kami bertiga. Rupanya tidak ada pembaca, wkwkwk saya ingin tertawa sendiri saat ingat momen ini.

Kami bertiga turun ke tepi jalan raya, mencari mereka berlima. Rupanya mereka sedang berada di warung seberang jalan tempat kami berdiri, menikmati teh hangat dan gorengan panas  sembari terlihat sedang mengobrol. Oh oh oh, rasanya kelelahan ini tidak terbayar.

Kami bertiga menyebrang, mendekati mereka yang akhirnya melihat kami. Saya lupa bagaimana Rochim dan Badrun saat itu bersikap, Saya hanya duduk di bawah kucuran air di bawah genting di luar warung. Duduk guna meluruskan kaki, sembari menyuskuri posisi kami yang telah sampai dengan selamat.

Aji menghampiri saya, dia berucap kepada saya :

Sorry Li,

Dua kata awal yang masih saya ingat hingga sekarang, dua kata tersebut entah mengapa segera membuat perasaan saya jadi lebih baik. Entah mengapa, namun rasanya benar-benar bisa menurunkan rasa kesal yang masih berkecamuk. Lalu saya segera tersadar, mereka juga pasti memiliki alasan yang juga rasional untuk berjalan terlebih dahulu.

Utoro menyusul, berucap bahwa sebenarnya mereka hendak menyusul kami saat itu, namun kami ternyata sudah sampai duluan. Utoro mengatakan bahwa daripada berdelapan menjadi korban semua karena menunggu satu orang, maka lebih baik segera mencapai basecamp untuk mengurangi peluang jumlah korban dan juga agar lebih mudah mencari pertolongan.

Rupanya Utoro juga sempat terpisah dari rombongan depan, jadi ia sempat berjalan seorang diri dengan posisi di antara rombongan depan dan rombongan belakang. Saat itu pinggang dan kaki kiri Utoro mulai kumat, rupanya efek dari vitamin yang selalu ia bawa sudah hilang.

Saat Utoro berjalan seorang diri dalam gelap dan hujan inilah ia juga melihat hal yang serupa dengan Badrun. Ia melihat dari sebuah pohon besar ada seorang nenek berjalan seorang diri dengan pakaian kebaya dan bersanggul konde. Sontak Utoro segera berlari, ia sempat mengambil kayu yang bekas terbakar untuk ia jadikan tongkat. Dengan tongkat tersebut ia berlari sekuat tenaga untuk bisa mencapai basecamp Cemoro Kandang.

Seingat saya, selain Utoro dan Badrun, beberapa rekan yang lain juga melihat “sesuatu saat perjalanan dari Pos 1 menuju ke basecamp Cemoro Kandang. Namun saya lupa bagaimana cerita persisnya.

Utoro pun bilang kalau mereka sadar bahwa kami akan ngedumel atau misuh-misuh ketika ditinggal oleh mereka berlima. Dalam kondisi seperti itu, tentulah logika tidak akan bisa berjalan dengan baik, Utoro menyadari itu, dan saya juga memahami hal tersebut.

Setelah sedikit penjelasan akan kesalahpahaman yang memang terjadi dengan tidak sengaja, tibalah saatnya untuk pulang ke kontrakan Rochim. Sebagian dari kami berjalan menuju ke basecamp Cemoro Sewu untuk mengambil sepeda motor, beda provinsi ya, hihihi

Kami mulai menuruni jalan aspal dengan badan yang terasa lelah dan ingin beristirahat. Saya dan Aji sempat nyasar saat pulang ke kontrakan Rochim karena tertinggal dari rombongan. Hingga akhirnya kami bisa menemukan jalan pulang yang benar, Utoro segera berdiri di depan pintu saat mendengar suara motor saya mendekat ke halaman.

Malam itu, kami semua tertidur dengan pulas, lalu pada pagi harinya, Badrun tidak bisa berjalan, dia terpaksa merangkak dari kamar menuju ruang tamu saat kami akan sarapan. Rupanya pegal semakin menjadi di kakinya.

Pagi yang cerah, kami menjemur semua yang basah kemarin saat mendaki Gunung Lawu. Hingga akhirnya saat siang hari, kami pulang ke tempat kami masing-masing. Saya, Utoro, Badrun, dan Aji kembali ke Kulonprogo, Hartono kembali ke Boyolali, Ifti kembali ke Surabaya, sedangkan Rochim dan Ibra tetap berada di kontrakannya.

Sungguh perjalanan yang tidak bisa saya lupakan hingga sekarang ini, walaupun samar-samar masih ada hal yang terlupa dan terlewat.

Pendakian Gunung Lawu
Dari kiri : Saya, Gentong, Ifti, Utoro, Badrun, Aji, Ibra, Rochim.

Terima kasih untuk semua rekan pendakian, cerita apapun ketika kita berada di Gunung Lawu, adalah sebuah kisah yang akan bisa mempertemukan kita kembali kelak di kesempatan yang lain. Bila ada hal yang terlupa sehingga terjadi kesalahan ketika disampaikan, saya minta maaf, silahkan segera kontak saya untuk merevisi hal tersebut. 6 tahun bukanlah waktu yang ideal untuk mengingat semua hal yang terjadi saat itu.

Ternyata saya pernah mengunggah 2 penggal perjalanan kala itu di Youtube,

Jadi, kapan kita kemana? Heheh

Salam hujan-hujanan.

0 Shares:
6 comments
  1. Matur sembah nuwun mas ghoz, sory sdh merepotkan
    Pendakian yg luar biasa…
    Yg teringat sampai skrng kepala yg keluar dr pohon..haaa

    1. wkwkkw sama-sama cak, gak usah pakai sorry, memang sudah seharusnya seperti itu.
      Wah terngiang dan terbawa sampai Blangkejeren iki…hwhwhwh

  2. Terimaksih mas ghoz….maaf aku kalau wkt itu ada slh. Aku terpisah antara rombongan 1 dan rombongan 2….aku ditengah tengah dgn meringis menahan sakit pinggangku yg kumat. Makanya aku segera cabut drpd mleyot dijalan sdrian

    1. waaah iki piye jebule emplekenyeesss…wkwkw kudu nambah vitamin Mas, olahraga renang soko London tekan Tehran, haha
      Aku sunting buat ditambahi kisah mistisnya yo Mas 😀

Leave a Reply to ghozaliqCancel reply

You May Also Like