Sudah lebih dari setengah tahun saya hidup tanpa media sosial. September awal adalah masa dimana saya sempat menghapus secara permanen beberapa akun media sosial milik saya. Platform media sosial yang saya hapus adalah Facebook, Instagram, dan Twitter.
Blog ini juga sempat saya down-kan secara sengaja selama satu bulan sewaktu masih berdomain dot com. Sekarang sudah menggunakan domain dot id ya, untuk panduan lengkap berserta kelebihan dan kekuranganya, silahkan menuju ke artikel : Migrasi wordpress dari domain .com ke .id.
Berhubung Google+ sudah berpulang, maka lengkaplah sudah hidup saya tanpa media sosial. Pada saat menghapus akun media sosial secara permanen, saya tidak perlu berfikir dua kali. Sudah, semua kenangan menghilang dari pertama kali saya membuat akun tersebut. Status alay, foto-foto memalukan, berbagai pencapaian, video tidak penting, serta kenangan yang tidak ingin saya ingat kembali.
Harapan itu memang menyakitkan, namun peduli lebih menyakitkan
KATARA (AVATAR AANG)
Kata Seorang Teman
Saat teman saya mengetahui bahwa media sosial saya hilang, segera ia menanyakan, aku jawab saja karena merasa bosan dengan beragam kebisingan di media sosial. Lalu teman saya berucap, ada dua faktor mengapa orang bisa lepas dari media sosial, [1] orang tersebut kuat untuk meninggalkan segala godaan di media sosial, atau [2] orang tersebut lemah, tidak mampu bertahan di ekosistem media sosial, sehingga menghapus akun media sosial.
Saya jadi berfikir kembali saat teman saya berucap hal tersebut. Saya masuk ke bagian yang mana ya, bisa jadi yang pertama, bisa jadi juga yang kedua.
Apakah saya sudah merasa tidak tertarik lagi dengan media sosial? apakah saya merasa bahwa hidup saya tidak seberuntung seperti yang teman-teman saya bagikan di media sosial? Apakah memang manusia modern harus hidup berdampingan dalam dunia paralel bernama media sosial? Ah, banyak pertanyaan semacam itu beberapa hari setelah saya menutup media sosial.
HARI-HARI PERTAMA
Perlu pembiasaan memang, seperti yang sesekali membuka beranda untuk menggulir layar, memutar video viral, memberi komentar pada status yang mencuri perhatian. Hal tersebut perlahan mulai saya gantikan dengan hal yang lebih produktif di ponsel saya, seperti menulis ide-ide kecil di catatan ponsel. Sesekali kembali membaca buku, sebuah kebiasaan yang sering timbul tenggelam dalam keseharian saya.
Saya belum terlalu menggunakan media sosial untuk kepentingan yang lebih penting, seperti berjualan atau mengaktualisasi diri melalui konten-konten yang saya unggah. Sehingga mungkin tidak terlalu signifikan dalam kehidupan saya sehari-hari, masih ada aplikasi percakapan di ponsel saya, sehingga saya masih bisa terhubung dengan rekanan yang biasa berinteraksi dengan saya. Hingga saya tersadar akan dua buah hal
Ada yang Tenang
Rasanya tenang saja, benar-benar tenang. Hidup tanpa kegaduhan media sosial. Saya orang yang sering merasa greget atau gatal jika melihat sebuah postingan yang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirikan.
Pagi hari, kini saya tidak perlu capek-capek membuka tiap media sosial untuk mengecek notifikasi atas status yang saya buat kemarin hari. Sering kali malah saya baru mencari ponsel saya setelah beberapa aktivitas pagi, itupun kini lebih singkat karena hanya mengecek notifikasi aplikasi percakapan dan kotak masuk surel.
Menjelang tidur pun, saya kini bisa kembali menikmati hal yang bernama menunggu mengantuk, bukan mengisi jeda antara tidur dengan terjaga dengan berkerumun di media sosial. Sadarkah kalian, kapan terakhir kali menunggu mengantuk dengan tanpa melakukan apapun?
Ada Hal yang Hilang
Jaringan, iya, jaringan saya hilang. Pertama paling terasa adalah saya tidak bisa mencari traffic blog dari media sosial atau dari fanspage. Hal tersebut terlihat sekali dari jumlah view artikel baru dalam sehari yang jauh dari biasanya, rupanya saya tidak sadar kalau selama ini traffic dari media sosial sangatlah besar untuk blog saya.
Kedua adalah tawaran kerjasama yang datang via blog. Saya sempat menjadi admin dari sebuah grup Facebook yang mempertemukan antara para blogger dengan agency yang memerlukan jasa blogger untuk membuat artikel advetorial atau event. Biasanya dalam sebulan minimal ada satu tawaran kerjasama yang masuk dengan nilai yang lumayan. Namun setelah saya menutup media sosial, hal tersebut juga mulai hilang.
Ketiga adalah persebaran informasi lomba blog. Biasanya saya melihat sekilas di beranda ketika ada teman yang berbagi tentang lomba blog, walaupun tidak selalu menang, setidaknya sesekali saya sempat menjadi juara pada beberapa lomba blog yang pernah saya ikuti.
Tahukah kalau hampir semua lomba blog pada masa sekarang ini mewajibkan para pesertanya untuk melakukan interaksi dengan media sosial? Seperti mengikuti akun penyelenggara atau membagikan konten lomba pada media sosial. Iya, saya terganjal di bagian ini, sehingga tidak dapat mencoba peruntungan mendulang rupiah.
Perlukah Membuat Akun di Media Sosial (lagi)
Entah, saya belum yakin akan hal ini. Namun jika melihat berbagai peluang yang saya lewatkan seperti hal yang saya sebutkan, mungkin saja iya mungkin saja tidak. Terlebih pada beberapa bulan terakhir saya sempat mempelajari internet marketing, setidaknya ada cara memasarkan barang dan jasa dengan teknik tanpa bertatap muka, hahaha.
Jika memang harus kembali di media sosial, sepertinya memang saya harus merubah cara pandang dan kebiasaan saya dalam menggunakan media sosial. Banyak waktu yang bisa terbuang percuma dengan menatap layar ketika bermain dengan media sosial. Memanfaatkannya untuk hal yang lebih dari sekedar untuk pamer atau curhat, jangan tersinggung ya buat yang baca.
Kapan waktu itu datang? entah,
2 comments
Biiin akun lagi tapi pakai nama blog saja. Biar pas membagikan seperlunya. Njuk yen pengen komunikasi ro koe kudu email. Hahahaahhah
Ide bagus Mas, nanti bisa dicoba kalau sempat.
Kan apik Mas nek pakai surel, ahaha