Secangkir coklat hangat yang mendingin malam itu tersruput bersih saat arloji digital yang biasa menempel di pergelangan tangan kiri menunjukkan waku pukul 12 malam. Segera kami mengambil stick tempe yang masih tersisa sepasang bersanding dengan sambal yang menggoda diatas porselin putih itu. Berkemas – kemas peralatan karena sekitar 60 menit yang lalu kami telah mengeluarkan berbagai macam jenis kabel yang digunakan untuk menyuplai sebuah komputer portable yang kami gunakan untuk sedikit menata sebuah video perjalanan.
Suara resleting di ujung sudut tas yang kami bawa menandakan bahwa kami harus mencari kasir yang akan menerima kewajiban kami selama beberapa saat menikmati secangkir kopi dan setumpuk stick tempe pedas dalam cahaya remang khas warung kopi anak muda yang terpantul oleh beberapa pajangan di dinding itu.
Kerjaan yang tadi sempat tertunda karena kehabisan kopi berlanjut di sebuah kamar yang meiliki pendaran cahaya yang lebih terang dan lebih lurus. Dalam posisi tiarap di depan komputer portable, dibantu sebuah bantal yang menyangga dagu saya untuk tetap berada sejajar dengan layar laptop. Gerakan jemari yang terpadu dengan suara khas tikus tak berekor tersebut memecah keheningan kamar saat dingin malam tersebut.
Dalam sela keheningan tersebut, sudah merupakan hal yang biasa bagi kami untuk sekedar bernostalgia maupun membiacarakan sebuah hal maupun gagasan yang ada di pikiran kami. Kebetulan pada saat malam itu, tema yang diangkat adalah sebuah nostalgia semasa di bangku kuliah. perlu di garis bawahi di sini, dalam masa kuliah kami berdua bukanlah siswa yang memiliki potensi dan prestasi akademik yang bisa dibilang baik.
Kami lebih ke arah mahasiswa yang biasa-biasa saja dalam hal akademik. Penggalian potensi tidaklah kami lakukan secara mendalam dalam akademik. Saya lebih ke arah komputer dan rekan saya tersebut lebih ke arah organisasi. Memang semasa kuliah merupakan hal yang sangat kondusif untuk anda mampu membentuk jati diri anda. Perjalanan kuliah kami yang berakhir tanpa IPK cumlaude juga tanpa tepat waktu tentu saja membuat kami tidaklah mampu diingat baik oleh dosen-dosen yang ada.
Obrolan malam itu sempat membuat rekan saya mungkin tanpa sadar melontarkan kata yang mungkin tidak jauh seperti ini,
“selama saya menempuh S1, saya kemana saja? apa yang saya lakukan?”
Tentu bila kita baca sepenggal kalimat tersebut, anda dapat menyimpulkan bahwa itu sebuah keluhan yang terbalut penyesalan. Apalagi ketika anda melihat tingkahnya memeluk bantal guling yang seakan rindu akan belaian tangan orang tuanya yang mengandung hormon endorfin. Dalam hati sempat tersemnyum sembari saya masih sibuk memperhatikan layar laptop untuk melanjutkan aktivitas yang terhenti di warung kopi beberapa saat lalu.
Dalam malam itu saya tidak mampu menanggapi terlalu banyak dari pernyataan rekan saya tersebut, selain lelahnya badan ini juga karena kondisi malam itu yang memang lebih baik untuk cepat diakhiri dengan sebuah pejaman menanti sinar mentari.
Seperti yang kita ketahui, yang namanya penyesalan pasti datang di akhir. pasti juga kita akan berandai-andai “kalau saja saat itu, bila saja waktu itu, mungkin jika aku, lebih baik dulu aku” akan ada banyak sebuah pilihan jalan yang bercabang namun telah kadaluarsa..
hal yang terjauh dalam hidup ini adalah tadi, dan hal yang terdekat adalah nanti.
Tentu bukanlah hal yang mudah untuk mampu mengusir rasa penyesalan tersebut. tapi pernahkah kamu sedikit berkaca mungkin juga merefleksi dari beberapa hal yang telah terjadi dalam hidupmu belakangan ini.
“Andaikan saja saat itu kamu tidak jatuh, apakah kamu akan belajar bangun?”
“Bila saja waktu itu kamu tidak lapar, apakah kamu akan tahu cara mencari makan?”
“Mungkin bila waktu itu kamu tidak kotor, apakah akan kamu pedulikan yang namanya bersih?”
Jatuh bangunnya hidup ini seperti bola karet. ketika bola karet hanya terjatuh biasa dari meja, maka hanya akan terpantul yang tidak akan lebih tinggi dari meja tersebut. Namun, ketika kamu melemparkannya dengan kekuatan yang keras ke lantai, tentu akan terpantul berkali-kali lipat dari ketinggian ketika kamu melemparkannya bukan?
Kesimpulan dari tulisan ini adalah ketika kamu mampu menganggap semua kegagalan yang pernah kamu lalui itu seperti bola karet yang kamu hantamkan ke lantai dengan sekuat tenaga, maka lihatlah sebuah kenaikan yang drastis dalam hidupmu. Tak perlulah kamu melihat dari materi yang melekat dalam dirimu, tapi lihatlah sebuah kualitas hidupmu sekarang ini. Pola pikirmu yang jauh berkembang, relasi yang semakin bercabang, jodoh yang kini telah bersanding, sikap yang lebih disiplin, waktu yang lebih kamu hargai, dan beberapa hal baik lainnya yang mungkin terlewat selama kita jarang ngopi bersama. ๐
Sob, yakinlah ketika ada gelap, ada masa juga terang benderang di depanmu. Yakin saja kalau “nanti” semua penyesalan itu akan menjadikan sebuah bahan bakar dalam menjalankan kendaraan obsesimu yang ditemani optimisme untuk menuju garis finish yang akan mengantarkanmu ke dalam sirkuit perlombaan hidup lainnya.
Akhir kata, “kita pernah memulai dari pos yang sama, namun mengambil jalur yang berbeda, nanti ketika salah satu dari kita telah di puncak, tunggulah yang lainnya.”
salam ^_^
15 comments
Apapun yang terjadi padamu, terima saja dan nikmati apa pesan di dalamnya. Kadang kita tidak akan tahu kalau tidak mengalaminya sendiri.
tepat sekali mas, setiap kejadian pasti ada hikmah dibaliknya ๐
salam… ^_^
Goz, jadi motivator kayaknya cocok nih.. :p
aku dadi navigator baen pang, wes duwe GPS (hape) kok, hahaha
gk kayak bubur? ahhaa
kalo bubur ntar malah bisa naik haji
*kata sinetron ๐
top lah!!
makasih ๐
ga ada yg sia-sia selama kita tahu cara ngambil pelajaran dari yg sudah terlewat. gitukah?
yup yup, benar sekali ito… ๐
cuman terkdang gak semua tau cara mengambilnya, ^_^
Seperti bola bekel aja deh mas. Biar mentalnya lebih tinggi ๐
nek aku ngomong bola bekel, ngko konangan sering donalan bekel pas cilik mas, hahaha
Hahaha.. dolananku gak bola bekel sih.. Tapi bekelan *podo wae*
woooo jebul podo wae.. ahahaha