Pulau Breuh
pantai lambaro, pulau beras

Sebelumnya saya telah sedikit menceritakan perjalanan saya di Pulau Nasi atau Peunasu, sebuah pulau kecil di Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Tulisan saya kali ini akan menceritakan eksotisme alam yang ada di pulau sebelahnya, yaitu Pulau Beras atau biasa disebut penduduk sekitar sebagai Pulau Breueh.

Kenapa dinamakan Pulau Nasi dan Pulau Beras? Pada episode 2 episode mendatang akan saya ceritakan sejarahnya (kayak sinetron aja, hehehe). Perjalanan dimulai tidak melewati pelabuhan Ulee Lheue lagi, melainkan melaui sebuah pelabuhan kecil namun ramai oleh aktivitas manusia yang biasa disebut sebagai Lampulo.

Siang itu dalam kondisi yang bisa dikatakan terasa sangat menyengat untuk orang yang biasa tinggal diketinggian seperti saya. Diiringi suara raungan dari kuda besi, saya melaju menuju ke kantor seorang rekan dulu sewaktu SMP yang kini telah bekerja dan tinggal di Banda Aceh.

Beberapa hari sebelumnya saya memesan satu paket filter berdiameter 58mm lewat transaksi online, saya alamatkan kepada rekan saya tersebut agar dapat saya ambil sebegitu saya menginjakkan kaki saya lagi di Banda Aceh selepas dari Pulau Nasi. Filter CPL, ND 8 dan FLD dengan ring lensa kit sejuta umat kini telah saya pinang bersanding dengan eos550d di dalam tas kamera tanpa bilik ini.

Sejenak mengobrol ringan dengan rekan semasa SMP tersebut, segera kami pamit untuk menuju ke tempat bersandarnya kapal motor yaitu Lampulo  karena sudah waktunya kapal motor mulai berangkat menuju ke tujuan kami selanjutnya, yaitu Pulau Beras.

Pulau Breuh
Pulau nasi dari kapal motor yang menuju pulau beras

Waktu pemberangkatan yang semakin dekat membuat kami segera memilih lokasi di punggungan kapal yang terpayungi dari teriknya mentari siang itu. Siapa cepat dia yang dapat, dan kami terlambat 😀 jadilah kami duduk di ujung depan kapal motor tanpa ada peneduh. Kapal yang seharusnya sudah mulai bergerak itu ternyata berangkat sekitar 45menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Jadilah kami memakai helm SNI di atas kapal motor untuk mengurangi efek dari sinar terik sang surya siang itu.

Pulau Breuh
selamat datang di pulau beras

Terlihat sang pawang (nahkoda) memasuki arena kemudi kapal motor tersebut, akhirnya hal yang membahagiakan kami saat itu akhirnya terjadi juga. Mesin kapal mulai mengeluarkan suara yang seirama dengan buih-buih yang tercipta di area belakang kapal motor tersebut.

Baca Juga :  Indahnya Kebersamaan Di Puncak Geurute

Perjalanan sekitar 90 menit kami lalui dengan candaan hangat ditengah panasnya terik sang surya yang sedikit terhalau oleh angin yang melintasi posisi kami di ujung kapal. Tanpa ingin melewatkan sedikitpun pemandangan dalam perjalanan tersebut, segera saya dalam posisi yang terpanggang mencoba mengabadikannya dalam bentuk digital.

Warna biru air laut yang memuda menandakan kami mulai memasuki perairan dangkal di wilayah Pulau Beras. Tak lama berselang, terlihatlah tumpukan beton yang langsung diterjemahkan oleh otak saya bahwa itu adalah dermaga yang akan menjadi pijakan langkah kecil kami untuk menikmati sebagian kecil ciptaan-Nya di Tanah Air Indonesia.

Hanya sekitar 500 meter, kami telah sampai di rumah dinas milik rekan kami yang sederhana dan penuh dengan ketenangan. Tak memerlukan waktu lama untuk senja menyapa kami saat kami baru selesai merapikan barang bawaan kami. Senja yang terlewatkan dari dalam bangunan beton berganti menjadi malam yang bertabur bintang yang bebas bersinar tanpa terganggu oleh polusi cahaya.

Sangatlah jelas sekali terlihat kabut Bima Sakti pada malam itu,namun pengetahuan mengenai ritual mengambil gambar galaksi saat itu masih sangat dangkal, tentu itu tidak membuat saya ragu untuk menekan shutter yang mulai mengambil gambar bima sakti pertama kalinya dalam pengalaman saya.

Beberapa kali menekan shutter dengan pengaturan yang berbeda membuat saya semakin penasaran di setiap kali kamera menampilkan hasil yang saya dapatkan. Lalu, panggilan rekan dari dalam ruangan menyudahi aktivitas saya di bawah langit malam yang bertabur bintang kala itu. Malam yang terlewatkan dengan obrolan hangat terasa sangat cepat untuk berganti fajar, sehingga matahari terbit yang kami rasakan terasa begitu terik dari biasanya (bangun kesiangan).

Setelah mentari hampir berada di titik kulminasi, barulah kami keluar dari bangunan sederhana yang melelapkan kami semalaman ini. Sembari mengecek kembali peralatan yang akan kami perlukan di perjalanan nanti, raungan dari sepasang kuda besi yang terkorosi mulai terdengar mengisi ruang dengar kami. tanpa menunggu lama, segera kami mulai melaju dalam jalanan yang berdampigan dengan pasir putih.

Pulau Breuh
pantai lambaro, pulau beras

Tujuan utama kami adalah Pantai Lambaro, yang terletak tidak jauh dari tempat kami kali pertama menginjakkan langkah kami di pulau ini. Cuaca yang terik membuat warna air laut di tepian pantai ini berwarna hijau toska dan merajut ke biru gelap di ujung cakrawala siang itu. Pasir putih yang seakan jarang terjejaki oleh manusia menyala cerah memantulkan sinar surya siang itu. Tidak berniat lama kami berada di Pantai Lambaro, selain cuaca yang terik menyengat, kami ingin menikmati lebih dekat Pantai Lambaro saat senja nanti.

Pulau Breuh
pemandangan sepanjang jalan

Kembali menaiki kuda besi yang terkorosi, kami mulai bergerak (sengaja) pelan untuk memanjakan indra pengelihatan kami di tengah semilir angin pantai. Sesekali saya berhenti untuk menekan tombol shutter dan kembali melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah pantai teluk dangkal yang terdominasi karang, di sinilah saya tersadar ternyata pengaturan ISO belum saya rubah semenjak berlatih mengambil gambar Bima Sakti semalam.

Pulau Breuh
pantai karang di desa rinon, belum tahu namanya 😀

Siang hari yang terik dengan ISO 6400 itu namanya “nyesek”, dan tidak ada lagi niatan untuk kembali ke titik awal tadi saat itu, saya sudah terbius oleh keheningan dan ketenangan pulau Ini. Sejenak kami berhenti di pantai Rinon, pantai dengan hamparan batu karang yang terlihat jelas dari tepian jalan yang kami lewati.

Pulau Breuh
karangnya menghampar luas

Filter CPL semakin menunjukkan kelihaiannya menghilangkan refleksi sinar sang surya pada permukaan air, maka terlihatlah betapa jernihnya air dibanding dengan alas batuan karang saat itu.

Pulau Breuh
kalo tidak salah itu pantai di desa meulingge

Pantai di Desa Meulingge juga terlihat jelas dari pantai rinon ini, namun kami belum berkesempatan menuju ke pantai di Desa Meulingge tersebut.

Pulau Breuh
terpaksa ndorong dan jalan kaki

Wisata pantai seakan tiada habisnya ketika berkunjung ke Pulau Beras ini. Sampai-sampai rela untuk melewati jalan kerakal yang harus kami lalui dengan mendorong si kuda besi tersebut agar rantai motor yang khas daerah pantai (berkarat) tidak putus di medan yang menanjak ini. Kami kembali lagi memarkirkan kuda besi kami di atas hamparan pasir putih di Pantai Balu.

Pulau Breuh
awan dan pulau kecil dari tepian pantai balu

Pantai Balu, sebuah batas antara daratan dan lautan yang dianugrahi hamparan pasir putih yang memanjang tanpa manusia lain selain kami.

Pulau Breuh
menyapa hamparan pasir

Berlarian sembari membuat jejak peradaban dalam deburan ombak pantai, membasahi kedua kaki kami yang terasa kering, juga tidak lupa mengabadikan eksistensi kami di pantai balu dalam file digital :D.

Pulau Breuh
lengkungan pantai balu

setelah bertingkah layaknya pengujung pantai pada umumnya namun tanpa adegan basah, kami segera berdiskusi untuk menentukan tempat dimana akan menikmati senja hari itu.

Pulau Breuh
pantai balu dari atas, pulau beras

Akhirnya kami mengunjungi kembali Pantai Lambaro pada sore harinya untuk melepas senja hingga berganti gulita. Posisi matahari pada bulan agustus memang tepat berada dalam ruang pandang ketika matahari tersebut tenggelam dalam cakrawala jingga. Seperangkat kamera saya sesuaikan posisinya agar mendapatkan matahari tepat menghilang diantara gugusan pulau kecil di ujung sudut Pantai Lambaro. Senja hanya kami nikmati berempat tanpa beban kehidupan hari ini.

Pulau Breuh
senja di pantai lambaro

Duduk, berlarian, melompat, hingga sesekali menceburkan diri ke tepian laut untuk menikmati pantai Lambaro. Senja semakin merona denga jingganya yang berganti ungu, mentari semakin beranjak merebah. Namun saya belum beruntung untuk dapat menikmati tenggelamnya matahari dalam cakrawala, sebaris gumpalan awan menutup perjalanan matahari. Hanyalah semburat cahaya senja yang masih terlihat menembus gumpalan awan terebut. “Tak apalah” ujarku dalam hati menghibur diri ketika mendapati kondisi seperti itu.

Pulau Breuh
mandi di kala senja di pantai lambaro

Menikmati rona senja bersama sahabat seperjuangan tentulah bukan hal mudah untuk kita dapatkan. Selalu ada kisah indah yang membekas dibalik senja, termasuk senja di pantai Lambaro. Kelak akan saya ceritakan kepada dunia yang lebih luas, tentang jingga yang terkenang di ujung barat Indonesia ini.

Pulau Breuh
gradasi senja yang tentram di pantai lambaro

Salam landscaper

Baca Juga :  Menyambut Pagi, Melangkah Pergi Dari Pulau Breuh [Pulo Aceh 4/4]

1. Pulau Nasi, Keindahan yang takkan terlupakan [Seri Pulau Aceh #1]

2. Pulau Beras, Pulau terbarat di Indonesia [seri pulau Aceh #2]

3. Menikmati Luasnya Biru di Mercusuar William Toren III, Pulau Beras [seri pulau Aceh #3]

4. Menyambut Pagi Untuk Melangkah Pergi [seri pulau Aceh #4 habis]

[EBOOK] Pulo Aceh, The Real Zero Kilometer of Indonesia

0 Shares:
4 comments
  1. That bluish sky and sea tho!

    Saya sukaa warna biru untuk alam (bukan untuk baju atau barang2 hehehe). Rasanya kayak bisa bikin mata minus ini normal lagi xD halu banget ya Allah :/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like