Bintang masih masih menghiasi langit saat saya terbangun untuk berkemas ulang sebelum menuju pelabuhan di teluk kecil yang berlokasi di ujung tenggara Pulau Beras atau sering disebut Pulau Breueh, Pelabuhan Lampuyang. Nyala lampu pijar yang semakin meremang dengan naik turunya kelopak mata ini. Sesekali telapak tangan menutup mulut ini ketika terbuka untuk menguap. Semua barang telah tertata rapi dalam tas 70 liter ini, juga ribuan foto yang telah tertampung selama perjalanan di Kecamatan Pulau Aceh ini.
Derit pintu kayu dari engsel yang telah berkarat menyertai langkah ini untuk menghirup udara dini hari di bawah taburan bintang . Sengaja saya berangkat lebih pagi untuk menanti fajar yang terbit tepat di pintu keluar Pelabuhan Lampuyang, juga untuk berjaga agar tidak tertinggal kapal motor yang akan berangkat ke Banda Aceh. Sementara 2 rekan saya yang lain akan menyusul kemudian. Deru kuda besi mulai membelah keheningan dalam gulita fajar saat itu, meliuk tak beraturan untuk menghindari beberapa lubang sepanjang jalan menuju Pelabuhan Lampuyang.
Sekitar 30 menit berlalu, mengantarkan rona fajar menyambut kedatangan saya di Pelabuhan Lampuyang. Sejenak memarkirkan kuda besi, menyandarkan tas carier, bergerak menyusuri tepian karang menuju ujung teluk di Pelabuhan Lampuyang. Akhirnya bisa menyaksikan kembali rona jingga dan aroma pagi di tepian laut setelah sekian lama menikmatinya di daerah pegunungan.
Menikmati suasana pagi sembari sesekali mengarahkan lensa ke hamparan samudra, terlihat beberapa perahu kecil sudah mencari rejekinya di lautan yang luas tersebut. Belaian ombak pagi yang tenang menambah rona damai pagi itu. Beberapa pemancing juga telah terlihat menanti strike di pagi hari, ada yang lengkap menggunakan joran, ada pula yang hanya penggunakan senar berkail pada ujungnya. Suasana pelabuhan semakin ramai saat saya kembali ke tempat dimana saya menyandarkan tas carrier saya. Walau saya tidak mengerti bahasa yang digunakan, namun tergambar jelas ada saling sapa dan canda tawa diantaranya.
Hilir mudik penumpang beserta barang bawaanya membuat badan kapal motor semakin merendah, tanda untuk sang pawang (sebutan untuk nahkoda di daerah tersebut) menghidupkan kembali mesin motor kapal. Segera sebuah jabat tangan hangat saya lemparkan untuk bantuan seorang sahabat yang telah sudi menampung kami selama tinggal di Pulau Beras, juga sebagai pemandu untuk dapat menikmati sebuah mutiara alam yang tersembunyi di ujung barat (banget) Indonesia. Menaiki sebuah kapal motor bersama para penumpang lain, kami segera memilih lokasi yang nyaman untuk menikmati perjalanan. Lambaian tangan dari atas kapal motor ini saya lemparkan kepada seorang sahabat yang berdiri sabar menanti kapal motor menghilang dari ruang pandang.
Kami duduk di atap kapal motor tersebut yang sebelumnya terbasahi oleh embun pagi. Beralaskan sepasang sandal jepit yang kusam, kami duduk dengan hembusan angin pagi lautan. Seorang lelaki bertopi hitam bergerak naik ke atap kapal motor dan duduk di dekat kami, ternyata Beliau adalah Bapak Camat Kecamatan Pulo Aceh. Saling menyapa pada awalnya berubah menjadi sesi tanya jawab yang memang saya harapkan untuk dapat mengetahui lebih jauh tentang Pulo Aceh ini. Berbagai pengalaman Beliau ceritakan ketika mulai menjabat sebagai Camat Kecamatan Pulo Aceh, sesekali kami bertanya apabila ada bagian yang membuat kami penasaran, dan Beliau pun menjawabnya dengan senyum simpul penuh ramah.
Sampai saya akhirnya bertanya kepada Beliau, kenapa dinamakan Pulau Nasi dan Pulau Beras untuk kedua pulau tersebut. Beliau menjelaskan bahwa dahulu kala ketika tranportasi antar pulau belum seperti sekarang, masih menggunakan kapal layar atau perahu tanpa motor digunakan sebagai pengangkut manusia antar pulau. Pulau Nasi dan Pulau Beras pada dahulu digunakan sebagai tempat untuk berladang dan berkebun oleh warga dari Banda Aceh atau sekitarnya. Jarak Pulau Nasi yang lebih dekat dari Banda Aceh dari pada Pulau beras membuat para petani bisa berangkat pagi dan pulang sore atau malam hari, sehingga bekal yang dibawa bisa berupa makanan yang telah matang seperti nasi dan lauk pauknya. Namun berbeda kisah lagi apabila hendak menuju Pulau Beras yang berada dibalik Pulau Nasi apabila dari Banda Aceh. Kondisi cuaca di laut yang tidak menentu terkadang memaksa petani untuk menepi dan bermalam di Pulau Nasi untuk kemudian keesokan harinya setelah cuaca bersahabat untuk merapat ke Pulau Beras. Dalam Kondisi tersebut, apabila petani membawa makanan yang telah matang berupa nasi, maka akan basi dan tidak dapat dikonsumsi karena waktu perjalanan yang telah bertambah secara drastis. Menghadapai hal tersebut, maka para petani membawa beras serta lauk mentah untuk dimasak saat bermalam di Pulau Nasi ketika akan menuju Pulau Beras.
Perairan yang melimpah dengan hasil hayati membuat kawasan Kecamatan Pulo Aceh ini cocok untuk wisata bahari baik untuk sekedar menikmati pemandangan maupun bagi para maniak mancing. 😀
Saat melintas di sebuat selat yang menghubungkan antara Pulau Nasi dan Pulau Beras, Pak Camat menceritakan telah mengajukan proposal untuk dapat segera dibangun sebuah jembatan untuk menghubungkan kedua pulau tersebut. Jarak terpendek antara kedua pulau tersebut sekitar 98 meter, terpisahkan oleh selat kecil bertebing landai yang menjadi rute pelayaran kapal motor dari Banda Aceh menuju Pelabuhan Gugop, Pulau Beras. Fasilitas antara kedua Pulau tersebut saling melengkapi, seperti Koramil berada di Pulau Nasi, Puskesmas dan Polres berada di Pulau Beras. Beruntung untuk sarana pendidikan telah ada di masing-masing pulau tersebut hingga jenjang SMA.
Obrolan ringan tersebut menggambarkan sebuah keteguhan jiwa serta jiwa yang bangga bagi beliau sebagai seorang Camat Kecamatan Pulo Aceh. Pandangan beliau yang selalu optimis untuk kemajuan daerah yang dipimpinnya, serta demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal pada gugusan Pulau terbarat di Indonesia tersebut. Kami lebih banyak mendengarkan cerita beliau tentang adat budaya daerah terebut serta perkembangannya hingga saat ini. Tanpa terasa kapal motor telah memasuki area pelabuhan di Banda Aceh. Beliau terlihat berkemas santai sembari mengucapkan pesan singkat kepada kami, sebuah jabat tangan mengakhiri 120 menit berada di atap kapal motor yang penuh dengan cerita inspirasi. Terima kasih Pak Camat Pulo Aceh, semoga kelak dapat berkunjung kembali ke Kecamatan Pulo Aceh.
Semendaratnya di Banda Aceh, segera saya diantarkan oleh rekan saya menuju terminal Banda Aceh untuk segera menuju ke tempat tinggal saya. Bagam kisah yang terekam dalam benak, serta ribuan foto yang tersimpan dalam SDcard, juga rekan-rekan perjalanan yang meninggalkan kenangan indah. Sampai jumpa dan semoga sukses ya rekan-rekan semua dimanapun kalian berada saat ini. Semoga diberikan kesempatan untuk mengulang kisah baru dengan tujuan serupa dengan pasangan hidup masing-masing ya :D.
Salam landscaper !!!
1. Pulau Nasi, Keindahan yang takkan terlupakan [Seri Pulau Aceh #1]
2. Pulau Beras, Pulau terbarat di Indonesia [seri pulau Aceh #2]
3. Menikmati Luasnya Biru di Mercusuar William Toren III, Pulau Beras [seri pulau Aceh #3]
4. Menyambut Pagi Untuk Melangkah Pergi [seri pulau Aceh #4 habis]
[EBOOK] Pulo Aceh, The Real Zero Kilometer of Indonesia
2 comments
Kenangan dari Aceh, “terasa” jelas sampai sekarang ya kakak.. ^_^
#AcehLonSayang..
wkewkekwekw ambigu maksimal 😀