Salah satu teknik unik fotografi adalah teknik kecepatan rana lambat atau slow speed shutter. Teknik ini mengijinkan kita untuk membuka jendela sensor agar lebih lama dalam menangkap cahaya. Untuk hasil yang sempurna, diperlukan tripod dalam penggunaannya. Selain tripod, sebenarnya ada faktor lain yang diperlukan, seperti kondisi cahaya yang ideal atau konsep foto yang akan diambil.

Saya baru pertama kali bermain teknik slow speed shutter ini pada tahun 2011, saat itu saya mendapat pinjaman kamera berupa DSLR Nikon D50. Saya sebelumnya pernah membaca-baca beberapa artikel mengenai teknik ini baik melalui majalah atau buku fotografi. Saat itu saya belum memiliki kebiasaan untuk mencari informasi di internet, maklum saat itu ponsel saya masih ponsel monochrome.

Saat itu saya dan teman-teman Brongkos 13 pergi ke kawasan rektorat kampus kami, UNNES. Pada malam hari. Selain mencari waktu yang sepi, juga memerlukan cahaya yang ideal untuk fotografi slow speed shutter. Total ada 4 orang saat itu yang datang, sehingga kami sempat bergantian untuk berfoto.

Sumber cahaya yang digunakan pada saat itu adalah barang-barang dagangan saya. Mulai dari yang hanya memancarkan cahaya putih hingga yang memancarkan cahaya warna-warni. Semua dicoba hingga mendapatkan hasil yang sekiranya cukup bagus. Latar belakang yang gelap membuat cahaya yang tertangkap oleh kamera terlihat menarik dan membuat ketagihan untuk berfoto dan berfoto.

Ternyata memang jam terbang tidak pernah bohong, hampir sebagian besar foto yang dihasilkan kabur. Bukan karena kamera yang goyang, namun karena objek foto yang tidak bisa diam. Beberapa foto menggunakan kecepatan rana 20 detik hingga 30 detik. Jadi bukanlah hal yang mudah untuk tetap diam selama waktu tersebut.

Baca Juga :  10 Harapan Saya Untuk Kereta Api Indonesia di Masa Mendatang

Hal yang menurut saya cukup membuat pusing adalah ketika menuliskan tulisan menggunakan lampu-lamput tersebut. Tulisan tersebut harus ditulis secara terbalik seperti menulis dari belakang, hal ini dilakukan karena kita tidak mungkin melukis dengan membelakangi lensa. Contoh mudahnya adalah seperti bagaimana anda menulis tulisan di kertas, namun cara membaca tulisan tersebut adalah melalui cermin. Seperti tulisan pada mobil ambulan yang ditulis terbalik secara sengaja.

Dalam satu tulisan, terkadang ada beberapa huruf yang terbalik karena kita belum mampu mengatur gerak otak dan psikomotorik agar selaras. Jadi memang ada banyak foto yang gagal dan tidak bisa dipamerkan, entak tulisannya yang terbalik ataupun model yang tidak bisa diam menjaga posenya.

Akhirnya pose duduk adalah yang paling mudah untuk menjaga posisi tetap diam nyaris tak bergerak selama rana kamera terbuka. Sebagian besar foto yang bisa dikatakan berhasil adalah foto dengan pose duduk. Beruntung saja cuaca cerah saat itu, sehingga kami tetap aman dan nyaman bertingkah di bawah langit malam.

Sekarang, foto-foto seperti ini menjadi sebuah kenangan tersendiri bagi kami, sudah lebih 6 tahun terlewati. Sudah banyak cerita yang terlintasi hingga 2017, hingga tulisan ini saya unggah. Sejenak juga saya hanya bisa menyelipkan doa agar mereka bisa meraih sukses dunia dan akhirat bersama keluarga yang kini mereka pimpin. Ahaha, kok jadi baper…. 😀

Jadi, saya yakin bukan hanya saya saja yang sesekali meluangkan waktu untuk melihat foto-foto lama. Sedikit bernostalgia dengan rekan-rekan seperjuangan pastilah bisa mengobati sejenak jenuh beraktivitas.

Baca Juga :  Mandi Kerikil Lebih Menegangkan Daripada Mandi Bola

Rezeki memang sudah diatur oleh Tuhan, teman yang baik juga adalah salah satu rejeki.

Salam.

 

0 Shares:
4 comments

Ambil hanya informasi, tinggalkan hanya komentar. Silahkan berbijak hati untuk mengisi kolom komentar. Salam

You May Also Like