Meski terkadang kau merasa sendiri dan bertemankan sepi di setiap hari. Tak pernahkah kau merindukan hiruk ramai wahai kelana? Tiap jengkal langkah pikiran mungkin akan sedikit mengantarkanmu pada keheningan yang berkualitas. Berteman sepi bukan seperti pemurung, menjauh dari ramai bukan pula layaknya intovert dalam skeptis pandangan anak yang memaksa memasang label gaul dalam benang keledainya.
Lelahkan kalian menatap dunia ini yang serasa semakin tanpa arah ini? yang seakan semakin hari ketidaklaziman pelan-pelan menjadi sebuah kelaziman? Sudah lama rasanya malas sekali menyaksikan beribu informasi yang disajikan dari kotak sampah tersebut. Entah apa yang mereka kejar, rating? sensasi? uang? popularitas? pengakuan dari individu lainnya?.
Hidup lebih dari sekedar berinteraksi antara manusia dan manusia lainnya di dimensi fisik, namun juga interaksi manusia dengan Tuhannya. Pengejaran status sosial manusia diantara manusia lainnya seakan sudah menjadi sebuah tradisi maupun ritual setiap mereka mengawali hari hingga tak terasa melewatkannya dengan omong kosong dan bualan tak bermakna.
Tend macam apa sekarang ini, setiap ada hal kecil dengan ekspos berlebihan maka akan dengan sendirinya menjadi sebuah komoditi yang kemudian dikejar demi status sosial. Acuan kaya di masyarakat kita masih berupa materi fisik yang mudah untuk dibawa untuk dipamerkan kepada mereka yang hanya sepintas ditemui dalam perjalanan hari. Rasa bangga mengenakan label, rasa percaya diri ketika bersolek semu dalam dunia paralel demi mengumbar pola hidup nyaman tanpa mengumbar rasa syukur. Keluhan konyol, berbagi tiket odong-odong atau pula mengunggah menu makanan hingga lupa berdoa misalnya menjadi hal yang memang tidak bisa dihindari ketika kita masuk ke dalam dunia paralel tersebut.
Mungkin hidup tidaklah sulit ketika yang kita perlukan hanya makan saja, tanpa kebutuhan yang berasal dari keinginan. Mungkin juga hidup tidaklah berat ketika kita hanya memikul yang ringan yang kita mampu, tanpa meluapkan keserakahan dan arogan. Mungkin pula hidup tidaklah lama ketika kita bisa menikmati dan mengikhlaskan semua dari-Nya untuk kembali kepada-Nya, tanpa selalu menempatkan kesedihan dan ratapan menggantung di kelopak harapan kita. Mungkin bisa juga hidup tidaklah terlalu sesak ketika kita bisa mempersilahkan orang lain untuk mengambil peluang, tanpa memaksakan ego dan kekuasaan. Hidup itu relatif, berkesan penuh dengan harapan bagi mereka yang berpandangan positif dalam setiap tujuannya, dan juga berkesan onggokan dimensi waktu bagi mereka yang tak memiliki tujuan hidup.
Buat apa menyeduh kopi dengan air mendidih kalau kita menikmatinya hingga menyentuk suhu yang lazim untuk lidah? itulah yang diibaratkan proses kesabaran dari hasil terbaik. Takkan ada orang yang menjadi pintar dalam semalam,semua perlu proses kerja keras, doa dan keberuntungan dalam mensyukuri setiap hal dalam sedepa demi sedepa waktu yang kita raih untuk menemui senja di ujung terang.
Keluhan tak tearah dalam seduhan kopi (11/4/2015)