Perjalanan kali ini saya lakukan di daerah yang jarang sekali terjamah, lebih jauh dari kata “mblusuk” nya pak jokowi. Mungkin lebih tepat mendamparkan diri di hutan, hehe :D. Di ujung jalan sebuah desa yang berada di kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Benar- benar bias dibilang kalau saya sudah masuk ke dalam hutan untuk menuju lokasi kali ini.
Air Terjun yang belum memiliki nama ini, serta baru sedikit sekali orang yang mengetahui lokasinya membuat kami bingung menamakan air terjun tersebut. Karena berada daerah yang biasa disebut warga sekitar sebagai daerah ramasan. Jadi saya agar lebih mudah untuk memperkenalkannya menyebutnya sebagai air terjun ramasan.
Berawal dari ajakan anak – anak yang tahu jika saya adalah orang yang lebih suka masuk hutan dari pada masuk supermarket kala sore itu. Akhirnya kita janjian esok hari untuk menuju air terjun tersebut dengan harapan cuaca cerah dan tidak ada halangan esok harinya. Ketika tiba saatnya, mereka datang ke rumah kontrakan saya sambari membawa senapan angin, saya juga mempersiapkan sebuah golok kecil untuk berjaga-jaga dari serangan babi hutan yang masih sering berkeliaran di daerah tersebut. Perjalanan mengendarai sepeda motor sekitar 15 menit membawa kami ke ujung aspal yang menandakan jalan berbatu yang membuat kami harus berhati-hati memilih ruas jalan. Setelah memarkirkan sepeda motor pada sebuah gubug tua yang biasa digunakan untuk menginap para warga yang bekerja di kebun, kami segera melangkahkan kaki- kaki riang kami menuju air terjun yang membuat hati saya penasaran beberapa waktu ini.
Ternyata untuk menuju air terjun ini tidak seperti menuju air terjun pada umumnya yang biasanya menapaki jalan tanah yang menurun. Tetapi kali ini benar-benar berbeda, kami menyusuri sebuah sungai kecil berbatu menuju ke hulu sungai tersebut. Air yang jernih serta sejuk membuat saya sengaja mencelupkan kaki saya ketika harus menyeberang ke sisi yang lain dari sungai tersebut.
Gemercik air sungai yang mengalir lembut membawa saya kepada sebuah kenangan masa silam, ketika saya masih kecil dan suka bermain di sungai kecil seperti ini untuk mencari udang ataupun ikan-ikan kecil yang sering bersembunyi di balik bebatuan. Sebuah nostalgia spontan yang menemani perjalanan saya kali ini.
Kami hanya membawa makanan kecil berupa roti dan beberapa cemilan kecil, untuk air kami tinggal meminum langsung dari sungai tersebut yang jernih dan dingin. Air sungai ini tidak direkomendasikan untuk anda yang memiki gigi sensitif, dinginnya serasa air yang keluar dari lemari es 😀
Ternyata kicauan burung masih sering terdengar diantara sela riuh air yang mengalir di sungai ini, beberapa kali mereka mengarahkan senapan kea rah burung – burung liar tersebut. Entah burung tersebut yang lincah atau mereka tidak pintar dalam membidik, alhasil mereka hanya mendapat satu ekor burung gereja.
Sembari berjalan, sesekali saya mengabadikan jatuhnya air di sela-sela bebatuan dengan teknik slow shutter speed. Hasilnya cukup memuaskan untuk seorang amatiran seperti saya. Entah berapa kali saya berhenti untuk mengambil gambar air yang mengalir membawa kedamaian dalam hati saya tersebut.
Sekitar 30 menit dari lokasi awal tadi, akhirnya kami sampai di air terjun yang pertama. Tidak terlalu tinggi memang, namun tetap saja menarik untuk dilihat dan diabadikan.
Mencoba naik ke atas dengan teknik climbing versi amatir, kami menemukan satu lagi air terjun yang cukup tinggi namun debit air tidak sebanyak air terjun yang dibawah tadi. Sebenarnya apabila ketas lagi akan ada 2 air terjun yang lebih tinggi dari ini, namun medannya terlalu beresiko apabila ke sana tanpa alat pengaman tambahan
.Akhirnya kami meneruskan kembali perjalanan dengan menyusuri sungai menuju hulu yang lebih atas lagi. Kami saat itu yakin kalau kami akan menemukan air terjun lainnya ketika dalam perjalanan. Dugaan kami ternyata benar, namun kali ini air terjunnya tinggi namun kecil serta terlalu sempit.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, melangkah dengan susah payah menghindari tanaman rotan yang berada sejajar dengan wajah kami. Batu yang berlumut juga membuat kami semakin waspada terhadap langkah-langkah kecil kami.
Permainan slow shutter speed tetap saja menemani perjalan saya menyusuri sungai tersebut. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah tanjakan yang tinggi, karena ada salah seorang anggota tim yang sudah terkuras tenaganya, serta waktu yang sudah terlalu sore. Akhirnya saya putusan untuk kembali pulang rumah.
Perjalanan menuju hilir sungai ternyata lebih harus berhati-hati karena terkadang lompatan yang kami lakukan ternyata berpijak pada batu berlumut. Karena terlalu cepatnya kami bergerak, ada sandal salah satu anggota tim yang putus. Akhirnya dengan terpaksa anggota tersebut berjalan menyusuri sungai dengan telanjang kaki.
Sesampainya di lokasi awal, tidak lupa untuk mengabadikan seluruh anggota tim yang telah melakukan ekspedisi kali ini :D.
Ternyata mengasyikan juga untuk melakukan perjalanan yang bisa dibilang super mblusuk ini, banyak hal-hal yang masih alami dan spontan yang saya rasakan selama perjalanan. Terlebih obrolan selama perjalanan bersama mereka, anak-anak yang kelak akan membangun derah ini agar dapat menjadi lebih maju sehingga kesejahteraan dapat menghampiri untuk kesejahteraan di masa depan 😀
Salam landscaper..
galeri
Salam Landscaper 😀
7 comments
wuiiiih, ini tepatnya di desa apa ya? Jarak desa dari kota kecamatan terdekat kira-kira berapa km? pingin juga main slow speed di sana, hahaha.
wakwkawka… kampung ramasan, desanya saya lupa namanya, kecamatan pantan cuaca, kabuapaten gayo lues, Propinsi aceh
jauuuh omm…… 😀
masih masuk area ekosistem tamana nasional gunung leuser om 😀
Whoaaa… Amazing
Iya mas, inilah asyiknya “mblusuk”
^_^
Makasih dah mampir dan kirim komentar mas…
Hehehe iya, kalo blusukan suka nemu tempat2 yang ajaib
kaya nemu’in harta karun…
Ahahaha
Ayo mas…blusukan…
^_^