Salah satu hal yang saya sukai ketika tinggal di Semarang adalah tersedianya beragam jenis tempat wisata, jaraknya juga masih relatif dekat untuk dicapai dengan kendaraan roda dua. Mulai dari gunung, air terjun, pantai, kuliner, tempat bersejarah, hingga beragam festival. Ketika saya memiliki waktu dan tenaga yang cukup, saya cenderung memilih untuk berwisata ke tempat yang dekat dengan alam, semisal gunung atau air terjun. Belum lama ini saya mengunjungi sebuah lokasi wisata berupa air terjun yang berada di kaki Gunung Ungaran, yaitu Curug Lawe dan Curug Benowo.
Dalam satu lokasi wisata alam ini menyajikan 2 air terjun sekaligus, jarak antar keduanya ketika (harus) ditempuh dengan jalan kaki sekitar 15 menit tanpa berhenti untuk berfoto. Originalitas jenis medan yang ditempuh berupa tanah dan batu juga sangat terasa di kaki, hanya di separuh awal perjalanan saja yang berupa beton untuk saluran irigasi.
Saya sudah pernah mengunjungi tempat ini sebanyak 2 kali; kunjugan pertama ke Curug Lawe pada tahun 2010 ketika jalan menuju tempat parkir masih berupa batu besar dan runcing, tiada warung satupun di lokasi wisata tersebut, satwa Lutung juga masih riuh terdengar di beberapa titik; kunjungan kedua saat tanggal 17 Agustus 2016, silahkan bayangkan sendiri ramai dan meriahnya lokasi wisata ini.
Berbekal kedua kunjungan sebelumnya, maka saya memutuskan untuk mengunjunginya kembali saat hari kerja di bulan Oktober 2016. Sebenarnya jalannya mudah, petunjuk jalan juga jelas, namun entah mengapa saya bisa 2 kali salah ambil arah, mungkin saya lapar. Bagi Anda yang ingin mengunjungi Curug Lawe dan Curug Benowo, silahkan ikuti saja peta berikut ini agar tidak tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, aku tanpamu butiran debu. *malah nyanyi
Peta untuk menuju lokasi wisata Curug Lawe dan Curug Benowo, klik asing-masing ikon untuk mendapatkan informasinya.
Lokasi Wisata Curug Lawe dan Curug Benowo terletak di Desa Kalisidi, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Bisa diakses dengan kendaraan roda dua atau empat, tersedia lokasi parkir yang cukup luas. Anda juga bisa datang sendiri, bersama keluarga, dengan teman, atau juga bersama kenangan. #ups
Senin, 10 oktober 2016 ketika di hari sebelumnya daerah Semarang diguyur rintik hujan dari pagi hingga malam. Pagi itu seingat saya masih mendung, namun malah semakin menambah semangat saya untuk berkunjung ke Curug Lawe dan Curug Benowo. Alasannya adalah semakin mendung semakin sepi, serta semakin memudahkan ketika akan memotret air terjun dengan mode slow shutter.
Menembus jalanan di jalur penglaju saat senin pagi yang syahdu ternyata cukup lengang juga, sehingga tidak perlu terlalu sering menekan rem dan menghidupkan lampu sign. Perlu waktu sekitar 45 menit dari Kontrakan sederhana saya ke area parkir objek wisata Curug Lawe dan Curug Benowo tersebut. Sesampainya di area parkir, seseorang telah menyambut hangat kedatangan saya, siapa lagi kalau bukan penjaga loket tiket masuk objek wisata.
Saya : “hari ini sepi ya Mas? Apakah kemarin juga hujan seharian di sini mas?”
Mas Penjaga Loket (MPL) : “iya sepi Mas, baru ada 4 pengujung mas tadi. Hujan seharian Mas, tapi ya tetap saja banyak pengujung mas kalau akhir pekan.”
Saya : “wah, berarti saya tepat memilih waktu kunjungan Mas.”
MPL : “iya Mas, kalau akhir pekan itu jumlah pengunjungnya keterlaluan Mas banyaknya. Mas sendirian aja mas ke sini?”
Saya : “iya Mas, sendirian, mau motret aja Mas sekalian jalan-jalan.”
MPL : “cocok Mas kalau mau motret pas pengunjungnya sepi seperti ini.”
Sepenggal obrolan saya dengan Mas penjaga loket terakhiri tanpa ada tukar PIN BB atau juga meminta foto bersama. Tiket masuk pada bulan Oktober 2016 sebesar Rp. 4.000 sudah termasuk asuransi dan dana sosial, parkir sepeda motor sebesar Rp. 2.000. Karcis parkir jangan Anda buang, karena untuk pemeriksaan saat keluar dari area parkir akan diminta kembali oleh petugas parkir, atau siapkan STNK sebagai tanda kepemilikan kendaraan yang Anda bawa.
Begitu melangkah dari area parkiran, kita akan menemui sedikit tanjakan berupa 2 buah lajur jalan beton dengan pemandangan kiri dan kanan berupa pohon cengkeh. Pintu masuk objek wisata ini masih dalam area perkebunan cengkeh, sehingga ketika banyak lalu lalang Petani Cengkeh di sekitaran jalan tersebut. Sekitar 200 meter kita akan menemui beberapa warung kecil yang menandakan bahwa pintu masuk ada di area tersebut, terlihat jelas di sebelah kiri ada sebuah gapura kecil dengan tulisan WE CLBK dengan tanda hati di tengahnya.
Saya sempat bingung, kok CLBK? Cinta Lama Bersemi Kembali? Cilacap Luas Banget Kabupatennya? Atau apa, saya sempat sedikit merasakan Semesta sedang memberi sebuah teka-teki kehidupan, lalu akhirnya saya melihat kembali tiket masuk yang ada di tangan saya, hmtttt….ternyata “Curug Lawe Benowo Kalisidi”. Kemudian angin kembali berhembus dan waktu kembali berjalan normal.
Menuruni tangga kecil langsung mengantarkan saya ke sebuah jalan setapak di tepian saluran irigasi yang ada menyambut langkah saya. Berjumpa dengan beberapa Petani yang sedang menyedot air dari saluran irigasi tersebut menggunakan pompa air mesin.
Saya : “ permisi Bapak.. “ sambil tersenyum
Bukan Bapak Saya (BBS) : “silahkan Mas, mau ke mana Mas?”
Saya : “ Ke air terjun Pak”
BBS : “ Hati-hati ya Mas,, “
Saya : “lho kenapa Pak?” tanyaku penasaran
BBS : “ya hati-hati kalau musim hujan seperti ini, takutnya airnya meluap atau ada longsor di jalan. Walau bukan tanggung jawab saya untuk mengingatkan tapi ini merupakan hal penting yang harus disampaikan”
Saya : “ owh begitu ya, Baik Pak, terima kasih atas nasihatnya. Mari Pak, saya jalan dulu”
BBS : “ Iya Mas, hati-hati”
Lalu saya berlalu meninggalkan sosok pria bertanggung jawab tersebut tanpa menoleh ke belakang walaupun saya semakin jauh melangkah. Menapaki jalan setapak dari beton di saluran irigasi harus membuat saya sangat berkonsentrasi ketika melangkah agar tidak keluar jalur. Saya selalu berhenti ketika akan mengambil foto, selain mempermudah pengaturan komposisi, juga untuk menghindari saya berjalan tanpa memperhatikan jalan. Beberapa kali saya menemukan tempat sampah dari karung putih dalam jarak tertentu, sangat membantu untuk mereka yang enggan membawa pulang sampahnya.
Ada sebuah jembatan yang dibuat di atas saluran air, sehingga bila kita berjalan di atasnya maka kita akan mendengar aliran air di bawah papan-papan kayu yang kita pijak. Jembatan ini dinamakan sebagai “jembatan romantis”, saya bingung kenapa dinamakan seperti itu, apa mungkin karena cuma ada satu sisi jembatan yang ada pembatasnya? Sehingga kita harus berpegangan dengan pasangan ketika melintasinya? Jika iya, mungkin para jomblo akan merasa menjadi manusia kelas dua, atau manusia kurang lengkap. *eh
Lebih baik ketika kelak Anda melintasi “jembatan romantis” ini, bersegeralah melintas dengan tetap berhati-hati, selain licin serta terasa kurang aman karena hanya ada pembatas di satu sisi, lalu lintas jembatan ini saat akhir pekan juga bisa dibilang kacau karena banyaknya yang ingin berfoto. Padahal sebelum jembatan tersebut terdapat sebuah himbauan agar melintas secara bergantian karena ada batas maksimal aman untuk beban yang berada di atas “jembatan romantis” tersebut.
Selepas dari jembatan berpagar merah tersebut, saya kembali menapaki pinggiran beton saluran irigasi. Tidaklah terlalu lama untuk bisa mencapai sebuah bendungan kecil yang bernama Bendung Sidomble, juga saya menemukan kembali tulisan WE CLBK lengkap dengan tanda hati di tengahnya. Hingga tulisan ini diturunkan, saya belum menemukan arti dari nama Sidomble yang digunakan menjadi nama bendungan kecil tersebut.
Selain informasi titik koordinat berdasarkan garis bujur dan lintang secara astronomis, muncul juga tahun pembuatan dan pihak pengelola Bendung Sidomble. Sepengetahuan saya, Balai PSDA Jragung Tuntang sebagai pihak pengelola adalah salah satu unit yang berada di bawah naungan dari BPDAS Pemalijeratun. Semua Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara ke laut di utara Jawa Tengah, masuk ke dalam wilayah kerja dari BPDAS Pemalijeratun. Jadi bisa dipastikan bahwa air yang ada di objek wisata ini akan mengalami perjalanan cukup jauh hingga bermuara di laut yang berada di utara Jawa Tengah.
Selepas dari Bendung Sidomble, saya disuguhi oleh beberapa puluh anak tangga yang tersusun dari batu dan beton yang terlihat sudah cukup berumur. Anak tangga tersebut mengantarkan saya kepada sebuah percabangan yang akan memaksa kita membuat sebuah keputusan akan menuju ke Curug Lawe terlebih dahulu atau ke Curug Benowo. Sekedar saran saja untuk para lelaki, bila Anda datang bersama pasangan, berikanlah pasangan Anda kepastian akan menuju curug yang mana terlebih dahulu, karena perempuan akan lebih menyukai kepastian daripada perhatian.
Pada percabangan tersebut juga terdapat sebuah warung, mushola, kamar kecil dan tanah lapang yang bisa dijadikan tempat camping bila Anda ingin bermalam, tapi pastikan Anda telah melapor ke pihak pengelola kalau akan camping di tempat ini.
Akhirnya saya memutuskan untuk menuju ke Curug Benowo terlebih dahulu dengan mengabil arah kiri dari percabangan tersebut. Langit terlihat semakin mendung, saya semakin bergegas melangkahkan kaki kiri dan kanan secara bergantian. Namun selalu terhenti ketika melihat kombinasi susunan batuan dan aliran air yang sekiranya akan semakin indah bila diabadikan dengan mode slow shutter speed. Saya lebih sering menyusuri bebatuan sungai daripada melalui jalan untuk pengunjung, tujuannya hanya satu yaitu memotret aliran air.
Jarak sekitar 200 meter setelah percabangan saya kembali menemukan sebuah jembatan dari bambu yang bisa digunakan ketika ingin berpindah ke jalur yang menuju ke Curug Lawe, dan begitu pula sebaliknya. Saya juga baru menyadari ternyata di bawah jembatan tersebut ada sebuah air terjun kecil namun dengan bentuk ngarai yang memanjang, namun saya tidak ada jalan turun langsung, kita harus menyusuri sungai kecil dari percabangan pertama tadi. Mungkin nanti saat perjalanan pulang akan saya susuri ruas sungai tersebut, asalkan cuaca bersahabat.
Setiap jarak 100 meter akan ada sebuah papan kecil yang memberitahukan kita sisa jarak yang ditempuh untuk menuju air terjun. Tujuan akan penempelan papan itu mungkin untuk memberikan motivasi kepada para pengujung agar semakin semangat, tentu saja penempelan papan ini lebih murah daripada harus menyediakan motivator pada setiap jarak 100 meter sembari berucap “semangat kakak…..”. Tetapi ada hal yang mengganjal dalam benak saya, sebagian besar papan-papan informasi penanda jarak atau sekedar quote (tentang alam, manusia dan Tuhan) cara pemasangannya masih dengan di paku pada pohon. Mungkin lebih baik menggunakan tali rafia saja yang diikatkan pada dahan, sehingga tidak mengganggu tumbuh dan kembang dari pohon tersebut.
Cuaca kadang kembali berubah dari mendung menjadi cerah, sehingga terkadang surainya menembus dedaunan sepanjang perjalanan. Saya senantiasa menanti cuaca mendung, karena porsi cahaya yang baik menurut saya adalah saat mendung, sehingga tidaklah muncul bayangan yang terlalu keras. Ketika cuaca kembali cerah saat saya sudah memasang tripod dan mengatur komposisi, maka saya menunggu sesaat sembari melihat kembali foto-foto yang sudah saya ambil.
Suara air terjun mulai terdengar sayup-sayup bersama angin, saya mempercepat langkah agar semakin dekat dengan tujuan. Sampailah pada Curug Benowo yang tingginya saya tidak tahu, saya bukan tukang ukur tinggi air terjun. Saya tidak begitu suka air terjun yang terlalu tinggi, berlajar dari pengalaman saat berkunjung ke Air terjun Sipiso-piso yang tingginya 125 meter tersebut saya jadi paham kalau semakin tinggi sebuah air terjun maka hembusan angin yang membawa bulir air akan semakin kuat dan jauh. Terlebih juga, bagi yang ingin memotret secara utuh air terjun tersebut maka harus mengambil jarak yang cukup dan didukung dengan menggunakan lensa lebar.
Hanya Saya, iya hanya saya sendiri yang berada di Curug Benowo saat itu. Tidak ada pengujung lain yang berada di lokasi tersebut, betapa beruntungnya saya saat itu. Sedikit berpindah tempat untuk mendapatkan sudut pandang dan komposisi yang tepat. Sinar matahari yang terkadang tertutupi awan membuat saya harus dengan cepat mengatur komposisi dan menentukan exposure pada kamera. Pada Curug Benowo, hembusan uap air tidak begitu terasa dikarenakan areanya yang cenderung terbuka dan meluas. Bila Anda ingin merasakan hembusan air segar dari lereng Gunung Ungaran, maka mendekatlah hingga batas aman yang direkomendasikan.
Awan mulai terasa mengisyaratkan akan menurunkan hujan dengan rintiknya yang mulai berjatuhan sesaat. Saya berbegas memulai ritual untuk membuat foto panorama 360 dengan kamera Nikon d3100 dan lensa 18-55mm kesayangan. Hasilnya bisa Anda lihat di bawah ini, bisa menggunakan mouse untuk melihat sekeliling, jika terasa terlalu kecil maka Anda bisa masuk ke dalam mode layar penuh. Pastikan browser yang Anda gunakan mendukung html5.
Tepat di depan Curug Benowo ada sebuah jembatan dari bambu yang bisa Anda gunakan untuk menyebrang kemudian melintasi jalan setapak di sebuah bukit kecil yang akan mengantarkan Anda ke Curug Lawe. Jalan setapak tersebut lebih menghemat waktu dan tenaga serta jarak daripada Anda harus kembali ke percabangan yang telah saya sebutkan di atas. Namun, Saya lebih memilih kembali ke percabangan, selain pertimbangan bahwa tadi ada beberapa titik aliran sungai yang belum saya abadikan dengan baik, melintasi jalan setapak tersebut hanya ada pohon dan tanah, tidak ada pemandangan yang menurut saya cocok untuk diabadikan. Satu lagi, jalan setapak tersebut juga masih berupa tanah, jadi pastikan alas kaki Anda memilki grip yang baik agar tidak mudah terpeleset dan terjatuh kemudian ditertawakan, difoto, dan baru ditolong oleh teman dekat Anda.
Saat perjalanan kembali ke percabangan, saya sempat berpapasan dengan beberapa pengunjung yang menyandarkan jaket di pundaknya, sepertinya berjalan kaki dari area parkir membuat kelembapan udara menjadi tinggi di sekitar tubuh mereka. Salam senyum dan saling menyapa ala kadarnya mengantarkan jarak yang lebih jauh di antara kami.
Sesampainya di percabangan, saya segera berpindah ke aliran sungai dari Curug Lawe, tidak begitu jauh berbeda dengan aliran sungai dari Curug Benowo, namun tebing tinggi di kedua sisi saya terasa lebih dekat. Hal ini membuat saya lebih banyak berdoa dan berhati-hati bila ada longor atau batang pohon yang jatuh ke arah saya. Ternyata cukup banyak juga jembatan kecil dari kayu yang dibuat untuk menyeberang ke sisi lain sungai. Jauh berbeda ketika 6 tahun silam berkunjung ke sini, ketiadaan jembatan membuat saya harus menyeberang sungai kecil tersebut. Air sungai tetap terasa segar walaupun cukup dingin ketika menyentuh kulit, cukuplah untuk membilas keringat yang ada di tangan saya.
Saat hendak mencapat Curug Lawe, saya menemukan sebuah air terjun kecil yang bertingkat dengan bendungan kecil di depannya. Segera menancapkan tripod dan mengatur exposure kamera, kaki yang terendam hingga lutut tidak menghalangi saya untuk mengambil gambar dari titik tersebut.
Tangga kecil yang cukup menanjak saya tapaki untuk mendekat ke Curug Lawe, hingga saya sampai ke sebuah titik yang ideal untuk mengambil foto tanpa terkena hembusan uap air cari Curug Lawe. Namun pada titik tersebut ternyata ada sebuah warung dengan atap dari terpal berwarna jingga yang menurut saya cukup menganggu ketika harus dimasukkan ke dalam bingkai foto yang bertemakan alam.
Tiga orang lelaki sedang merenovasi warung tersebut saya sapa dengan sedikit berteriak, suara gemuruh dari Curug Lawe membuat suasana serasa sedang kondangan di acara pernikahan dengan suguhan organ tunggal.
Saya : “permisi Pak.. !!!”
Bapak Perenovasi Warung (BPW) : “Iya Mas, sendirian aja Mas !? Modelnya mana?!!” melihat saya menenteng kamera dan tripod
Saya : “Iya Pak, hanya mau motret saja, makanya sendirian gak papa Pak !!!”
BPW : “Kalau gak ada, saya aja sini yang jadi modelnya !!”
Saya : “Terima kasih Pak, mungkin lain waktu saja, ahaha !!!” Jangankan ditawari model laki-laki, model perempuan saja belum tentu saya mau motret, hhahahah
Hembusan butir air sangat terasa di area Curug Lawe, hal ini disebabkan karena memang bentuknya yang seperti mangkuk besar dengan satu pintu untuk keluar masuk area ini. Beberapa kali saya harus menempelkan kaos untuk menghilangkan butiran air yang menempel pada kamera. Hingga akhirnya saya mengeluarkan kain kecil untuk menutupi kamera, hanya ujung lensa saja yang tidak tertutupi kain saat itu. Mengendap di balik batang pohon besar untuk berlindung dari hembusan basah tersebut, mencoba mengambil gambar tebing berlumut yang mengucurkan air dari atas.
Saya menemukan sebuah titik yang memiliki hembusan basah yang cukup kecil, anehnya titik ini berada di tengah dan cukup dekat dengan tempat jatuhnya air. Mungkin titik ini terlewati atau tidak menjadi pantulan dari hembusan basah tersebut. Segera kembali mengambil serpihan bingkai digital untuk dikumpulkan dan segera dijahit menjadi foto panorama 360. Anda bisa menikmati kondisi di sekeliling Curug Lawe tanpa harus merasakan basah, silahkan menuju mode layar penuh jika dirasa bingkai yang tersedia terlalu kecil.
Segera saya bergerak menuju area parkir setelah dirasa cukup dengan jepretan di Curug Lawe. Menyapa kembali kepada mereka yang masih merenovasi warung beratap terpal, berpapasan juga dengan beberapa pengunjung, juga sempat terhenti kembali di beberapa titik untuk mengambil gambar lagi.
Hingga saat sedang duduk di atas batu sembari menanti rana lensa tertutup kembali, tiba-tiba rintik air dengan cepat datang secara berombongan. Sontak saya segera berdiri, berjalan cepat dengan sedikit membungkuk untuk melindungi kamera yang saya letakkan di depan badan saya. Beruntung, tidak jauh ada sebuah warung kecil yang memang hanya buka saat akhir pekan, sehingga saya bisa berteduh di tempat tersebut. Tidak berapa lama, datanglah 4 pengunjung yang berlari kecil menuju naungan saya saat itu.
Obrolan ringan diantara kami yang sedang bernaung dari hujan mengantarkan pada redanya hujan siang itu. Saya melanjutkan ke area parkir, sedangkan pengunjung lainnya melanjutkan ke air terjun, dan saya hanya bisa berpesan agar berhati-hati saat hujan sepert ini.
Debit air sungai yang meningkat membuat air menjadi sedikit lebih keruh dibandingkan saat tidak hujan, sehingga saya lebih memilih untuk memasukkan kamera ke dalam tas dan berjalan dengan santai ke area parkir. Sesampainya di gapura awal, tiba-tiba ada nada yang menggoda saya sembari berucap “gorengan hangat mas, kopi panas, silahkan mampir”. Segera saya menoleh, perut saya juga sudah lapar, memesan mi rebus sembari memakan gorengan hangat dengan cabai pedas sepertinya cocok sekali untuk saat seperti ini. Langkah kaki saya bergerak menuju warung asal sumber suara tersebut, seorang bapak paruh baya menyambut saya dengan ramah.
Kopi panas dan mi telur rebus segera saya pesan sembari mengambil gorengan hangat yang ready stock pada warung tersebut. Tanya jawab ringan seputar objek wisata tersebut mengisi waktu tunggu saya terhadap pesanan saya. Bapak tersebut bercerita juga beberapa kisah yang ada di lokasi wisata tersebut, salah satunya adalah beberapa hal mistis di jembatan romantis yang saya sebutkan tadi, kata beliau sudah ada beberapa tamu bercerita telah melihatnya. Saya yakin selama kita tidak berbuat yang aneh-aneh, maka hal itu kemungkinan besar tidak menimpa kita, jadi tetaplah bersikap sopan dan santun serta menjaga kebersihan.
Saya bertanya perihal satwa Lutung yang tidak saya temui sepanjang perjalanan tadi, tidak seperti saat 6 tahun silam dimana hampir selalu terdengar riuh dari satwa Lutung yang ada di kawasan tersebut. Bapak tersebut mengatakan, bahwa munculnya sekarang hanya pagi dan sore, malah terkadang sampai mendekat ke lokasi gapura WE CLBK, namun tidak mengganggu pengunjung. Banyaknya pengujung juga sepertinya membuat satwa Lutung tersebut memilih untuk mencari lokasi lain untuk tinggal dengan tenang.
Kopi panas dan mi rebus beserta gorengan telah saya santap habis hampir tak berbekas, ternyata saya merasa sangat lapar saat itu. Setelah membayar sebesar Rp. 12.000 untuk menu santap siang yang terasa lezat sekali siang itu, maka saya segera berpamitan, melangkah kembali menuju area parkir. Tidak lupa saya mengenakan jaket telebih dahulu sebelum melakukan perjalanan pulang, setelah semua saya rasa siap, segera tancap gas menuju Kontrakan, hingga akhirnya nyasar lagi di beberapa persimpangan, haduuuh….
Di bawah ini Anda bisa melihat denah sederhana yang saya buat secara manual, semoga bisa membantu Anda ketika akan mengunjungi tempat wisata ini.
Dari denah manual di atas, Anda masih bisa menuju dari satu curug ke curug lainnya tanpa harus kembali melalui jalur yang telah Anda lewati. Untuk detail jarak dan detail setiap tikungan saya tidak bisa memberikan jaminan, saya hanya paham lokasi antara satu titik dengan titik lainnya. Semoga bermanfaat.
Tips bila Anda hendak berkunjung ke lokasi wisata Curug Benowo dan Curug Lawe :
- Hindari akhir pekan dan hari libur umum bila Anda ingin mendapatkan suasana yang tenang. Hindari juga membeli barang pendukung traveling secara kredit, punya hutang itu gak nyaman.
- Gunakanlah GPS dengan bantuan peta di atas untuk mempermudah akses Anda menuju lokasi objek wisata dari tempat tinggal Anda. Jangan pernah menggunakan petunjuk dari dukun, percaya hanyalah pada Tuhan YME.
- Datanglah saat pagi hari, saat cuaca belum terasa terik, semakin awal semakin baik, namun jangan terlalu awal, semisal jam 3 pagi sudah berada di area parkir.
- Jam kunjungan objek wisata ini dibatasi hingga jam 3 sore atau saat hujan sudah turun deras. Jadi datanglah sesuai dengan poin di atas.
- Gunakan alas kaki yang kuat dan memiliki grip yang baik agar Anda tidak terpeleset atau mengalami putus sandal. Bila Anda habis putus cinta, mungkin anda sudah tidak memiliki alas-an untuk melangkah lagi, *eh.
- Belilah di warung yang ada di aera wisata tersebut, walaupun pilihannya terbatas, namun Anda ikut membantu perekonomian warga sekitar yang membuka warung. Tidak usah ikut berjualan kalau Anda hanya berniat untuk berwisata, terlebih Anda berjualan meubel atau nawarin MLM di area wisata, JANGAN.
- Bawalah baju ganti bila Anda tidak bisa mengatasi godaan untuk bermain air yang sejuk di tempat ini. Bila pakaian anda sudah basah namun tidak membawa baju ganti, dimohon tetap memakai pakaian basah tersebut, jangan dilepas, apalagi dijemur, nanti bisa hanyut terbawa air.
- Persiapkan mantel atau payung saat Anda berkunjung di musim hujan. Persiapkan juga masa depan anda dengan baik.
- Jika hujan datang, segeralah tinggalkan area air terjun dengan langkah yang cepat namun tetap berhati-hati. Jika mantan datang dengan gebetan baru, segera tinggalkan masa lalu anda.
Mungkin hanya itu saja tips yang bisa saya berikan, tetap jaga kebersihan dan kesopanan ketika berkunjung kemanapun ya !!! 😀
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah
24 comments
fotonya keren keren mas,
eh kenapa gak pake model, mas?
Model saya ya itu mas, bebatuan dan daun…hehehe
tulisan ini jadi juara 2 lomba blog visit jateng, selamat ya…
Iya mas, terima kasih mas 🙂
Akhir tahun yo mas, ngko pas aku mudik, tak traktir bakso sidul semampir yo… 😀
waaaa kereen foto 360 derajatnya. 🙂
Ahaha iya, terima kasih.
Beruntung browser sekarang sudah support html5 🙂
Apik banget foto-fotonya mas, ish sukak deh.. Teknik fotonya udah mumpuni juga jadi nggak heran 😀
Itu jembatannya cakep tapi ngeri-ngeri sedap euy >.<
aha iya, fotonya kebetulan aja pakai kamera yang lumayan, jadi hasilnya ikutan lumayan 🙂
Iya, di sana jembatannya masih dari kayu dan bambu semua, dan kebanyakan ya memang dibuat untuk melintasi sungai 😀
fotonya keren, bersih, dan gak bocor. ahahahah. selamat mas atas pencapaiannya menjadi juara 2 di lomba blog Jateng 2016 🙂
terima kasih kak, masih belajar motret juga 🙂
ahaha iya, terima kasih atas ucapannya 😀 salam
selamat ya…juaraaa
iya, terima kasih kak 😀
kok keren ada panorama 360 nya haha.
iya mas, sekarang plugin buat embednya sudah jauh lebih stabil dan nyaman pengaturannya. jadi ada alternatif lain selain nempelin di facebook.
Apik dan bermuatan edukatif, memberikan informasi berguna dan bergaya. Boleh share foto dan videonya ya?
Video yang mana ya? Apakah foto 360 yang Anda maksudkan?
Silahkan, semoga bisa menjadi alternatif promosi wisata CLBK ini.
Salam
Foto-fotonya luar biasa, Kak!
Perjuangannya juga sih, hihihi .. :p
Salam kenal yaaa ..
Ahaha terima kasih, masih belajar…
Hu’um, menembus hutan campuran disertai hujan itu rasanya bikin keringetan dan kedinginan, hehebe
Salam kenal juga…
WE LOVE CLBK…
wakakakkakakak
Sehat gung?
cakep curugnya
Airnya juga seger….
“….seseorang telah menyambut hangat kedatangan saya, siapa lagi kalau bukan penjaga loket tiket,” kok bacanya jadi sedih ya :'( hahaha
btw foto 360 derajatnya keren dan cangiiih. kirain cuma video aja yang bisa di-360-derajat-in, foto juga bisa toh. jadi bisa liat sekeliling, berasa lagi di tkp. ehehe
Iya, saya mah apah atuh *ngorek2 tanah di pojokan, whahwa
Setahu saya malah foto dulu, baru berkembang ke video,
Ketimbang foto 360 nangkring di fb, di embed ke wordpress ternyata bisa, dan bagus…whahwa