Pagi ini ada yang berbeda dari pagi biasanya, saya berada dalam rombongan yang sedang menuju ke Kampung Budaya Sindangbarang, Bogor. Perjalanan dari titik kumpul menuju ke Kampung Budaya Sindangbarang cukup lancar walau harus sedikit diselingi insiden angkot yang kami tumpangi sempat nyasar dan memaksa rombongan berjalan kaki karena tidak kuat di tanjakan.
Sesampainya di area parkir Kampung Budaya Sindangbarang, Kami sudah ditunggu oleh tuan rumah. Sudah terlihat ada sambutan di gerbang masuk Kampung Budaya Sindangbarang. Sambutan tersebut berupa iringan Angklung Gubrag dengan suara yang khas.
Kami segera menuju ke Bale Riungan, sebuah balai terbuka yang terbuat dari kayu. Sejenak saya meluruskan kaki dan melihat ke sekitar. Saya menghirup udara pagi itu lebih dalam dari biasanya, nikmat, aroma pedesaan yang saya rindukan.
Sebelum turun ke lapangan guna menyaksikan pentas budaya, kami menikmati hidangan sehat pagi itu. Pisang, ubi, dan jagung yang semuanya direbus. Ditambah dengan teh dan bajigur yang semakin menghangatkan suasana antar peserta workshop saat itu.
Pentas Budaya di Kampung Sindangbarang
Di sudut lapangan sudah terlihat rombongan pementas yang berkumpul, segera kami semua menata diri di pinggir lapangan untuk bisa menyaksikan pawai sebagai pembuka pentas budaya yang akan segera dimulai. Total ada 7 pertunjukan di Kampung Budaya Sindangbarang pagi itu.
1. Angkluk Gubrag
Angklung Gubrag selalu dijadikan sebagai ritual ketika hendak menanam padi hingga menyimpan padi, dan hanya dibawakan oleh ibu-ibu. Suaranya sangat khas, terasa serasi dengan atmosfer di Sindangbarang
Ada 5 orang ibu-ibu yang terlihat masih sangat enerjik ketika membawakan Angklung Gubrag saat itu. Semangat mereka membuat para peserta tidak segan-segan meminta untuk berfoto seusai pentas.
2. Rampak Gendang
Ada 3 penari perempuan yang membawa sepasang tongkat pemukul dengan satu set gendang. Gerakan mereka terlihat sangat cepat dan bertenaga, terutama ketika bersahut-sahutan sembari memukul gendang.
3. Kaulinan Barudak
Permainan anak-anak seperti foto di atas kalau di tempat saya disebut ular-ularan. Permainan yang sudah jarang sekali saya jumpai di tempat saya. Melihat mereka bermain, mengingatkan saya pada masa kecil saat sering bermain ular-ularan seperti itu.
Cuaca cukup terik saat itu, namun para anak-anak tetap menari walaupun ada beberapa wajah yang terlihat sudah kelelahan. Seusai pertunjukan menari, sebagian dari anak-anak ini berlari menuju ke tempat teduh guna mengambil air minum. Capek ya nak 🙂
4. Tari Mojang Priangan
Ada yang menyebut Tari Jaipong, ada yang menyebut Tari Mojang Jaipong. Namun saat berada di sini, saya mendengar bahwa tari ini bernama Tari Mojang Priangan. Ada 3 penari saat itu yang menari luwes di atas rerumputan.
Gerakan-gerakan para penari yang sangat cepat itu cukup membuat sebagian besar foto saya kabur, hingga ada satu momen dimana penari tersebut bergerak cukup pelan sehingga bisa saya ambil gambarnya dengan cukup baik.
5. Pencak Silat Cimande
Pertunjukan Pencak Silat Cimande ini berdurasi cukup singkat bila dibandingkan dengan pertunjukan yang lain. Ketika saya sedang mencoba mencari sudut pemotretan yang bervariasi, ternyata pertunjukkannya sudah selesai.
6. Tari Merak
Tari Merak terinspirasi dari burung merak, bukan hanya warna bulunya, namun gerak-gerik burung merak yang bisa dijumpai dalam Tari Merak. Maka jangan heran ketika leher penari Tari Merak juga terlihat gemulai ketika sedang menari.
7. Parebut Seeng
Pertunjukan Parebut Seeng mempertontonkan dua orang pemuda yang memperebutkan seeng atau dandang. Parebut Seeng merupakan salah satu kegiatan dalam acara adat pernikahan. Pertunjukan berhenti ketika seeng berhasil disentuh atau direbut oleh lawan.
Berjumpa Abah Ukat
Pertunjukan akhirnya usai, semua terasa berjalan dengan cepat. Seperti biasanya, akan ada selalu momen untuk berbaur guna mendapatkan gambar dan kisah yang lebih dekat. Kali ini saya mendengarkan cerita dari Abah Ukat, ketua adat di Kampung Budaya Sindangbarang.
Sejarah Angklung Gubrag menurut Abah Ukat
Dulu pernah gagal panen berkali-kali, lalu para kokolot (sesepuh) bermusyawarah agar masyarakat tidak kelaparan karena gagal panen. Lalu para kokolot sepakat untuk mengadakan ritual, ada salah satu kokolot melihat Ada bayangan Angklung Buhun jatuh (gubrag) dari atas.
Lalu dirundingkan kalau saat itu Angklung Buhun hanya dipakai dalam ritual menyimpan hasil panen padi ke lumbung padi. Lalu kemudian Angklung Buhun digunakan mulai dari tanam padi, dan ternyata hasil panennya sukses.
Atasnya memakai daun pandan, selain sebagai hiasan juga agar ada wangi yang alami. Pementas Angklung Gubrag dilakukan oleh para Ibu-ibu, karena pada Seren Taun, Bapak-bapak bertugas memikul padi menggunakan Rengkong.
Angklung Gubrag juga tetap tidak memakai tangga nada, dengan tujuan agar semua alami tanpa ada sentuhan modern. Umur Angklung Gubrag mungkin sudah sekitar 500 tahun.
Pencak Silat Cimande dan Parebut Seeng
Abah Ukat menceritakan bahwa setiap pemain pencak silat wajib mengucapkan bismillahi rahmani rahim pada segelas air. Lalu air tersebut diminum dan untuk cuci mata, tujuannya agar pandangannya terang dan tidak kabur. Saya rasa yang dimaksudkan oleh Abah Ukat tentang “terang dan tidak kabur” lebih dari sekedar sepasang mata sebagai indera pengelihatan.
Setelah runtuhnya Pajajaran, atau sekitar abad 17, gerakan pencak silat dirubah menjadi hanya serangan dari samping saja, tidak dari depan. Selain itu dalam latihannya yang berupa olah nafas juga termasuk melatih tenaga dalam karena latihannya di air atau sungai. Dalam Parebut Seeng, pemain tidak boleh memukul, hanya boleh merebut .
Homestay di Sindangbarang
Saya sejenak melipir untuk berkeliling, rupanya ada homestay yang bisa digunakan untuk menginap di Sindangbarang. Jadi membayangkan betapa tenang dan menenangkannya ketika menginap dengan suasana asri seperti di Kampung Sindangbarang. Sangat cocok untuk tetirah
Tiba saatnya untuk santap siang, benar-benar hidangan di Kampung Budaya Sindangbarang selalu membuat kejutan bagi saya. Kali ini saya bisa menikmati nikmatnya sebuah masakan sederhana namun benar-benar nikmat, ditambah suasana pedesaan dengan angin sejuk yang sesekali berhembus.
Menu makanan boleh engkau pilih, namun nikmat hanya Tuhan yang kasih.
Seusai makan siang, segera kami berpindah ruang menuju ke Rumah Sutera. Sebuah tempat budidaya ulat sutera yang diolah menjadi kain sutra. Lokasinya tidaklah terlalu jauh dari Kampung Budaya Sindangbarang. Jaraknya bisa dilihat pada peta yang saya sematkan di bawah ini.
Untuk artikel mengenai Rumah Sutera, bisa diikuti melalui tautan Jejak Ulat Sutera di Rumah Sutera.
Salam.