Pasar Lodra Jaya berlokasi di tepian jalan kecil di Desa Winong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Saya mengunjungi Pasar Lodra Jaya pada tanggal 30 Desember 2018, minggu ke-9 beroperasinya pasar kekinian tersebut. Pasar tersebut buka hanya di hari minggu, pada pukul 07.00 hingga 12.00 WIB.
Mengapa saya menyebutnya pasar kekinian? Tidak seperti Kemenpar dan lingkarannya yang menyebutnya dengan istilah destinasi digital atau pasar digital. Karena saya paham, bahwa sesuatu yang digital itu terdiri dari kode biner dan maya, jika ada fisiknya maka disebut sebagai analog. Saya sebut pasar kekinian karena menyasar golongan millenial, atau pasca millenial yang ingin tetap hadir di dunia maya. (padahal kita sudah hidup di dunia fana).
Pasar Lodra Jaya dimunculkan setelah pasar-pasar kekinian bentukan Kemenpar dan lingkarannya beroperasi. Tentunya setelah Pasar Karetan di Boja, Kabupaten Kendal menjadi salah satu success story yang sering muncul di acara-acara Kemenpar. Pasar Karetan bisa dikatakan menjadi role model dari semua pasar kekinian di Indonesia di bawah naungan Kemenpar.
Jauh sebelum Pasar Karetan dibuka pada akhir tahun 2017, ada yang namanya Pasar Papringan di Kabupaten Temanggung yang dulu hanya buka setiap 40 hari sekali (sekarang 2 minggu sekali), menggunakan penanggalan jawa. Di sini saya melihat adanya duplikasi formula yang digunakan dalam mengkonsep pasar tersebut.
Mungkin formula pasar seperti ini belum dipatenkan, sehingga bisa digunakan dimanapun dengan menggunakan formula yang hampir sama untuk membuat sebuah pasar yang bagi saya terasa duplikasi. Saya jadi teringat kampung pelangi yang ada dimana-mana, belum lagi wisata yang hanya mengandalkan selfie spot dengan beragam kreasi artificial-nya, apa kabar mereka ya sekarang? Lama tak mencari tahu.
bagi saya, diferensiasi adalah faktor terkuat saya untuk meluangkan waktu guna mengunjungi suatu tempat atau event.
Saya berkunjung ke Pasar Lodra Jaya tentu saja bukan karena kehendak hati nurani saya sendiri, namun karena diajak oleh Istri saya. Tahulah sendiri, jika Istri sudah minta, maka saya harus keluar dari lampu ajaib untuk segera mencoba memenuhi keinginan tersebut.
Saya berangkat sekitar pukul 07.00 pagi dari rumah orangtua saya di Desa Binorong, cukuplah dekat karena memang berbatasan langsung dengan Desa Winong. Menyusuri persawahan yang selalu membuat anak saya kegirangan untuk menatapnya sepanjang jalan. Mungkin hanya memerlukan waktu tidak sampai 15 menit dengan berkendara santai menyusuri jalan aspal yang sejajar dengan saluran irigasi.
Begitu sampai di lokasi, sudah nampak barisan kendaraan roda 4 yang terparkir di tepian jalan desa tersebut. Lalu saya maju untuk mencari lokasi parkir kendaraan roda 2. Bisa dikatakan bahwa parkirannya cukup semrawut di depan pintu masuk. Harus bergantian jalan dengan pejalan kaki yang hendak masuk dan berfoto di depan gapura pintu masuk.
Biaya parkir untuk roda 2 di Pasar Lodra Jaya adalah Rp.2.000, untuk roda 4 sebesar Rp.5.000. Menurut saya, biaya parkir sepeda motor tergolong mahal, 100% lebih mahal daripada parkir di pasar Banjarnegara. Terlebih kita hanya diberikan karcis parkir tanpa tulisan nomor kendaraan yang saat kita pergi tidak ada pemeriksaan lagi. Lahan parkir juga berupa tanah, tidak terbayang saat hujan akan seperti apa. Bisa selip, bisa juga motor nyungsep karena penyangga motor tidak beralaskan material yang cukup padat untuk menopang beban kendaraan. Mungkin 9 minggu masih belum cukup untuk segera melakukan pembenahan di bagian parkir.
Saat saya masuk melalui gapura pintu masuk, segera terlihat beberapa warung kecil dengan konsep tradisional di tepian tanah lapang yang masih berupa tanah terbuka. Tepat setelah pintu masuk, ada tempat penukaran uang. Sama seperti konsep pasar-pasar serupa yang mengkonversi rupiah menjadi sebuah benda untuk transaksi, di Pasar Lodra Jaya juga serupa demikian. Menukar uang rupiah menjadi Ketip, bisa dilihat penampakannya di bawah ini.
Satu Ketip bernilai Rp.2.500, jadi ketika kita menukar Rp.10.000 maka akan memperoleh 4 Ketip. Untuk harga menu, saya mengambil gambar beberapa daftar menu untuk dijadikan sebagai tolak ukur akan mendapatkan apa saja dengan 4 Ketip.
Oh iya, walaupun ada tanda dilarang merokok, tetap saja ada beberapa pengunjung yang merokok. Ini yang membuat saya selalu membawa anak saya menjauh dan menjaga jarak dengan oknum perokok tersebut. Mbok yao nek udud nang umahe dewek baen lah, aja nang pasar sing akeh bocahe cilike.
Saat saya berkeliling Pasar Lodra Jaya bersama Budhe saya, tetiba Budhe saya bilang kalau yang jualan di Pasar Lodra Jaya sebagian adalah saudara semua, saudara dari pemilik lahan yang digunakan untuk lokasi Pasar Lodra Jaya tersebut. Maklumlah, Budhe saya itu hampir hafal orang satu Desa Binorong, andaikan nyalon jadi Lurah, kampanye Budhe saya pasti akan berjalan secara organik.
Istri saya membeli Jasuke alias jagung susu keju di sebuah warung dengan harga 2 ketip. Saat sudah memesan, datang pengunjung lain yang juga memesan, lalu tetiba pemilik warung mendahulukan untuk melayani pengunjung tersebut. Lalu Istri saya berkata โsaya dulu Buโ, penjualnya entah pura-pura tidak mendengar atau memang tidak mendengar.
Hhmmmmtttt……
Jasuke tersebut dibungkus dengan pisang yang dibentuk kerucut yang direkatkan dengan tusukan lidi. Ternyata ujung bawah kerucut tersebut berlubang, sehingga tetesan susu dari Jasuke tersebut menetes. Saya bingung, kenapa bagian bawahnya tidak dibuat seperti pincuk seperti saat menyajikan pecel atau bubur sumsum di pasar.
Hhmmmmtttt……
Saat mencoba mencicipi Jasuke tersebut, jagungnya terasa belum direbus dengan baik, tidak terasa lembut saat dikunyah. Bahkan lebih lembut jagung rebusan ibu saya di rumah, lebih manis. Mungkin merebusnya kurang tanak, atau penjualnya lupa mencicipinya sebelum di jual, atau memang standarnya seperti itu. Porsinya juga sedikit, hahaha
Hhmmmmtttt……
Sembari menikmati Jasuke yang bocor tersebut, ada sebuah jalan kecil ke arah barat yang bertuliskan Kali Rau. Saya penasaran, lalu mengajak Istri saya ke sana yang sedang mencoba mengunyah Jasuke tersebut. Menuruni anak tangga dari tanah membuat Rengganis ingin turun dari gendongan, akhirnya saya tuntun untuk bisa sampai ke bawah.
Nampak sebuah loket dari kayu yang bertuliskan label harga untuk tiap aktivitas di Kali Rau. Ada 3 aktivitas di Kali Rau yang tertera pada papan tersebut, yaitu Flying Fox (Rp.15.000 untuk 2 kali), Berenang (Rp.5.000), dan Panahan (Rp.5.000). Cukup murah sebenarnya, namun saya tidak berniat saya sekali untuk beraktifitas di Kali Rau, hanya ingin melihat ada apa saja di lokasi tersebut.
Beruntung, penjaga tiket tersebut adalah Mas Pono, satu RT dengan saya, kemarin baru selesai memasang plafon di rumah orang tua saya. Lalu kami diijinkan untuk masuk ke lokasi karena memang saya sudah bilang hanya ingin melihat-lihat saja. Sebenarnya kalau mau ciblon juga bisa, hahaha
Di Kali Rau, wahana Flying Fox-nya antar pohon kelapa yang jaraknya tidaklah terlalu jauh dan juga tidak terlalu curam, pas lah. Untuk lokasi kolam renangnya, saat melihatnya saya jadi teringat warna air yang digunakan di Primitive Technology (cari saja di yutub), air tanpa penjernih yang terlihat segar dan tak berbau. Kedalamanya mungkin sekitar 60 cm saat saya melihat beberapa anak SD berenang.
Untuk area Panahan ada di sebelah timur warung yang luasnya hampir sama dengan kolam renang. Terlihat ada 2 target dari tempat saya berdiri di tepian kolam renang. Karena Rengganis merengek minta bermain air padahal masih pilek, lalu saya dan Istri saya bergegas naik kembali sebelum rengekan Rengganis menjadi semakin keras.
Kamipun kembali ke area Pasar Lodra Jaya, menaiki kembali tangga tanah dimana Rengganis ingin berjalan sendiri. Saat sampai ke area pasar, rupanya panggung utama sudah mulai ada suara, ada 2 orang pembawa acara yang mencoba menyapa pengunjung. Ada pengunjung yang datang dari Wonosobo, kabupaten sebelah. Entah dari Wonosobo bagian kota atau Wonosobo seberang Sungai Serayu sana. Hehehe…
Dan seperti pasar-pasar bentukan Kemenpar yang lainnya, akan ada tamu di tiap minggunya untuk mengisi panggung tersebut. Saat saya berkunjung, tamu yang dihadirkan adalah penggiat kopi asli Banjarnegara. Rupanya ada Danu, teman adik saya dan juga mantan sepupu saya. Danu saat itu memberikan tutorial menyeduh kopi dengan dripper merk v60.
Danu bercerita sembari memegang mic, ada beberapa jenis kopi dari Banjarnegara yang telah memperoleh penghargaan kopi tingkat nasional di beberapa event kopi. Katanya kopi Banjarnegara memiliki rasa yang khas, untuk rasanya sendiri saya belum sempat mencicipinya. Sebenarnya di kulkas ada satu bungkus, namun saya jadi teringat almarhumah kakak saya kalau melihat kopi itu.
Saya sempat membeli onde-onde sembari menonton Danu di atas panggung, untuk sepasang onde-onde dikenai harga satu Ketip. Rasanya onde-ondenya menurut saya biasa saja, malah kulitnya bagi saya terasa alot, tidak seperti onde-onde yang biasa saya beli di Pasar Pagi Banjarnegara.
Di depan panggung hanya ada 6 kursi bambu dengan masing-masing kursi hanya bisa dipakai oleh 3 orang yang saling mengenal. Karena akan tak terasa nyaman saat duduk cukup berdekatan dengan orang tidak dikenal. Rasio kursi tidak seimbang dengan jumlah pengunjung yang datang, sebagian besar pengunjung makan sambil berdiri. Berasa datang ke kondangan saja, tetap saja posisi makan yang baik adalah dengan duduk.
Istri saya saat itu membeli Es Woh-wohan (Es buah), nama makanan di Pasar Lodra Jaya diwajibkan menggunakan Bahasa Jawa agar membawa kesan berbeda. Disajikan dengan mangkuk dari tempurung kelapa yang menyamarkan porsi sesungguhnya. Semua penyajian makanan di Pasar Lodra Jaya menggunakan peralatan tradisional, seperti daun, gelas bambu, mangkuk tempurung kelapa, tusuk lidi, dan sejenisnya.
Sejauh mata memandang, sering terlihat pengunjung menggunakan gawainya untuk mendokumentasikan apa yang ada di depannya. Jika posisi tangannya diam, maka sedang mengambil foto. Jika posisinya portrait dan badannya ikut berputar, maka sedang mengambil video. Jika ditambah aktivitas bicara, berarti sedang live.
Ada remaja juga yang memegang makanan dengan tangan kanan, lalu memotret dengan tangan kiri. Tapi ingatlah, jodoh ada di tangan Tuhan.
Sama seperti pasar kekinian lainnya, harga makanan dan barang yang dijual lebih mahal 20% dari harga aslinya. 20% tersebut untuk biaya operasional dan pemasukan pasar yang sudah memasang logo Pesona Indonesia dan Genpi Jateng tersebut. Sudah jelas pasar ini tidaklah menyasar pelanggan dari warga desa sekitar, sebagai kabupaten dengan UMK terendah se-Jawa Tengah, harga-harga di Pasar Lodra Jaya cukuplah untuk satu kunjungan saja sebagai bahan pengisi celah di media sosial.
Di Banjarnegara masih sangatlah mudah mencari jajanan pasar atau mainan yang dijual di Pasar Lodra, dengan harga, rasa, dan porsi yang lebih cocok menurut saya. Namun, apa yang membuat banyaknya pengunjung datang ke Pasar Lodra Jaya ini? Bahkan ada beberapa mobil bak terbuka dan truk yang berisi puluhan orang datang ke Pasar Lodra Jaya ini.
Transformasi, yap, transformasi. Orang pada masa sekarang merasa bangga atau memiliki “rasa” yang lebih karena telah datang ke tempat yang sedang nge-hits. Bukan pamer ya, tapi bisa menujukkan ke orang lain kalau sudah pernah datang ke sebuah tempat akan menjadikan kita merasa mampu memunculkan kepuasan. Jadi paham kan mengapa orang rela membeli barang mahal bukan karena fitur dan fungsinya, namun karena mengejar transformasi diri. (konsep marketing)
Transformasi akan didukung oleh rasa penasaran, jadi janganlah heran kalau pengunjung datang karena hanya digerakan oleh arus berbagi hashtag di media soaial. Sangatlah menghemat sumber daya untuk mempromosikan sesuatu saat ini, selain dari tim relawan, pengunjung juga akan dengan rela mempromosikannya tanpa dibayar.
Itulah mengapa di Instragram, anda tidak akan menemukan sobat miskin anda di feed.
Tidak terbayangkan bagaimana kondisi Pasar Lodra Jaya bilamana hujan, selain masih berupa tanah baru tanpa ada rumput di atasnya, juga tidak ada tempat yang mencukupi guna pengujung berteduh saat hujan ataupun panas. Semoga lekas dibuat tempat berteduh untuk menjaga agar pasar bisa tetap berjalan normal tiap minggu saat musim hujan.
Mungkin bukan hanya saya saja, namun ketika berada di Pasar Lodra Jaya saya merasa gerah. Entah mengapa tidak ada angin terasa berhembus. Apakah karena pengunjungnya terlalu banyak, atau karena ada sebuah tembok tanah yang berfungsi sebagai lantai 2 Pasar Lodra. Sirkulasi angin sepertinya hal yang harus diperhatikkan juga.
Mungkin Pasar Lodra Jaya menyasar pelanggan dari kalangan menengah ke atas yang kesehariannya kurang dekat dengan keseharian desa. Namun jika menyasar warga desa pada kelas menengah ke bawah, saya rasa mereka hanya berkunjung satu kali saja. Jadi teringat sepupu saya membeli satu ikan mujair bakar ukuran standar konsumsi seharga 8 ketip, ini adalah hal yang membuat saya kegirangan jika berjumpa dengannya. ๐
Semoga Pasar Lodra Jaya segera berbenah, ada banyak hal yang harus segera diperbaiki dan diperbaharui secepat mungkin. Karena penjual yang baik dan bisa bertahan lama adalah penjual yang mengerti apa keinginan konsumen. Dan tentu saja semoga segera bisa menciptakan konsep pasar yang original, jauh dari kesan duplikasi.
Karena kreatif adalah salah satu cara mensyukuri akal
Yang saya khawatirkan adalah jika Pasar Lodra Jaya ini tidak mampu berumur panjang. Sayang apabila seluruh sumber daya yang telah dikeluarkan untuk memperjuangkan berdirinya Pasar Lodra Jaya tidak sustainable. Semoga pihak penyelenggara dan pedagang semakin bisa meningkatkan kualitasnya, bukan sekedar menjual โwisataโ.
Ketika bermunculan pasar kekinian yang menjadikan tradisional sebagai komoditi utama, lalu pasar yang memang sudah tradisional apakah tidak ingin berkemas menjadi lebih kekinian juga? Sebentar, membuat pasar baru bila dibandingkan dengan mengkonsep ulang pasar lama agar tampil lebih baru, itu lebih sulit mana ya?
Sebenarnya urusan bikin pasar itu masuk programnya Kemendagri atau Kemenpar sih? Ini saya serius nanya lho karena tidak tahu.
Jika Anda ingin berkunjung ke Pasar Lodra Jaya, silahkan mengikuti peta yang saya sematkan di bawah ini, pastikan mematuhi peraturan lalu lintas dan berkendara dengan aman ya ๐
Salam jajan pasar
6 comments
Tradisional yang kekinian ๐
Semoga, sih, kearifan lokal tetap ada. Dipertahankan ciri khasnya, di tengah modernitas yang tidak bisa kita elak.
nha itu, jadinya gak masuk bilangan biner kalau tradisional yang kekinian ๐
Ya, semoga, asal investor jangan masuk terlalu kencang….gak bisa setel kendor ntar, hehehe
Ughhh…jadi makin semangat buat kelola pasar lodra jaya. makasiih udah mampir ke pasar mas, walau tidak dari hati. Hahahaha
Wejian, bloggerE Banjarnegara mampir nang blogku euy, hahaha
Ayo Mbak, buruan, mumpung traffic lagi tinggi untuk wisata macam ini. Pengunjung ketagihan datang, pengelola makin punya ruang untuk berkreasi.
hiya hiya hiya, ngerti dewek lah mek bojo wes njaluk, ahahaha
Wih dek rengganis sudah main ke pasar lodrajaya ahahahhaha. Ketemu sama teman-teman blogger gak mas? jewer kabeh wae yen ketemu
mung ketemu mbe blogger kondang Banjarnegara Mas, siapa lagi kalau bukan Idah Ceris, ๐