Danau Laut Tawar masih menyimpan banyak rasa penasaran bagi diri saya sendiri.

Penutup kepala warna hijau mulai berguna ketika terik surya mulai memanas saat Saya dan Bang Wahyudi menuju Blangkejeren dari Takengon via Bintang.

Sekedar informasi saja, Blangkejeren adalah nama ibukota dari Kabupaten Gayo Lues, sedangkan Takengon adalah nama ibukota dari Kabupaten Aceh Tengah, lalu Bintang adalah nama salah satu Kecamatan di Aceh Tengah yang kami lalui saat melakukan perjalanan ini.

Sebuah sudut di salah satu ujung danau

Ini kali kedua saya datang ke Takengon, pertama kali adalah pada tahun 2012. Saat itu kunjungan saya hanya sekedar jalan-jalan saja bersama teman seperjuangan. Hasil jalan-jalan tersebut menghasilkan artikel tentang damainya Kota Takengon dan Ephotobook perjalanan Kota Takengon yang saya kemas dalam bentuk PDF.

Untuk kali ini, bulan Agustus 2017 saya datang ke Takengon untuk pekerjaan survey selama 5 hari. Hasilnya adalah artikel Traveling ke Takengon dengan Informasi Geospasial, dan tentu saja laporan selama survey yang tidak bisa saya unggah semuanya, hanya sebagian saja yang bersifat data umum. Untuk artikel kali ini saya hanya akan bercerita mengenai pengalaman Saya dan Bang Wahyudi mengendarai kereta dari Takengon menuju Blangkejeren.

Kereta? iya, kereta. Dalam penyebutan istilah daerah di daerah Aceh dan sekitarnya, kereta adalah sepeda motor. Beroda dua, berspion ganda, memiliki tangki bahan bakar yang bisa ditutup, serta bisa kita naiki walaupun sedang hujan. Sepertinya ulasan saya mengenai kereta sudah cukup jelas.

Perjalanan ini kami mulai dari Angkup, kediaman Bang Wahyudi yang berjarak sekitar 25 menit dari Kota Takengon. Bang Wahyudi adalah seorang Polisi Hutan yang bertugas di Kabupaten Gayo Lues, awal perkenalan kami adalah saat saya diajak oleh Sulistiyani untuk berkunjung ke Bungalow Kedah di Titik 0 Pendakian Gunnung Leuser. Perkenalan tersebut berlanjut hingga kegiatan Pendakian Gunung Kemiri di Taman Nasional Gunung Leuser yang kami lakukan pada tengah tahun 2012 silam. Memang sudah jodoh untuk berjumpa kembali, maka sejauh apapun jarak dari Semarang ke Takengon, tetap akan berjumpa kembali.

Menepi dan makin menepi, menambah jarak dengan tubuh air tawar tersebut


silahkan diputar-putar untuk melihat kondisi sekitar pada salah satu foto panorama 360 yang pernah saya ambil di lokasi tersebut.

Saya agak was-was karena pada perjalanan kali ini hanya ada satu buah helm saja yang bisa dipakai. Maka dengan terpaksa saya harus membonceng tanpa mengenakan helm namun tetap membawa Tas Carrier Deuter Futura 42 yang sudah sarat muatan. Bismillah saja, semoga di perjalanan nanti aman tanpa ada musibah atau razia polisi. Silahkan disimak jarak dari Kecamatan Angkup menuju ke Blangkejeren pada peta yang saya sematkan berikut ini :

Biasanya Bang Wahyudi menempuh jarak tersebut dalam waktu 3-5 jam, tergantung kondisi medan. Saya berpesan kepada Bang Wahyudi untuk pelan-pelan saja, sehingga saya bisa sewaktu-waktu berhenti untuk mengambil beberapa foto di perjalanan nanti. Jalur Bintang ini merupakan jalur yang belum pernah saya lalui, pada tahun 2012 saya melintasi jalur Isak yang memiliki perbedaan waktu tempuh hingga 90 menit.

Topografi pegunungan yang menghijaukan hijau
Dimana-mana selalu tiang listrik hampir menjadi elemen tak diingikan dalam sebuah dokumentasi.
Hamparan padi seluas ini menunjukkan memang area yang subur karena sedimentasi dari pegunungan di sekitarnya

Setiap kali saya melihat panorama Danau Laut Tawar yang terbuka dan cerah, saya selalu meminta Bang Wahyudi untuk menepikan kendaraannya. Bahkan pada beberapa titik lain yang saya temui, seperti area persawahan dengan petani yang sedang memanen, nelayan yang sedang memancing, atau sekedar memotret beberapa pohon.

Mereka apakah hanya buruh tani atau pemilik lahan untuk bertani?

Seiring saya bergerak ke arah tenggara, seiring itu pula Danau Laut Tawar terlihat menjauh, mengecil, lalu hilang tertutupi topografi perbukitan di jalur yang saya lalui. Saya disuguhkan dengan pemandangan-pemandangan yang lain, sesekali saya sumringah, sesekali saya juga merasa miris.

Danau Laut Tawar semakin menjauh dan semakin mengecil.
Sebuah titik dimana kami berhenti sejenakan memandang arah tujuan kami.

Ada beberapa petak tanah yang saya jumpai saat itu terlihat terluka, penutup lahannya dibakar, batang-batang pohon teronggok menjadi saksi bisu, hitam arang sisa pembakaran terlihat jelas di atas permukaan tanah yang keriput. Petak tersebut memiliki garis lurus yang tegas dengan penutup lahan di sebelahnya yang nampak hijau dengan tanaman lantai yang rapat dan segar.

Jalanan sepi sunyi, hanya benar-benar sesekali berpapasan dengan kendaraan.

Sesekali saya juga masuk ke dalam area hutan pinus yang sepertinya memang sengaja di tanam jika melihat dari jarak masing-masing pohon, namun ada juga area hutan pinus yang sepertinya memang tumbuh alami. Pada beberapa lokasi, terlihat ada mangkuk kecil yang berada di ujung garis mengular pada batang pohon pinus. Itulah salah satu cara membunuh pohon pinus secara perlahan, jika ingin cepat ada lagi caranya, namun tidak akan saya tulis di sini.

Baca Juga :  Sabang, Titik awal dimana keindahan Indonesia dimulai (part 2 of 2)

Saya sempat kaget ketika berpapasan dengan Bang Kayu Kul, beliau adalah orang yang sangat membantu kegiatan survey yang saya lakukan selama berada di Aceh Tengah beberapa hari yang lalu. Beliau mengendarai kereta Suzuki Satria 125 yang telah dimodifikasi hingga menyerupai motor trail. Helm dengan kacamata goggles tersebut sangat khas ketika dikenakannya melintasi liukan jalan aspal di jalur tersebut.

Dari kiri, Bang Wahyudi, Bang Kayu Kul, dan Saya

Saya segera melambaikan tangan sembari berteriak memanggil nama beliau, tanpa dikomando kami bertiga segera mencari tempat teduh untuk sekedar beristirahat sejenak dari perjalanan tersebut. Rupanya Bang Kayu Kul baru saja pulang dari Gayo Lues guna menonton acara besar yaitu Saman Penjaga Leuser, yang konon katanya diikuti oleh lebih dari 10.001 Penari Saman.

Ternyata, Bang Wahyudi sering berjumpa dengan Bang Kayu Kul, hanya saja cuman bertegur sapa seadanya ketika berpapasan di sebuah Basecamp. Melalui pertemuan tersebut, mereka berdua akhirnya bertukar nomor ponsel, entah kolaborasi apa yang akan mereka lakukan kelak. Mungkin sekitar 30 menit kami berbincang hingga akhirnya kami bertiga berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.

Masih terus melaju, di antara pepohonan pinus yang merajuk

Dalam perjalanan ini saya juga sesekali menengok ke mobil dengan plat dari Banda Aceh. Berharap bisa berjumpa dengan blogger hits asal Banda Aceh, siapa lagi kalau bukan Yudi Randa dari www.HikayatBanda.com. Beberapa malam sebelumnya saya telah melakukan kontak via wasap untuk janjian berjumpa di Takengon, namun sepertinya belum bisa, sehingga bisa disimpulkan bahwa kami akan berpapasan di tengah perjalanan yang sering lost signal tersebut.

Di sepanjang perjalanan Bang Wahyudi banyak cerita mengenai kondisi Taman Nasional Gunung Leuser, rupanya 5 tahun tidak berjumpa itu tidak bisa tergantinkan dengan menginap semalam di rumahnya. Cerita masih berlanjut di perjalanan melibas minyak hitam dengan kereta tak bergigi. Obrolan tersebut mengantarkan kami ke Ise-ise, perbatasan antara Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tengah.

Tempat legendaris, perbatasan Kabupaten Aceh Tengah dengan Kabupaten Gayo Lues. Ada banyak yang sengaja berhenti di lokasi ini untuk beristirahat dan makan.
Karena ada banjir bandang beberapa tahun lalu, gapura perbatasan sudah tidak berdiri lagi.

Banyak sekali kendaraan yang berhenti di Ise-ise, sebagian besar adalah untuk makan dan beristirahat, sudah jam makan siang juga. Saya tetap kembali celingak-celinguk siapa tahu ada Bang Yudi Randa di sini. Cuaca cerah saat kami selesai menyantap makan siang dan menikmati secangkir kopi hitam dalam gelas kecil tersebut. Saya kembali mengangkat tas carrier merah ini, dan tetap masih menjadi perhatian sebagian pengunjung warung makan tersebut.

Baca Juga :  Berlayar menuju Pulau Weh bersama KMP BRR

Baru berjalan sekitar 500 meter, awan gelap mulai terlihat di atas kami. Rintik gerimis membuat Bang Wahyudi memacu kendaraan lebih cepat agar sampai di tempat berteduh. Jangan bayangkan seperti di kota-kota dengan beragam jenis emperan untuk berteduh ya. Perlu sekitar 2 kilometer seingat saya untuk menemukan sebuah gubug kecil di luar pembatas jalan yang cukup layak untuk bernaung kami berdua. Bang Wahyudi mengumpulkan beberapa rumput kering dan kayu untuk membuat api agar suhu udara di sekitar tidak terlalu terasa dingin.

Saya merindukan membuat api seperti ini, serius, ada aroma tanah basah yang diselingi oleh asap dari ranting kering yang kami bakar saat itu. Saya suka.

Kami menanti dalam bimbang, hujan yang membesar dan mengecil tanpa pola tersebut membuat kami harus segera mengambil langkah. Apakah menunggu atau melibas aspal basah saja. Setelah beberapa saat, segera saya memasukan peralatan elektronik ke dalam tas carier yang sudah tertutup rain cover tersebut. Lalu, kami mulai melesat menerobos rintik hujan yang terasa seperti akupuntur di pipi, hidung, dan dahi.

Ada satu hal yang wajib diwaspadi ketika melintasi jalur dari Ise-ise menuju Blangkejeren saat hujan seperti ini, yaitu rawan longsor. Liuk jalan yang bukan hanya leter S, namun SSSSS membuat konsentrasi semakin memusat. Bang Wahyudi menceritakan seringnya menjumpai longsor ketika melakukan perjalanan dari Takengon menuju Blangkejeren. Bahkan Bang Wahyudi pernah harus memotong jalan yang longsor dengan melintasi hutan berbukit bersama istrinya saat malam hari, semua dilakukan agar kursi pelaminan tidak kosong esok harinya. Sungguh, saya salut.

Saya suka dengan aroma di tempat ini, coba saja tidak hujan dan tidak dingin, saya akan berhenti lebih lama di sini.

Saya sempat berfoto sejenak di sebuah tanjakan yang menyajikan hutan hujan tropis khas Leuser yang mengeluarkan kabut tipis yang dinamis. Saya suka suasana itu, tenang tanpa ada suara bising, hanya sesekali suara primata dari kejauhan yang terdengar, bersyukur tidak ada harimau yang melintas.

Nah, pada jalur Ise-ise menuju Panntan Cuaca (Kecamatan pertama yang dijumpai ketika memasuki Kabupaten Gayo Lues) terdapat kekosongan sinyal telepon seluler. Terlebih juga semua peralatan elektronik saya masukan ke dalam tas carrier agak tidak basah. Sebagian besar pakaian yang saya kenakan sudah basah, bahkan jaket yang dulunya pernah anti air ini harus meneruskan air hujan pada kaos oblong yang saya kenakan.

Pada jalur inilah saya yakin sekali berpapasan dengan Bang Yudi Randa, entah beliau ada di mobil mana saat berpapasan dengan kami. Hal tersebut saya pastikan setelah beberapa saat kemudian melakukan komentar pada status facebooknya. Dibantu oleh Bang Wahyudi, runtutan waktu dan lokasi menujukkan bahwa kami berpapasan pada jalur tersebut. Semesta belum merestui, saya belum bisa berjumpa dengan blogger kece yang ngaku blogger koyo.

Baca Juga :  Berkunjung ke Titik 0 Pendakian Lesuer

Akhirnya gerimis mulai reda saat kami mendekati area pemukiman di Kecamatan Pantan Cuaca, memerlukan waktu lebih dari satu jam dari perbatasan kabupaten untuk bisa mencapai pemukiman di Pantan Cuaca. Jadi silahkan dibayangkan saja sendiri seberapa panjang jalanan yang kami lalui dengan hanya melihat hutan dan hutan.

Dari perbukitan di sebelah utara Pantan Cuaca, pemandangan mulai terbuka dan cerah, saya masih bisa melihat sebuah pemukiman yang pernah saya tinggali selama 11 bulan pada 2012. Ada nostalgia yang membuncah, menyeruak dalam kalbu. Hingga kami akhirnya berhenti di sebuah warung kopi di dekat SMA Negeri 1 Pantan Cuaca. Kami memesan kopi, sembari beristirahat dan mengeringkan badan sejenak.

Dengan ketinggian sekitar 1200 mdpl, suhu udara di Pantan Cuaca membuat kami serba salah. Melepas jaket terasa dingin, serta tidak mungkin juga memakai jaket yang telah basah tersebut. Saya masih ingat rasa badan saya ketika menggigil di warung kopi tersebut. Hingga ada beberapa orang yang datang ke warung kopi tersebut, memandangi saya sejenak, sempat berfikir, hingga lemparkan senyum sehingga orang tersebut yakin bahwa itu adalah saya. Saya bersyukur, beberapa orang di sekitar tempat itu masih mengingat saya, walaupun telah meninggalkan tempat terssebut selama 5 tahun.

Topografi di Kecamatan Pantan Cuaca dilihat dari Pos Polisi Hutan. Ketinggian 1.200 mdpl, dengan suhu rata-rata harian yang selalu bisa membekukan minyak di dalam kemasan mi instan anda.

Tidak lama kemudian kopi yang ada di hadapan kami habis, lalu saya pamit kepada mereka-mereka yang telah menyapa saya di warung kopi. Perjalanan dari Kecamatan Pantan Cuaca menuju Blangkejeren (ibukota Gayo Lues) cukup syahdu sore itu, sisa-sisa gerimis masih membekas di jalanan aspal. Sesekali saya juga sempat berhenti, sejenak bersua dengan mereka yang masih ingat jelas akan sosok saya ketika berpapasan di jalan.

Sekitaran pukul 18.00 WIB kami baru sampai di Blangkejeren, langit masih belum menunjukan tanda-tanda akan gelap, hanya mendung sehabis hujan. Untuk informasi, matahari terbenam di Gayo Lues dan sekitarnya adalah sekitar pukul 19.00 WIB. Bahkan saya pernah berbuka puasa di Pantai Lambaro, Pulau Beras pada pukul 19.10 WIB.

Merah = Yogo, Kuning = Saya, Hijau = Heru. Paling kiri = Eko dan paling kanan = Deta, saya baru tahu nama mereka berdua, semoga tydac shalakh ahaha

Segera saya menghubungi Yogo, rekan asal Cilacap yang kini bertugas di Gayo Lues. Saya berniat untuk singgah di kontrakannya 2 malam sebelum bertolak kembali ke Semarang. Segera obrolan panjang lepas saat itu, ada beberapa rekan lain yang datang ke tempat Yogo, reuni kecil di sebuah ruangan yang sederhana. Tidak menyangka sama sekali bahwa bisa kembali datang ke Gayo Lues.

Terima kasih kepada Bang Wahyudi yang telah menjamu saya ketika bermalam di Angkup, Takengon. Semoga kelak kita bisa berjumpa dan menembus rimba raya lagi, sukses selalu.
Kepada Bang Kayu Kul, terima kasih atas bantuannya selama di Aceh Tengah.
Kepada Bang Yudi Randa, semoga akan ada kesempatan untuk bersua, ingin saya mengobrol sembari ngopi bersama denganmu blogger panutanque
Kepada Yogo, Heru, Utoro, Rohmat, Anfal, dan Dika serta rekan-rekan lain yang saya jumpai di Gayo Lues, sampai jumpa lagi dalam keadaan yang lebih sukses dari hari itu yak, salam hangat.

0 Shares:
16 comments
    1. sebenarnya sudah banyak, hanya saja memang jumlah penduduk yang tidak terlalu padat, jadi tidak bisa se-viral tempat-tempat dengan penduduk yang padat.

      iya, kopinya memang khas,,,

  1. Membaca paragraf awal saya pikir naik Kereta Api πŸ˜€

    Foto Danau air tawarnya sangat menakjubkan. Menunggu cerita mas Ghozaliq kalau nanti berkunjung lagi kesana.
    Hamparan alam Takengon-Blangkejeren lewat Bintang ini sangat menakjubkan *yang motonya jago banget*

  2. Panutan opo toooh mas? Hahahaha
    Iya padahal pas pasan dan pas saman juga saya ada di lokasi. Tapi ya itu tadi, jodoh Allah yang atur. Dan tiang listrik dk gayo selalu bikin saya kesel! Hahaha

    1. Panutan ngeblog lah bang….masa panutan masang tiang listrik ahahaa

      Iya, tahun ini kalau jadi ke Banda Aceh saya kabar-kabar deh..

      Gak cuman di gayo aja, ahaha belum pakai sistem tanam sih di negara kita ini…hihihi

Ambil hanya informasi, tinggalkan hanya komentar. Silahkan berbijak hati untuk mengisi kolom komentar. Salam

You May Also Like