Postingan ini merupakan sambungan dari cerita saat menikmati Bukit Sikunir pada liburan Lebaran tahun 2015. Kali ini saya mengambil sudut pandang dari seorang pengguna kendaraan motor dan sebagai wisatawan mainstream. Kenapa mainstream? Karena saya ke tempat wisata saat liburan, terlebih saat liburan Lebaran. Jujur saya kurang menyukai tempat wisata yang terlalu ramai, disamping kondisi yang berdesakan, ada pemadangan menyebalkan seperti melihat pengunjung lain yang membuang sampah sembarangan sampai merusak fasilitas. Saya lebih sering terjebak pada kondisi seperti itu, misalnya ketika liburan Lebaran 2015 karena Adik Sepupu pulang dari Malang, kemudian hendak mengunjungi Pakdhe di Dieng. Kondisi ini menjadi momentum bagi Adik saya untuk menagih janji yang pernah saya lontarkan untuk mengunjungi puncak Bukit Sikunir.
Akhrinya saya berangkat secara terpisah dari rombongan yang menggunakan mobil, sedangkan Saya dan Adik saya menggunakan motor untuk mempermudah akses di Dieng. Matahari sudah cukup perkasa saat saya sampai di kawasan Dieng, jalan aspal juga telah tersiksa oleh lindasan karet bundar yang berputar memelan merapat dengan lainnya.
Kesalahan utama saya adalah mengikuti jalur utama menuju Bukit Sikunir, sehingga kena tiket masuk yang aneh dan macetnya yang memang sudah diluar batas kenyamanan saya. SIngkat cerita saja setelah berhasil menapaki puncak Bukit Sikunir, saya hendak mengambil jalan pulang yang berbeda daripada saat berangkat. Kondisi jalan memutar ternyata cukup dimacetkan dengan para pengendera yang tidak mau tertib, mencoba melintasi marka jalan guna mendapatkan posisi terdekat dengan pintu keluar kemacetan. Hal tersebut malah justru menambah parah kemacetan yang memang jarang sekali terjadi di daerah tersebut.
Berhubung waktu tunggu akibat kemacetan akibat ke-ngawur-an dan ketidaktertiban, saya dengan putus asa memutar kembali melalui jalan yang sama saat berangkat dengan harapan arus keluar akan lebih berkurang daripada arus masuk kawasan wisata. Ternyata prediksi saya salah telak, apakah ini hukuman karena telah mengumpat karena kemacetan yang saya hadapi tadi?
Kondisi jalan normal yang biasanya bisa saya tempuh 10 menit kini telah menjadi 120 menit dengan sia-sia di bawah paparan matahari dan di tengah kerumunan orang yang kehilangan hasrat apa itu wisata sesungguhnya. Ketika semuanya mengikuti marka jalan serta parkir sesuai dengan aturan, tentu saja hal kemacetan seperti ini bisa diatasi dengan waktu yang lebih singkat. Sebagai hiburan, saya hanya mengobrol bersama Adik saya yang sesekali saya perintahkan untuk memotret kondisi sekitar yang hanya berisi pelacong.
Segaris pemikiran singkat melintas dalam batas cakrawala pikiran saya :
- Apakah semua tempat wisata pada saat liburan panjang harus berdesakan seperti ini?
- Apakah piknik itu menjadi sebuah ritual menyambut liburan?
- Seberapa besarkah manfaat yang mereka dapatkan dari piknik seperti ini? Hingga harus berdesakan dalam campuran gas karbon?
- Marka jalan itu sebernarnya untuk pembatas kendaaran dan pembatas ego di jalan raya.
Pemikiran β pemikiran seperti itu menemani kombinasii gas, rem dan kopling serta kaki yang sering membumi hingga akhirnya terbebas dari kemacetan. Sesampainya di tempat Pakdhe, sontak sudah ketinggalan acara makan siang. Beruntung saja stock makanan di tempat Pakdhe itu berasa unlimited, jadi lahap saja semua seperti makanan di rumah sendiri. Ahahha, ternyata makan bisa menghilangkan stress akibat terkena macet berkepanjangan π
Libur lebaran 2016 saya hanya berkunjung ke tempat Pakdhe saja, sama sekali tidak berminat untuk mengujungi kawasan wisata pada saat musim libur lebaran seperti ini. Berwisata bersama saudara dengan piknik sederhana di Gunung Tampo Mas dan merasakan Rafting di Sungai Serayu juga terasa lebih dari cukup untuk menikmati libur lebaran bersama saudara.
14 comments
Libur lebaran mending jalan – jalan keluar pulau sekalian yang belum terlalu ramai π kalau main ketempat yang udah ramai begitu deh π pasti cuma kena macet aja hehehe
Ahaha iya sih bener juga, jadinya sekarang lebih memilih liburan saat gak musim libur.
Jadi sekarang berusaha kembali mengisi ruang keluarga di rumah, daripada memadati jalan raya π
Haha kalau lebaran memang ramai. Apalagi berdekatan dengan acara festivalnya dieng. Wahh sudah pasti melihat para wisatawan bukan ngelihat pemandangannya ?
Wisatawannya saling lihat-lihatan jadinya ntar…. Trus jadi jodoh… Wkakkwkawa
Dieng ini tetap masuk list untuk dikunjungi, tapi entah kapaaan :(( tunggu anak agak gedean kali ya π hehehe pengin banget hadir tuh Dieng festival jazz, sama festival budaya yang anak rambut gimbal
Ayo buruan aja Bu, mumpung Dieng masih dingin, mungkin beberapa tahun ke depan Dieng sudah tidak sedingin sekarang ini. π
nha, malah saya kebalik, saya gak ingin mengujunginya saat ada acara atau festival, entah kenapa saya lebih suka dieng yang tenang damai dan syahdu.
Saya juga malas kalo pikinik mainstream begitu. Gimana mau menikmati piknik kalo rame macet?
salam
ya gimana lagi kak, sebagai kuli yang liburnya mainstream juga itu sering jadi dilema π
salam juga π
mending bersantai di rumah, nonton tv sambil makan-makanan enak alias kesukaan, aku juga ga pernah datang ke momen2 yang ramai begitu, termasuk saat DCF
Wkwka
Lha priben maning mas,
Jarang nang omah, dulur adoh pada ngumpul nang kono,, π jadi ya gelem ra gelem ya kudu gelem intine, hehehee
memang kalau liburan barengan pasti ya akhirnya mesti adu sabar di jalan. hehe.
saya sama orang serumah kalau liburan pilih bukan hari libur, mungkin karena kami bukan pegawai kantoran ya. π
Ahaha gimana lagi Mba, keluarga kuli ya gini, liburnya berasa kena makar…wkakwa
Makanya besok kalau mau wisata lagi nyari yang benar-benar gak kondang ah π
gileee padet banget, aku paling males kalo jalan2 pas libur lebaran…kayaknya semua tempat penuh aja gitu
Ya gimana lagi, sodara liburnya cuman pas libur mainstream π
Iya, sekarang rasanya tuh Indonesia sudah darurat piknik…