Sebuah perjalanan sederhana terkadang memunculkan hal yang luar biasa ketika kita sanggup berfikir lebih ke dalam dari masing-masing kejadian yang terjadi di depan kita. Hal ini terkadang sering saya alami ketika berpergian seorang diri, ย pergi ke tempat asing yang baru pertama kali saya kunjungi, atau melakukan kegiatan yang baru dalam aktivitas weekend.
25 januari 2015, 7:05 pagi kukeluarkan ponsel berkeypad saya untuk sekedar melirik waktu saat itu. Saya berjalan keluar dari tempat penitipan motor untuk menuju pintu masuk stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Hari ini saya berniat pergi ke Solo, namun tulisan dalam blog ini tidak akan membahas apa yang saya lakukan di Solo, namun apa yang saya rasakan ketika menggunakan kereta Prambanan Ekpres atau yang lebih dikenal dengan Prameks.
Suasana stasiun yang cukup ramai, namun loket pembelian tiket menyisakan ruang untuk saya bersapa dengan penjual tiket kereta lokal. Setelah saya verifikasi kepada petugas pintu peron untuk mendapatkan ijin masuk ke peron penumpang, kusimpan lembaran tiket tersebut di saku kecil di tas kecil yang selalu saya bawa didepan saya. Melangkah ke arah barat, rasa lapar membuat mata saya hanya terfokus kepada deretan penjual makanan yang ada di samping bangku tunggu penumpang. Mie instan cup membuat saya berdamai dengan lilitan imajiner di sekitaran lambung saya.
07:30 Wib, Kereta Prameks datang setelah tempat duduknya terpenuhi oleh penumpang di Stasiun Tugu. Menaiki kereta Prameks tersebut tanpa berharap tempat duduk, itulah yang saya lakukan agar langkah kaki saya lebih sopan ketika memasuki gerbong paling ujung belakang dan paling kecil itu.
Setelah kereta berjalan perlahan segera saya bergerak perlahan di antara penumpang tanpa tempat duduk lainnya menuju ke lorong antar gerbong yang selalu terbuka, tempat yang memang nyaman untuk bersandar kecuali ketika ada petugas tiket yang membuat saya rela memiringkan badang saya sejenak untuk melancarkan tugas beliau-beliau itu. Sebuah buku yang berjudul “Bukan Untuk Dibaca” (Jilid 2) dengan cover putih saya keluarkan dari tas kecil yang ada di pinggang saya, sebuah buku pinjaman dari Sulistiyani seminggu lalu yang sampai saat ini belum bisa saya selesaikan hingga lembar terakhir.
Di dalam kereta, mata anda akan lebih sering keliling mengamati sekitar anda karena memang biasanya anda kurang kerjaan atau anda memang ingin mengawasi kondisi di sekitar anda. Dalam gerbong itu hanya ada 2 orang yang membaca : satu saya, satunya lagi seorang ibu yang sering membolak-balik surat kabar untuk mempermudahnya membaca. Anda tentu sudah paham di masa sekarang banyak yang memainkan ponsel pintarnya atau gadget yang lain, tentu saja penumpang yang melihat ke luar jendela masih ada sampai sekarang.
Ada beberapa yang saya amati, salah satunya adalah seorang gadis yang duduk tepat di samping saya berdiri. Saya tidak bermaksud menguntit isi ponsel pintarnya karena memang ukuran teksnya sangat kecil untuk dapat saya baca dari jarak mata saya terhadap ponsel pintar tersebut, namun saya mampu melihat jelas ikon-ikon pada ponsel tersebut. Dia sering memasuk keluarkan ponselnya dari balik tas jinjing yang dipangkunya. Saya sering melihat ikon yang menempel di dektop ponselnya, ada 9 ikon selain 5 ikon utama yang ada di taksbar bagian bawahnya. 9 ikon tersebut saya kenali samua, karena memang sangat familiar bagi anak muda jaman sekarang : BBM (1), Facebook (2), Whatsapp (3), camera 360 (4), twitter (5), Pou (6), Go SMS (7), Instagram (8), satu lagi sepertinya kalau bukan line atau messengernya facebook (9), saya agak melupakan yang satu ini.
Ponsel pintar terlalu sia-sialah jika hanya anda gunakan untuk sekedar sering digunakan untuk aplikasi tersebut, mungkin beberapa diantara teman-teman saya yang menggunakannya sebagai tempat untuk mencari uang halal, namun melihat dari gerak-gerik jarinya ketika berpuluh-puluh kali memasukkan kode pengaman kunci untuk membuka ponselnya (mungkin jika saya perhatikan terus saya bisa hafal passwordnya, hahah).
Satu lainnya yang saya perhatikan adalah sebuah rombongan keluarga yang terdiri dari 3 generasi, walaupun tidak berisik namun rombongan merekalah yang cukup bersuara di gerbong terebut karena memang ada anak kecil yang bepindah tempat dari ibunya menuju saudara yang lainnya. Salah satu ibu tersebut menawarkan rombongan permen kepada penumpang lainnya termasuk mereka yang bukan dari rombonganya, beberapa ada yang menerima tawaran tersebut, namun ada beberapa juga yang dengan santainya membuang bungkus permen di lantai gerbong kereta.
Saya menutup buku saya ketika kereta Prameks yang saya naiki telah sampai di Stasiun Purwosari, Solo. Bergerak pelan menuju pintu keluar gerbong kereta untuk menapakkan kaki di peron penumpang Stasiun Purwosari. 08:37 wib, selamat datang di Solo.
—————-muter-muter sekitaran solo—————————
18.09 wib saya sampai kembali di Stasiun Purwosari dengan keadaan cukup basah karena hujan mengguyur Kota Solo sore itu, Mengantri sejenak untuk membeli tiket kereta Prameks dengan tujuan Stasiun Lempuyangan yang berangkat pukul 19.02 wib. Cukup lama saya menanti kereta yang akan saya naiki tersebut, berberes barang bawaan dan membaca kembali buku “Bukan Untuk Dibaca (Jilid 2)” saya lakukan untuk mempercepat gerak menit saat itu. Pengumuman dari Stasiun membuat para penumpang kereta Prameks bergerak merapat ke Jalur 3, saya mengemasi barang bawaan saya untuk menuju ke tepian aman jalur 3.
Mayoritas penumpang berdiri menunggu di sebelah selatan, hanya ada beberapa yang menunggu di bagian utara termasuk saya. Saya termasuk orang yang cukup merasakan apabila ada orang yang memperhatikan saya, dan itu saya rasakan saat menanti kereta Prameks datang saat itu. Ada seorang wanita yang berkostum ala traveller dengan headset yang melingkar di lehernya yang sesekali melihat ke arah saya, sesekali saya melempar pandangan ke wanita itu, sosoknya memang tidak asing dalam ingatan saya, namun saya juga tidak berani untuk menyapa dalam cahaya remang stasiun tersebut, takut salah orang, jadi biarlah saja, lagian sepertinya kami akan menaiki gerbong yang sama jika melihat posisi kami yang cukup berhadap-hadapan di antara rel kereta jalur 3.
Saya berfikir lagi, sepertinya itu mba Fitria, rekan yang biasa bersama Suhu mas Wahyu Widhi dan Suhu mas Wawies Wisnu. Saya mengenakan Kaos Landscape Indonesia yang memang logonya ikonik sekali untuk dikenali bagi orang yang juga memiliki kaos yang sama, mungkin gara-gara kaos ini mba (masih dugaan) Fitria melihat ke arah saya. Setibanya kereta, saya tepat berdiri di depan pintu masuk pada gerbong saya sama dengan mba (masih dugaan) Fitria, namun saya kalah langkah dengan 2 kelompok yang ada di kiri dan kanan saya, alhasil saya berpindah ke gerbong ke dua yang lebih panjang dari gerbong pertama tersebut.
Di dalam gerbong tersebut, kembali saya bergerak perlahan menuju lorong untuk menyandarkan badan kembali. Dalam gerbong tersebut ada semacam meja yang biasanya ada di gerbong logistik namun digunakan sebagai tempat bapak On The Way Cleaning Service (OTS) di kereta Prameks untuk duduk dan melakukan check list kegiatan pada hari itu. Saya kembali meneruskan kegiatan membaca saya, namun saya berpindah posisi dengan meletakkan buku tersebut pada meja tersebut yang terlihat bersih dan sepi dari barang di atasnya.
Ada 2 orang gadis yang duduk di 2 bangku tepat di depan meja tersebut dan membelakangi saya, sedangkan saya berdiri di samping meja tersebut sembari membaca dan sesekali melihat ke sekitar. Pemandangan yang ada seperti biasanya, kebanyakan bermain dengan ponsel pintarnya dan melongo ke luar jendela, namun ada seorang ibu yang membaca lembaran berhuruf arab, seperti kumpulan Do’a yang sengaja beliau cetak pada lembaran tersebut. Tak jauh dari tempat ibu tersebut duduk, ada seorang gadis WNA yang duduk dan mengobrol dengan gadis dewasa pribumi dengan bahasa inggris, saya tak begitu memahami apa yang mereka obrolkan karena memang suaranya cukup lirih.
Setelah stasiun Klaten sepertinya, saya kurang begitu memperhatikan nama stasiun yang terlihat dari papan pemberitahuan elektronik yang ada di atas tiap lorong antar gerbong. Ada seorang bapak yang bertanya kepada bapak OTS tersebut lokasi Stasiun Maguwo, tempat bapak tersebut akan dijemput oleh seseorang. Dua gadis yang duduk di depan saya turun di stasiun tersebut, sehingga bangku tersebut kosong dan diisi oleh bapak yang tadi bertanya kepada bapak OTS.
Bapak tersebut mempersilahkan tempat duduk yang satunya untuk saya duduki, namun saya menjawab sembari tersenyum “saya berdiri saja pak, sudah dekat juga kok pak”. Posisi saya, bapak itu, dan bapak OTS membentuk segitiga sehingga memicu terjadi sebuah obrolan di gerbong tersebut. saya bercerita tentang kejadian yang terjadi kemarin ketika ada orang akan bunuh diri di perlitasan rel di dekat kos saya, kedua bapak tersebut mendengar dengan ekspresi kaget, saya teruskan cerita tersebut yang akhirnya disambung dengan cerita pak OTS yang menceritakan beberapa kejadian serupa yang pernah dialaminya selama menghabiskan hidupnya di gerbong kereta semenjak 1996 hingga saat ini.
Entah bagaimana hingga akhirnya hingga sampai bapak yang tadi bertanya itu bercerita dari surabaya dan ini pertama kalinya naik kereta setelah 10 tahun tidak menaiki kereta dan terkaget dengan perubahan pelayanan PT. KAI saat ini. Banyak yang kami obrolkan dalam 20 menit menuju Stasiun Maguwo tersebut, hingga akhirnya bapak OTS menunjukkan sisi pintu keluar yang tepat di stasiun Maguwo. Sebuah jabat tangan sembari berkata “saya Rodik” dari bapak yang dari surabaya tersebut, dan bapak OTS menjabat tangan beliau dan berkata “saya Iatno”, saya pun ikutan menjabat tangan Bapak Rodik tersebut “ghozali pak ๐ “.
Pak Iatno menyampaikan kepada Pak Rodik untuk mencarinya bila perlu bantuan ketika berada di Stasiun Balapan, Solo. Sebuah tawaran ikhlas yang saya tangkap dari raut dan suara Pak Iatno. Pak Rodik menajawab ” terima kasih pak, semoga ada kesempatan lagi ya nanti”, sembari membenarkan topi dan meletakkan tas kecilnya di sampingnya, beliau berkata “terima kasih atas obrolan tadi yang saya rasa sangat bermanfaat dan tidak saya lupakan dalam perjalan ini”. Sebuah acungan jempol dengan siku yang masih menempel di meja saya ajukan kepada Pak Rodik sembari berkata “ngantos-ngantos pak” (hati-hati pak).
Tak berselang lamapun saya akhirnya turun di Stasiun Lempuyangan, saya melangkah mendekat menuju pintu keluar gerbong tersebut, membalikan badan sejenak dan mengarahkan telapak tangan kanan saya kepada Pak Iatno sembari mengangguk tersenyum tanda pamit kepada beliau, Pak Iatno mengangkat telapak tangan kanannya melebihi kepala beliau untuk membalas pamitan saya sembari berkata “yo, monggo mas” (ya, hati-hati mas), saya pun membalas beliau dengan acungan jempol yang saya bahasakan sendiri menjadi kata “OK pak”.
Alhamdulillah, saya sampai di Stasiun Lempuyangan dengan selamat yang kemudian saya lanjutkan menuju tempat penitipan motor yang berada di seberang pintu masuk Stasiun Lempuyangan. Di tempat penitipan motor inilah saya kembali bertemu dengan Mba (masih tetap dugaan) Fitria, saya disapanya terlebih dahulu sembari memastikan kejadian di Stasiun Purwosari itu. Saya pun dengan sedikit berpura-pura (padahal saya ingat betul namanya, sengaja biar gak ada yang kege-eran ๐ )
“eemm….mba Fitria ya?” sembari mengulurkan tangan untuk salaman denganya “aku ghozali mba”.
mba (sudah benar) Fitria tersenyum dan berkata “iya,..”. Mba Fitria bertanya “dari mana?”.
“solo mba” jawabku.
“habis ada acara sama bebek po?” tanyanya, itu panggilan untuk Suhu mas Wahyu Widhi.
“enggak mba, main aja kok sendiri di Solo” ujarku.
kemudian perbincangan singkat tentang dugaan saya di stasiun solo menemani saat mba Fitria berkemas bersama barang bawaanya di atas motornya. Mba fitria memperhatikan kaos Landscape Indonesia yang saya pakai saat itu sehingga berani memastikan bahwa kita saling tahu walau belum kenalan satu sama lainnya.
Ah….kaos ini memang selalu membuat cerita :D.
Tanpa diduga ada seorang bapak berkumis dengan raut muka yang sudah terlihat “lelah” memotong pembicaraan kami “ojo ngobrol wae to, ndang mlaaku !!” (jangan mengobrol saja, burusan jalan !!). Memang posisi mba Fitria cukup menutupi jalan keluar bapak berkumis itu, mba Fitria menjawab “sabar to pak…” sembari memiringkan motornya untuk memberi jalan kepada bapak yang terlihat lelah itu, dan tenpa sengaja pedal kick starter motor matic bapak tersebut tersangkut roda sepeda motor yang berada di dekatnya, hampir saya jatuh bapak itu, kemudian petugas penitipan motor tersebut membantunya, saya dan mba Fitria tersenyum saja melihat .
Mba Fitria bercerita sedang melatih kembali fisiknya untuk trip ke Nepal tahun ini,
“lho? jadi ke Nepal po mba?” tanyaku
“iya sudah pasti ke Nepal, sudah beli tiket berangkatnya, tapi belum beli tiket pulangnya” sembari tertawa kecil mengatakan hal tersebut.
Perbincangan singkat kami pun berakhir, mba Fitria pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan ke tempat tinggalnya, “hati-hati mba” ucapku.
Mencari sepeda motor saya, membayar biaya penitipan motor dan kemudian melaju mencari warung untuk mendamaikan rasa lapar ini :D.
Sebuah perjalanan tentu tidak akan lepas dari kisah saat berangkat, di lokasi tujuan, hingga perjalan pulang. Masing-masing bagian memiliki cerita yang bisa sekedar kita kenang atau kita jadikan pengalaman berharga untuk melakukan perjalanan-perjalanan lainnya.
Bila anda melakukan perjalanan, selalu nikmatilah yang namanya perjalanan anda, karena itu adalah bagian penghubung antara kehidupan sehari-hari anda dengan kehidupan travelling anda. ๐
4 comments
Hahaha aku juga seneng jd pengamat mas ketika di kereta bis ato keramaian, untuk memulai obrolan juga kadang2 aja sih tp jarang.
Seru Mas, terlebih naik angkutan ekonomi, suka aja mendapatkan cerita dari beragam kelas sosial yang hampir setara ๐
Paragraf terakhirnya nendang ๐ jadi selalu perhatikan sekitar ya, selalu saja ada cerita yang tersimpan dibaliknya. *kasihjempol*
wkewkekw jempol balik deh mas ๐
lainkali saya bikin yang lebih dari nendang, yaitu nangkep, hohohh ๐