kamera saya (dulu)

Saya dahulu sering melihat foto-foto pemandangan di kalender gratisan yang biasa hadir di awal tahun. Hal tersebut membuat saya ingin menjadi fotografer landscape, sepertinya seru ketika kita bisa jalan-jalan ke tempat di mana alam masih jarang manusia dan juga masih alami. Saat itu tentu saja saya masih kecil di mana ketidakpunyaan alat serta kenalan orang yang berprofesi sebaga fotografer masih nol. Hendak belajar fotografi juga dari mana saat dimana mencari informasi seputar foto saja masih susah.

Zaman berubah, akhirnya bisa memegang tustel dengan fitur one button one shoot. Tidak ada kontrol manual saat itu, sehingga saya masih penasaran kenapa foto-foto di kalender bisa begitu indahnya sedangkan hasil foto saya kok biasa-biasa saja.

Tahun berganti, di mana masuknya teknologi internet memungkinkan saya belajar dari sumber manapun tentang konsep, teknik dan variasi dalam dunia fotografi. Jangankan kamera digital, ponsel berkamera saja baru saya miliki sendiri pada tengah tahun 2011. Belajar sendiri tanpa praktik itu susah, susah sekali, namun beruntung di dalam fotografi digital kita bisa jepret kemudian langsung dapat melihat hasilnya tanpa dicetak. Hal ini akan sangat menghemat dana untuk mencetak hasil foto yang telah kita ambil tersebut. Sering saya kebagian jadi documenter dengan kamera pinjaman dan kadang juga kamera seadanya.

yang penting bukan alatnya, namun yang dibelakang kameranya

Kepemilikan kamera DSLR bisa saya miliki secara pribadi pada tengah tahun 2012, rasanya senang sekali karena memang hasil tabungan sendiri. Semua pengalaman belajar fotografi yang saya baca mulai saya panggil kembali ke dalam pikiran saya. Mulai dari teknik dasar, hingga ke teknik yang rumit, dari konsep meniru, modifikasi hingga memiliki konsep sendiri. Semua belajar serta praktek secara berkesinambungan dalam berbagai kondisi alam dan kondisi batin.

Sedikit berbagi rasa saja menjadi seorang fotografer lepas hingga saat ini yang saya jadikan hobi sekaligus kerjaan sampingan. Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan, mungkin bagi anda yang berkaitan dengan dunia fotografi pernah mengalaminya, atau juga bagi anda pengguna jasa fotografer dapat sedikit merasakan apa yang kami rasakan, walau curhatan ini masih sangat bersifat SUBYEKTIF sekali.

Ranah fotografi saya adalah landscape dan traveling, terkadang juga nempel ke prewedding, jadi ya harap makum saja apabila larinya ke sana ya ๐Ÿ˜€

Pengertian MODEL dalam kiriman ini berarti orang yang masuk ke dalam frame foto, bisa disengaja atau tidak sengaja. Bukanlah FOTO MODEL yang selalu berpakaian rapid an berpose di depan lensa.

manusia hanya saya jadikan skala dalam foto ini

Shutter kami punya batasan.

DSLR menggunakan jendela shutter mekanik untuk menaik turunkan cermin didepan sensor untuk mengatur cahaya yang diterima oleh sensor. Shutter mekanik ini bisa bergerak cepat karena menggunakan pelumas untuk memperlancar gerakannya. Pada kamera DSLR normal, kecepatan shuter tercepat adalah 1/2000 detik hingga 1/4000 detik, bayangkan saja kecepatannya adalah 1 detik dibagi 2000 gerakan atau 4000 gerakan. Pada kamera DLSR kelas pro bahkan bisa mencapai kecepatan 1/8000 detik. Sistem shutter mekanik yang bergerak ini memiliki batasan umur karena gesekannya, sehingga akan mengalami yang namanya aus.

Aus inilah yang menyebabkan harus digantinya shutter unit pada sebuah kamera DSLR, biasanya harganya hampir menyaingi harga sensor kamera tersebut. Biasanya ditandai dengan istilah shutter count yang bisa dicari informasinya dari exif kamera dengan software tertentu. Banyak sedikitnya shutter count inilah yang menyebabkan harga kamera bekas bisa menjadi turun, karena semakin mendekati waktu ganti atau shutter akan mengalami respon yang kurang responsif. Kamera DSLR sekarang biasanya bisa mencapai shutter count hingga 100.000 jepretan, namun itu angka rata-rata, bisa kurang dan bisa lebih.

Baca Juga :  Bioskop : Dahulu, Sekarang dan Sekelilingnya

Bagi orang awam yang hanya tau bahwa yang namanya kamera DLSR tidak memakai film, mereka hanya paham bahwa hasil foto digital, semua terbatasi oleh media penyimpanan. Hal tersebut adalah hal yang salah kaprah. Saya sering menjumpai ketika teman ada yang minta difotokan, baik single shoot ataupun burst shoot dalam beberapa kegiatan mereka, ketika mereka lihat kurang cocok, mereka minta foto lagi.

Kami sudah memotret dengan sudut dan komposisi yang menarik lho, mimik dan ekspresi anda saja yang memang sebenarnya harus anda perbaiki, jadi jangan korbankan shutter count kami. Bila foto tersebut berguna bagi fotografer dan model, maka hal tersebut masih bisa masuk di akal. Minimal berguna bagi sang model itu masih bisa ditolerir, namun ketika foto itu teronggok tanpa ada yang menggunakannya dikedua belah pihak, siapa yang merasa rugi? Beruntung bila diminta oleh si model, atau minimal ditanyakan lah foto tersebut, nha bila sama sekali tidak disalin atau bahkan ditanyakan? Buat apa kami para tukang foto memoret hingga menyimpannya?

saya pernah membuat time lapse dengan total foto mencapai 1500 foto

time lapse kulonprogo pertama

time lapse kulonprogo kedua

Kami membuat foto, bukan mengambil foto.

Istilah membuat dan mengambil foto dalam hal ini saya artikan sebagai berikut :

  • Mengambil foto : hanya menekan shutter tanpa memperhatikan moment, komposisi dan teknik fotografi.
  • Membuat foto : sebelum menekan shutter, kami para fotografer telah mencoba mencari moment yang tepat, mengatur komposisi dari jendela bidik, serta melakukan pengaturan eksposur yang tepat pula.
Berposelah yang baik, karena kami juga ikut berpose (foto oleh Aji)
Beruntung airnya tidak sedang tinggi serta sedang jernih (foto oleh Aji)

Dari pengertian di atas tentu dapat kami sampaikan bahwa dalam membuat foto itu perlu serentetan proses spontan yang membuat kami belajar dan terus belajar. Dari hal tersebutlah kami telah mampu membuat foto dalam waktu yang cepat dalam berbagai kondisi. Fotografer yang berkecimpung serius akan terlihat minimal dari pose sang fotografer tersebut ketika akan menekan shutter.

Peralatan kami perlu perawatan.

Walau kamera makin waktu makin murah, tapi tetap saja mahal menurut saya. Peralatan mahal tersebut tentu saja akan memakan perawatan yang tidak murah pula. Minimal hal โ€“ hal berikut biasa saya lakukan untuk merawat kamera saya :

  • Membersikan sendiri dengan cleaning kit, seperti blower untuk menghilangkan debu mikro yang menempel di luar hingga di dalam bodi kamera.
  • Mengusap bodi kamera agar bersih dari minyak dan kotoran lainnya untuk menghindari karat dan noda membandel
  • Menyimpang dalam tempat kedap udara yang telah ditambahkan silica gel untuk mengurangi kelembaban.
  • Memilih tas yang memiliki busa tebal untuk mengurangi goncangan saat dibawa ke lokasi.
  • Melindungi lensa dengan filter tambahan agar tak tergores.
  • Terkadang jika sampai parah, kami harus membersihkan lensa dan sensor ke jasa pembersihan yang memang tidak murah dan memakan waktu yang biasanya cukup lama.

Semua hal di atas kami lakukan untuk menjaga peralatan kami yang menunjang hobi dan ketika ada pekerjaan yang berkaitan dengan fotografi.

case camera seperti ini biasanya harganya lebih mahal dari harga kamera entry level

Berilah sikap yang baik terhadap foto yang kami hasilkan.

Baca Juga :  14 Kesalahan yang Sering Dilakukan Pemula Ketika Memotret Landscape

Kembali ke antara perbedaan mengambil dan membuat foto, hasil yang dihasilkan oleh kamera DSLR tentu berbeda dengan kamera ponsel atau kamera saku. Ada rentang warna yang disebut bits yang akan lebih mudah mengatur ketika dilakukan editing kembali di komputer. Tentu hal โ€“ hal seperti inilah yang membuat karya dari kamera DSLR dan sekelasnya memang berbeda.

serupa tapi tak sama

Ada hal yang pernah beberapa orang di sekitar saya lakukan terhadap foto yang saya hasilkan. Ketika itu ada si model yang muncul dalam foto tersebut

  • Setelah menyalin foto dari saya, diedit ulang oleh si model dengan konsep lomo atau dengan editing menggunakan ponsel dan sejenisnya. Bila diedit dengan konsep seperti itu, lantas buat apa saya harus mengeluarkan DSLR? Lantas buat apa saya melakukan editing lagi di komputer?.
  • Setelah menyalin foto dari saya, ditambahin watermark (tanda air) oleh si model tersebut. Lho kok bisa? Kita memang tidak ada perjanjian pengalihan hak cipta secara tertulis, namun dengan melakukan watermark itu sudah setingkat menuju arah pengambil alihan hak cipta tanpa prosedur yang baik.

Beberapa foto memang saya watermark untuk mempermudah orang melacak siapa pembuat foto tersebut, namun ada fitur cropping yang bisa menghilangkan watermark ketika anda meletakkanya di tepian foto. Saya beberapa kali mengalami korban cropping tersebut, ya sudahlah ๐Ÿ˜€

duduk diam sembari bermain slow shutter itu seru

Kami juga ingin main, bukan hanya jadi tukang foto gratisan. Memang sebagian dari kami tidak suka di foto, tapi sekali-kali fotolah kami dengan baik.

Biasanya si pemilik DSLR itu biasa jadi prioritas yang diajak kalau ada kegiatan jalan-jalan. Saya juga dulu seperti itu sebelum memiliki DSLR, suka mengajak mereka yang punya DSLR. Lama-lama malah saya males kalau jalan-jalan harus bawa DSLR, kecuali memang jalan-jalannya memang tujuan utamanya motret. Sekarang memakai kamera ponsel dan saku sudah cukup bagus kok hasilnya untuk diupload, bahkan untuk dicetak.

Nha bagi mereka yang masih berada di pengendifotozone, maka mereka akan sangat suka sekali dijeprat-jepret berkali-kali walau ketika dimasukan komputer terus kena software deteksi duplikat maka hampir semua foto tersebut terindikasi memiliki 75%+ kesamaan. Foto banyak-banyak mau buat apa ya kakak-kakak? Dicetak semua juga enggak, diupload aja gak ada yang respon, disimpen aja dihardisk gak pernah dibuka, apa malah jangan-jangan sengaja diinggal di SD card si tukang foto gratisan?

Kalau memang mainnya seperti itu, terus si tukang foto kapan mainnya? Misal main ke pantai, lha fotografernya kapan main air? Gak mungkin juga berenang sembari memotret dengan DSLR? Ya mungkin sekarang sudah tertolong dengan action cam (selfie cam) yang ada selfie stick-nya ๐Ÿ˜€

airnya itu bikin ingin berenang walau tidak bisa berenang

Sebagian besar fotografer itu gak suka di foto, tapi hampir semuanya suka kalau difoto secara candid. Tahukah kenapa? Karena fotografer itu gak bisa pose, hahahaha. Terkadang ketika momenta sudah pas, komposisinya kurang cocok, kadang juga kepalanya kena crop, atau yang paling sering gambarnya shake atau blur. Makanya hal yang mengasyikan adalah pergi jalan-jalan dengan sesame fotografer, pasti gambarnya bagus ๐Ÿ˜€

Baca Juga :  SMS tetaplah berkesan

Tahukah kalau memotret itu bikin capek?.

Ketika di studio itu sudah terasa capek, harus mengatur lampu, pose, sudut pengambilan. Ketika di alam terbuka juga lebih capek, ketika harus ke sana ke sini mengatur komposisi, cahaya, juga keselamatan agar tidak kesandung. Jongkok, berdiri, naik, merunduk, merebah, berguling, terbang, itu kita sudah seperti menghafal gerakan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) selama dua putaran.

merayapi gua dengan membawa dslr itu bikin repot

Bagi fotografer outdoor seperti gunung atau gua, itu lebih melelahkan lagi, silahkan simak beberpa hasil foto saya ketika di gunung dan di gua dalam bentuk pdf tersebut. Saya harus memikul carrier ketika mendaki sembari tetap memotret. Saya harus tetap merunduk sembari memotret ketika susur gua agar tidak tersundul stalaktit. Itu tuh lelah capek galau waswas gelisah gulana dan ingin ketawa sendiri kenapa mau melakukan itu, ya karena memang suka memotret.

Terlebih ketika naik gunung membuat video seperti di bawah ini :

Sindoro

merbabu

Editing foto di komputer itu melelahkan, bersabarlah.

Karena saya lebih suka melakukan editing ulang di komputer agar tonal dan kecerahan warna bisa cocok dengan saya, maka saya lebih suka memotret dalam format RAW. Format RAW ini warnanya akan lebih terlihat kusam dan kurang menarik, namun menyimpang informasi yang lebih kaya daripada JPG. Maka perlu waktu dalam mengolah foto dari RAW ke JPG ini, itupun memakan waktu lebih tergantung dari kecepatan komputer dan daya tahan di tukang edit.

Jadi tidak mungkin editing 500 foto dalam format RAW selesai dalam waktu sehari, kecuali satu preset atau pengaturan untuk semua 500 foto tersebut. Karena dari itu, bersabarlah ๐Ÿ˜€

cobalah memahami betapa lelahnya memotret kemudian mengeditnya di komputer

Hargai jasa kami

Memang memotret hanya perlu kamera untuk ditekan shutternya saja, namun dibalik penekanan shutter tersebut ada hal โ€œmembuat fotoโ€ yang telah saya jabarkan di atas, juga ada proses pengambilan foto yang melelahkan, dilanjutkan dengan post-processing di komputer. Memang itu terlihat sepele, namun waktu dan sumber daya untuk membangun semua hal tersebut perlu waktu dan biaya. Seperti pembangunan konsep, ide, variasi, kreativitas yang dihasilkan tidak serta merta mendarat seperti durian runtuh.

air terjun biasa saja bisa terlihat menarik dengan teknik yang baik

Hargailah jasa kami, bisa berupa dari :

  • Sikap yang baik dalam memperlakukan karya kami, bisa anda simpan, anda upload atau bahkan syukur-syukur bila ada yang mencetaknya untuk dipajang sendiri, kami cukup senang.
  • Timbal balik yang menarik bagi kami, dulu saat masih kuliah saya sering hanya mendapatkan sekedar terima kasih, makan gratis hingga kadang amplop. Jadi perhatikanlah kondisi masing-masing antara klien dan fotografer, sekiranya mana yang lebih cocok. Anda puas atas hasil karya kami, kami perlu makan untuk melanjutkan hidup kami.

Manusia amerika sibuk memikirkan hidup dari bumi ke bulan,

Sedangkan manusia Indonesia sibuk juga memikirkan hidup dari bulan ke bulan. ๐Ÿ˜€

Bila memang harus bertahan, ya dari bulan ke bulan

Keep creative, keep respect. Than stay survive !!!

Ya itulah mungkin sedikit curahan hati seorang fotografer amatiran yang minta dihargai professional. Bagaimanapun menjadi professional itu mahal, menghabiskan waktu yang lama, kan kita juga perlu makan selama tenggat waktu dari amatir menjadi professional. Hahahaha ๐Ÿ˜€

Bagaimanapun juga, selalu nikmatilah fotografimu dalam berbagai kesempatan. Berbahagialah para tukang tekan shutter ๐Ÿ˜€

di manapun kau berada, berbahagialah ๐Ÿ˜€
0 Shares:
4 comments
  1. Hahahahaa..
    sebenarnya fotografer bukan tidak mau di foto tapi memang tidak tau harus bagaimana didepan kamera

    geli sendiri baca cuitan mu ini mas…

  2. Ternyata begitu ya. Aku baru tau Kalo banyak jepretan mempengaruhi nilai Shutter count. Btw, Kalo mau jepret serangga terbang pasti susah sekali ya? Salut untuk hasil karyanya mas, be optimis. Empat jempol deh, bagus2 semua fotonya

    1. Iya, kamera DSLR seperti itu,
      Teman ada yang pakai canon 450D dari tahun 2009, sampai sekarang sudah 4 kali ganti shutter unit,,

      Kalau serangga harus pakai jurus ninja..mengendap dan senyap….

      Ah, ini fotonya juga masih tahap belajar… ๐Ÿ˜€

Ambil hanya informasi, tinggalkan hanya komentar. Silahkan berbijak hati untuk mengisi kolom komentar. Salam

You May Also Like