Jalur kegiatan bersepeda kali ini lumayan seru bagi saya. Bersepeda di sekiataran ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser yang memang sudah terkenal keasriannya.
Saya memulai kegiatan ini dari ketinggian sekitar 1200 mdpl hingga seingat saya mencapai ketinggian sekitar 1600 mdpl sebelum meliuk menurun ringan menyusuri belantara yang terbelah aspal.
Kabut tebal masih membayangi kayuhan saya memotong kesunyian dengan siulan parau, mencoba memancing burung pagi agar ikut bernyanyi.
Saat berangkat memang saya hanya disuguhi tanjakan yang memaksa saya menggunakan perseneling terendah, terkadang kayuhan saya sampai mengangkat roda depan yang mengerti betapa kerasnya keinginan saya melintasi ekosistem terebut.
Ketika usai saya melibas tanjakan panjang, saya disuguhi jalanan landai yang meliuk, memanjakan kaki saya untuk lebih bersantai. Beberapa kali kibasan sayap burung rangkok mengagetkan saya ketika terbang di antara rimbunya tanaman hutan hujan tropis yang hanya berjarak beberapa depa dari saya bersantai menikmati sebungkus mie instan dan air segar dari mata air yang mengalir di dekat tempat saya melepas lelah.
Beberapa lokasi memaksa saya lebih berhati-hati karena longsor yang memang sepertinya rentan terjadi di sepanjang rute tersebut. Saya sangat bahagia namun bercampur haru ketika menemukan jalan yang menurun di depan saya, bahagia karena tidak perlu mengayuh keras, namun haru karena nanti ketika saya pulang jalan tersebut menjadi tanjakan bagi saya.
Beberapa plang penunjuk jalan ada bekas tembakan peluru yang membabi buta. Dilhat dari kekuatan dan ukurannya, sepertinya itu hanyalah senapan angin yang sengaja di arahkan ke plang tersebut. Apabila proyektil peluru asli tentu saja sudah menembus plang tersebut.
Hingga sampai ke daerah yang lebih sempit, lembab serta sepi yang semakin menjadi dengan pepohonan yang membentuk gapura sepanjang mata memandang. Kabut menjadi hujan, saya hanya membawa mantel bagian atas saja saat itu. Merelakan bagian bawah saya terbasahi oleh dinginya air hujan siang itu. Seusai melewati jembatan besi, saya berhenti sejenak sembari menghitung waktu tempuh yang saya perlukan hingga lokasi tersebut.
-Ternyata banyak cerita menyeramkan seputar jembatan besi tersebut, beruntung saya mendengarnya beberapa waktu setelah kegiatan bersepeda nekat ini-
Akhirnya karena suasana semakin gelap karena kabut walaupun hari masih setengah umunya, saya sudah terlanjur basah dan tak mau bertaruh untuk meneruskan perjalanan yang masih belum saya tahu seperti apa medan di depan sana.
Waktu tempuh berangkat yang mencapai 4-5 jam, bisa saya lipat menjadi sekitar 1 jam saat kembali pulang. Ini menunjukkan rasio jalan menanjak yang memang mencapai lebih dari 75%. Sesampainya di rumah kontrakan, teman-teman saya cukuplah menggelengkan kepala atas apa yang saya lakukan. Kurang kerjaan bukan, hanya kurang hiburan saja sebenarnya.
Melewati tanjakan panjang saat berangkat, tinggallah jalanan menurun saat kembali pulang
Perjalanan tidaklah diukur dari seberapa jauh, seberapa lama atau seberapa tinggi yang telah terlewati. Perjalanan diukur dari kedewasaan dalam mengambil tiap makna pelajaran dan pembelajaran dalam prosesnya.
Makna apa yang saya dapatkan dari perjalanan kali ini? Rahasia π
Salam gowess…..