Hari kedua berada di Pulau Weh (Sabang) tidak serta merta membuat hasrat kami untuk bangun pagi terukir dalam cerita pagi itu. Waktu masih menunjukkan pukul 6.30 WIBB (waktu indonesia barat banget), walau kami tak menengok ke luar jendela tetapi kami yakin kalau matahari belum terbit. Alhasil tidur kucing (terlelap tak bisa, bangun pun malesss…) membawa kami pada pukul 8.00 WIBB, antrian satu kamar mandi untuk 6 orang mengingatkan akan masa-masa kos. Sekitar pukul 9.00 WIBB kami meluncur mencari sarapan. Setelah mampu melahap semua koloni nasi dan sekitarnya, kami kembali ke penginapan untuk mulai merancang skenario petualangan hari ini.
Setelah melihat jarak dan daftar aktivitas yang bisa dilakukan di masing-masing obyek, maka segera kami meluncur ke lokasi yang dinamakan danau aneuk laot. Hanya berjarak 5 menit dari penginapan kami, ternyata obyek wisata ini belum sepenuhnya siap untuk dikunjungi, dimulai dari ketiadaan plang untuk menuju bibir danau secara akurat. Serta tidak adanya dermaga kecil untuk sekedar merasakan tawarnya air danai tersebut.
Pit stop selanjutnya adalah pantai Iboih, tempat ini merupakan sebuah pantai dengan perairan dangkal dan tenang, biasa digunakan untuk snorkling atapun diving. Sebenarnya ada banyak lokasi di Pulau Weh yang bisa dijadikan lokasi snorkling dan diving, tetapi teman yang pernah berkunjung ke Pulau Weh merekomendasikan untuk snorkling di Iboih saja.
Setelah sampai, segera 6 set peralatan snrokling (@40rb) dan satu case waterproof (40rb) untuk kamera saku kami sewa untuk mulai masuk ke akuarium raksasa. Ini merupakan pengalaman pertama snorkling, sekitar 30 menit saya dan rekan saya hanya bermain di bibir pantai, berlatih bernafas menggunakan pipa ninja hatori, mencoba berjalan dengan fin di air, sampai membalik badan yang terangkat oleh pelampung, sementara 4 orang yang lain sudah beraksi sembari mengabadikannya dalam frame digital. Setelah terbiasa memakai gear yang kami kenakan, mulai terasa nikmat dan asiknya snorkling yang membuat kami mudah melupakan waktu dan teriknya matahari kala itu.
Seusai merasakan yang namanya “capek” dan kulit jari yang menunjukkan tanda-tanda penuaan (keriput), kami menyudahi saja jalan-jalan di akurium raksasa ini. Setelah membilas diri dengan air pantai (sama aja gak bilas), segera kami membasahi jok sepeda motor dengan kucuran keceriaan kami selama 90 menit sebelumnya.
Tujuan kami berikutnya adalah menuju air terjun yang berada di tengah-tengah Pulau Weh. Hanya berjarak sekitar 15 menit dari pantai Iboih, kami telah sampai di pertigaan yang akan mengantarkan kami menuju air terjun tersebut. Sejenak mampir ke warung untuk mengisi tenaga yang telah terkuras saat snorkling tadi. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan beton kecil yang hanya mengantarkan kami separuh jalan ke air terjun tersebut.
Dilanjutkan dengan menggunakan sepasang sandal, kami mulai menyusuri sungai kecil yang jernih. Hanya 5 menit dari tempat kami memarkirkan kendaraan kami, mulai terdengar suara air terjun yang jelas diantara gemersik dedaunan yang tertembus cahaya sang surya siang itu. Segera ritual bilas air asin dengan air tawar segera dimulai, berenang-renang dalam kolam kecil tawar yang segar. Setelah semua puas bermain dengan air tawar, segera kami menuju ke tujuan wisata berikutnya.
Mini Volcano, alias gunung berapi mini yang menjadi tujuan kami berikutnya. Berbekal peta objek wisata Pulau Weh dan bertanya kepada warga, kami mulai merapat ke lokasi yang ditandai dengan mulai menusuknya bau belerang. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki usai jalanan paving menghentikan laju kendaraan kami.
Terlihat reruntuhan pohon yang merasakan efek timbul tenggelamnya lubang-lubang sulfur di daerah tersebut. Masker dari kain kami kenakan untuk mengurangi pekatnya belerang yang bercampur dengan udara di daerah tersebut.
Terlihatnya lubang-lubang kecil dengan warna kuning yang berasap membuat kami harus lebih berhati-hati dalam melangkah. Teriknya sinar sang surya dan pekatnya udara di lokasi tersebut membuat kami tak bisa berlama-lama berpose di antara lubang-lubang sulfur tersebut.
Perjalanan berlanjut mengunjungi pesisir selatan di Pulau Weh, putihnya pasir dan birunya air laut menggoda kami di setiap perpindahan perseneling kendaraan kami. Kami berhenti di Pantai Keunekai, pantai pasir putih yang terasa damai dalam teriknya matahari siang itu. Berlarian mencoba berbagai pose yang serasi dengan keindahan Pantai Keunekai, merasakan lembutnya pasir hangat di jemari kaki yang seakan tidak lelah menapakai keindahan Pulau Weh.
Perjalanan belum usai, keinginan untuk berendam merasakan air hangat di sekitar Pantai Keunekai harus kami urungkan karena ketidakjelasan informasi rute untuk menuju objek tersebut. Plang penunjuk pemandian air hangat tersebut tidak terpampang saat itu, keingingan untuk bertanya kepada warga sekitar pun sama sekali tidak terlintas dalam benak. Tanpa terasa kami telah sampai di Pelabuhan Balohan, pelabuhan tempat pertama kami menginjakkan kaki di Pulau weh. Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak mengumpulkan tenaga untuk berburu wisara kuliner di malam hari. Sate gurita menjadi pilihan menu makan malam kami dalam rintik gerimis malam itu yang mengajak purnama untuk bersembunyi dalam selimut kegelapan saat itu.
Saatnya kembali ke penginapan untuk beristirahat dan mempacking barang bawaan kami karena esok pagi kami harus sudah sampai di Pelabuhan Balohan untuk kembali menuju ke Banda Aceh. Perjalanan yang sangat singkat untuk dapat mencicipi antrian keindahan alam di Pulau Weh yang kami rasa belum sempat tersentuh sepenuhnya oleh semangat kami. Andai waktu dapat terhenti sejenak, tentu kami akan mengunjungi semua objek wisata yang ada di Pulau Weh.
Rasa syukur yang tiada tara kami rasakan atas Karuni-Nya yang telah melimpahkan keindahan ini kepada salah satu titik di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salam Landscaper 😀
Simak juga Ebook tentang perjalanan kami ke Sabang serta video perjalanan kami di Sabang.