Pada HIJAUNYA JALUR SIGEDANG MENUJU PUNCAK GUNUNG SINDORO (3153 MDPL) 2 OF 3 kami terbangun untuk memutuskan akan summit attack atau merem attack 😀
Hasrat untuk summit attack terbuyarkan ketika angin yang bertiup pada sekitaran pukul 4 pagi itu sangatlah kencang dan dingin. “Keselamatan lebih penting” hatiku bergumam, maka lanjut meliuk lagi ke dalam sleepingbag. Sekitar pukul 5.30 saya melongok ke arah timur dan mendapati segaris cahaya fajar yang sayang untuk dilewatkan. Segera saya memberikan pengumuman ke dalam tenda untuk segera keluar dan menikmatinya. Segera semua sleepingbag tersibak, secara tidak langsung gas buang yang terakumulasi semalam di dalam sleepingbag keluar semua, maka jadilah pagi itu pagi berisik :D.
Yogo terpaksa kami tinggal di tenda karena kondisi fisiknya yang mungkin lebih baik untuk recovery persiapan turun. Saya, Heru dan Agung mulai menuju puncak dengan membawa sebotol air putih dan sebungkus biskuit.
Langkah pagi dengan kondisi angin kencang dan tubuh kurang pemanasan membuat saya selalu tertinggal dari Heru dan Agung yang melesat ke atas sana (selalu nyari alasan :P).
Sesekali saya beristirahat dengan membalikkan badan untuk menatap dataran tinggi Dieng yang berada di sisi utara jalur pendakian tersebut.
Jeprat-jepret kemudian berjalan kembali, itulah yang berulang kali saya lakukan untuk menuju puncak gunung sindoro.
Kurang dari 1 jam akhirnya saya sampai di hamparan sabana yang pada beberapa sudut terdapat kumpulan pohon perdu. Tedengar suara beberapa pendaki pada salah satu sudut tersebut, namun saya tidak mampu menemukannya karena sepertinya mereka memang mendirikan tenda disela-sela kumpulan perdu untuk mengurangi hembusan angin.
Melangkah perlahan menapaki tangga-tangga tanah landai mengantarkan saya kepada sebuah gerbang vegetasi yang langsung memberikan pemandangan puncak Gunung Sindoro sisi utara ini, atau biasa disebut sebagai puncak 7 Lapangan.
Kenapa disebut puncak 7 Lapangan? Karena luas puncaknya yang datar ini seluas 7 Lapangan bola, anda tidak percaya? Silahkan bawa lapangan bola kemari dan ukur sendiri… heheh :D.
Cuaca cerah saat itu sangat mendukun sekali untuk menaiki sebuah tugu kecil yang berada di sudut puncak Gunung Sindoro. Sekedar menekan shutter bergantian, serta mengabadikan pemandangan di sekitar.
Puncak Kawah yang berada di sebelah selatan kami mengeluarkan aroma belerang yang tercium pekat ke lokasi kami berada. Hembusan angin yang kencang di puncak membuat tiada tempat tanpa aroma belerang pagi itu.
Berjalan menelusuri puncak 7 Lapangan membuat kami menemukan beberapa batu yang tersusun menjadi sebuah tulisan nama atau kata, jadi kami juga ikut-ikutan menyusun batu-batu tersebut :D.
Agung dan Heru penasaran terhadap puncak kawah pada gunung sindoro ini, maka kami bergegas melangkahkan kaki menuju tenggara untuk mencapai ke bibir kawah yang tidak terlalu jauh dari lokasi kami berada saat itu.
Namun kabut yang bergerak sangat cepat saat itu membuat pupus angan mereka berdua untuk melihat kawah pada puncak sindoro tersebut. Sejenak bersembunyi di balik batu terhadap hembusan angin, kami menyantap biskuit serta meneggak air putih yang terasa dingin kala itu. Jaket windproof serta suhu tubuh Agung sepertinya sudah tidak berkompromi sehingga terlihatlah wajah pucat sembari sesekali tanganya menyeka pelipis hidungnya, sementara Heru masih tegar bergerak dengan suara khasnya yang tidak bisa diam.
Kondisi Agung yang sepertinya memerlukan kehangatn membuat saya mengajak mereka untuk turun saja daripada harus menanti entah hingga kapan sampai kabut menghilang dari puncak kawah. Sepertinya Agung perlu makanan berat untuk mengembalikan panas tubuhnya serta sinar matahari yang tak terhalang kabut. Puncak takkan lari kemana, masih ada waktu dan kesempatan lain untuk bersua kembali dengannya. Perlahan kami melangkahkan kaki untuk kembali turun menuju lokasi tenda kami.
Beruntung pemandangan dalam perjalan turun hanya sesekali tertutup kabut, sehingga relief dataran tinggi dieng terlihat begitu memanjakan mata. Sesekali saya harus berhenti untuk mengabadikan keindahan pagi itu, kemudian melangkahkan kaki kembali diatas batuan terjal nan lepas dalam perjalanan turun.
Bentuk puncak yang kerucut membuat kondisi ketika anda salah memilih jalur turun maka akan menuju ke lokasi lain yang berbeda dari lokasi anda.
Heru sudah sampai terlebih dahulu pada lokasi tenda kami berdiri, sehingga instruksi Heru sangat membantu saya dan Agung untuk dapat memilih jalan yang benar walau sempat terpaksa menerobos semak yang tak terlihat dasasrnya.
Sesampainya di tenda, segera kami memasak makanan untuk mengisi perut kami yang mulai terasa kosong. Tiupan angin membuat kami harus pandai-pandai memilih lokasi dan melindungi api agar tidak terlalu menjauh dari panci.
Adegan sarapan diselingi packing sebagian untuk mempercepat packing total nanti seusai makan. Memang paling terasa malas adalah ketika harus menata barang yang berantakan di dalam tenda untuk terapikan kembali di dalam carrier. Bongkar tenda dilakukan hati-hati agar tidak terbang terbawa hembusan angin.
Setelah semua tertata rapi dalam bungkusan di punggung kami, berkat pertolongan pendaki yang mendirikan tenda di samping kami tadi malam, jadilah foto kami berempat dengan muka ceria walau terasa letih dan mengantuk. Berdoa dalam terpaan angin sejuk namun tersinari panas, segera kami melangkahkan kaki perlahan setelah mengucapkan salam kepada tenda sebelah kami.
Perjalanan turun kembali didominasi oleh batuan terjal berkerikil lepas yang membuat kami harus saling menjaga jarak dan semakin berhati-hati terhadap yang kami pijak.
Lokasi basecamp yang terlihat masih jauh itu perlahan mulai mendekat seiring langkah kami yang sudah terasa gontai di bawah terik surya siang itu.
Perjalanan turun menyisakan sedikit ruang teduh bagi kami, membuat waktu istirahat sering terpaksa dipaksakan sampai menemukan tempat teduh.
Batas perkebunan teh sudah mulai terlihat, langkah semakin kami percepat dengan harapan dapat beristirahat cukup lama di shelter 2 yang kemarin kami singgahi.
Sesampainya di shelter 2 tersebut, segera nata de coco melegakan tenggorokan kami. Sebungkus adonan kering pancake saya keluarkan untuk segera dicampur dengan telur, kami akan membuat pancake sebagai ganti makan siang. Namun memang dasar kurang persiapan, maka kami memasak pancake menggunakan panci, bukan Teflon dengan lapisan anti lengketnya. Alhasil menu kerak pancake tersaji dalam warna yang terlihat gagah (gosong), sepertinya pancake kali ini gagal dan tidak laku untuk memenuhi nafsu makan kami :D. Cukup lama kami berada di shelter 2 tersebut, sekitar 90 menit sembari tiduran dan melemaskan kaki untuk selanjutnya menuju ke basecamp.
Berkemas-kemas selesai, saatnya kami menuju basecamp yang kami perkirakan dapat ditempuh dalam waktu 30 menit. Kaki yang mulai serasa mau lepas harus dipaksakan agar jangan lepas :D. selangkah demi selangkah dibumbui doa mengantarkan kami tiba dengan selamat di basecamp pendakian sindoro jalur Sigedang. Alahmdulillah, bisa sejenak melemaskan otot yang tegang, membebaskan pundak dari cengkraman carrier, dan membasuh muka dengan air bersih dan segar. Proses hitung-hitungan mengenai dana yang keluar dimulai dengan singkat dan akurat, sehingga pengeluaran untuk semua logistik per orang terbagi rata. Tiba saatnya untuk menata kembali barang bawaan dengan posisi semua agar tidak ada yang tertukar, saling bersalaman, pamit kepada penjaga basecamp, dan memanaskan mesin motor. Kami segera meluncur menuju rumah masing-masing.
Semakin banyak gunung yang telah saya daki dengan berbagai macam jenis kondisi jalur, kondisi cuaca dan kondisi team membuat serta mengasah intuisi saya. Bagaimanapun semua pendakian adalah bertujuan untuk pulang dan sampai dalam kondisi yang selamat tanpa ada kecelakaan di alam bebas. Semua kecelakaan dapat kita hindari apabila kita dapat mengendalikan diri dan team serta tidak memaksakan kondisi kita sebagai manusia terhadap alam. Alam dan Manusia adalah ciptaan Allah SWT, diciptakan untuk saling berdampingan dan melengkapi, bukan tentang menguasai dan dikuasai. Dari-Nya akan kembali pada-Nya, tetap berdoa dalam berbagai aktivitas serta berfikir logis.
Salam landscaper 😀
7 comments
WAh Alhamdulillah pas ndaki pas cerah gitu ya mas, sehingga viewnya bisa dapet 😀
iya cerah, sayangnya gak bsia lama-lama, jalurnya ini minim teduhan, jadi panasnya lumayan…hahah
Suka sama caption foto ini Mas: “Sayap bukanlah syarat wajib untuk menuju tinggi, sepasang kaki dan setumpuk semangat sudah lebih cukup.” 🙂
Dan yang pasti secangkir kopi untuk dinikmati bersama mereka yang telah berjuang bersama 😀
Asyeeekk hahaha
Kamu suka naik gunung ya?
Kalo musim cerah iya kak 😀