4 agustus 2014, saya sampai di rumah Heru untuk bersilaturahim dan melakukan persiapan pendakian Gunung Sindoro via jalur Sigedang esok hari. Dalam beberapa hari tersebut memang cuaca sedang tidak menentu untuk mendukung pendakian. Peserta yang akan berangkat esok hari rencananya adalah saya, Heru dari Kendal, Agung dari Bantul, Yogo dari Cilacap, dan Harno dari Boyolali. Dari rumah Heru memang mudah untuk memantau kondisi cuaca di daerah yang akan kami daki esok hari. Memang sempat bimbang untuk memutuskan apakah esok akan mendaki atau tidak, karena kondisi jalur Sigedang yang tidaklah akrab untuk pendaki ketika cuaca hujan.
Akhirnya dengan diiringi bismillah, saya kirimkan kabar bahwa pendakian esok hari akan dilaksanakan dengan titik kumpul di pertigaan pasar Ngadirejo, Temanggung. Titik kumpul tersebut memudahkan dari segi jarak terhadap pos pendakian, tidak ada tumpang tindih rute, dan mengisi logistik yang akan kami bawa esok.
Cuaca cerah menyambut dinginya udara di rumah Heru pagi itu, mandi pagi sepertinya masih menjadi pilihan kala itu. Packing semalam membuat kesibukan pagi itu cukup longgar untuk menikmati sarapan sembari menanti udara cukup hangat untuk membilas tubuh. Waktu kumpul yang saya tetapkan adalah pukul 9 pagi di pertigaan Ngadirejo, sehingga pukul 8 pagi saya harus sudah berangkat dari rumah Heru untuk menemui 3 rekan lainnya yang akan menanti kami nanti.
Pukul 9.02 saya sampai di pertigaan Ngadirejo, dan sempat bingung mereka ada di mana karena memang pertigaan tersebut ramai oleh pasar dan banyak kendaraan parkir sehingga menutupi pandangan saya. Akhirnya melalui komunikasi singkat saya dapat menemui Agung dan Yogo yang ternyata sedang menikmati Dawet di depan sebuah toko kecil. Jadi 4 orang sudah berkumpul, saya, Heru, Agung, dan Yogo, tinggal menunggu Harno yang belum ada kabarnya hingga saat itu. Saya sms dan telpon beberapa kali belum ada respon, akhirnya ada sms masuk yang memberitahukan bahwa dia tidak bisa ikut pendakian kali ini. Rasanya mendadak sekali pemberitahuannya, tapi sudahlah kami memutuskan untuk berangkat berempat saja. Pengisian logistik kami lakukan sampai lengkap di pertigaan Ngadirejo tersebut yang di kanan kiri adalah toko bermacam-macam barang.
Setelah proses packing awal selesai, kami bergerak perlahan menuju pos pendakian Sigedang yang memiliki jalur aspal berupa tanjakan sedang hingga berat. Kami membawa motor sendiri-sendiri karena nanti seusai pendakian kami akan kembali ke rumah masing-masing yang berbeda kota. Saya menginstruksikan untuk menjaga jarak antar kendaraan untuk berjaga-jaga serta tidak menganggu akselerasi motor di belakangnya.
Pukul 10.30 sepertinya, kami baru sampai ke pos pendakian Sigedang setelah melewati tanjakan super yang membuat kuda besi kami meraung maksimal. Mungkin jika kami ada yang berboncengan dengan beban carrier seperti ini, pasti ada adegan “turunkan aku sekarang”. Pos pendakian Sigedang berada di selatan jalan, tidak jauh dari gerbang “Perkebunan Teh Tambi”. Basecampnya terbilang kecil, ada parkiran luar dan dalam, parkiran dalam paling hanya mampu menampung 15 motor yang tergabung dengan ruang lesehan yang cukup untuk 8 orang untuk membongkar barang bawaannya. Ada Kamar mandi yang airnya terasa segar sekali, serta pemandangan di depan pos pendakian itu kebun teh menghampar hijau. Saat kami ke sini, ada seorang ibu yang mengelola basecamp ini, juga ibu tersebut melayani pesanan makanan dan minuman untuk mengatasi rasa lapar dan dahaga para pendaki.
Ada beberapa rombongan pendaki lainnya dari Pekalongan yang kami jumpai sedang melakukan packing pada ruangan yang sepertinya tidak cukup untuk kami semua. Kami memutuskan untuk memulai packing ulang setelah rombongan dari pekalongan ini berangkat terlebih dahulu agar lebih longgar. Saat packing merupakan saat yang paling menyebalkan dan penuh dengan akal bulus satu sama lain, hahaha. Tas besar terkadang penuh namun bobotnya akan sama dengan d-pack :D. Rombongan dari Pekalongan sudah berangkat beberapa menit yang lalu, dan packing kami telah selesai, tinggal menunggu ibu penjaga basecamp yang sedang pergi membeli gas. Setelah ibu penjaga pulang, terlihat kerepotan membawa gas elpiji 3 Kg dan gallon serta beberapa kantong plastik berisi sayuran, kami membantu ibu tersebut untuk membawanya dari tepian jalan menuju ke dapurnya. Kami melakukan regristasi berupa menuliskan nama, alamat dan no ponsel yang bisa dihubungi. Untuk sementara masih belum ada tarif retribusi, hanya ada biaya parkir sebesar Rp. 5.000 per motor, ini berarti kami naik tanpa asuransi dan tanpa jaminan 😀 jadi ya seperti biasa, tetap berhati-hati dan berperilaku sopan.
Setelah ibu tersebut mengantar kami ke sebuah persimpangan kecil di tepian jalan aspal yang berjarak sekitar 50 meter dari pos pendakian. Jalan setapak kecil di tepian jalan tersebut merupakan jalur untuk menuju ke puncak, melewati hamparan kebun teh yang terasa sejuk. Setelah kami mencoba menghafal petunjuk jalan yang diberikan ibu penjaga, kami berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian.
Sebulan sebelumnya merupakan bulan ramadhan yang saya isi tanpa kegiatan olahraga, jadilah fisik yang kurus semakin loyo di pendakian kali ini. Kondisi badan kaget melanda saya dan Yogo, serasa hujaman gravitasi mendorong kami untuk berjalan pelan, sementara Heru dan Agung masih melaju dengan segarnya. Pada jalur ini tidak ada yang namanya pos resmi, hanya seperti shelter yang biasa digunakan untuk menampung sementara teh hasil panen untuk kemudian ditimbang dan diangkut dengan truck atau colt terbuka yang biasa lewat pada siang hari. Jalur yang kami gunakan sebenarnya berupa garis lurus yang memotong letter “triple S” yang biasa dilewati kendaraan roda empat, sehingga beberapa kali kami menyeberang santai pada jalan batu tersebut.
Kondisi saya dan Yogo yang memang loyo saat itu membuat jarak basecamp menuju (anggap saja) shelter 1 terlewati selama 30 menit, mungkin jika kami dalam kondisi prima, jalur ini bisa ditempuh dalam 10 hingga 15 menit.
Di (anggap saja) shelter 1 kami berhenti sejenak, mencoba mendinginkan badan yang terasa kaget. Dari (anggap saja) shelter 1 menuju (anggap saja) shelter 2 pada jalur lurus kami ini, ditempuh dalam waktu 60 menit.
Terlalu banyak berhenti memakan waktu sekali pada waktu itu, sehingga akhirnya Agung menawarkan untuk menukar d-packnya dengan tas carrier saya 😀 waaah terima kasih ya gung!!.
Pada (anggap saja) Shelter 2 kami bertemu kembali dengan para pendaki dari pekalongan yang tadi sempat sapa di pos pendakian. Matras dan mantel kami keluarkan sebagai alas kami pada lantai semen (anggap saja) shelter 2. Membuka nasi bungkus yang kami beli ketika di pertigaan Ngadirejo sebagai makan siang kala itu. Sekitar 60 menit kami habiskan di sini untuk makan siang, tiduran dan sholat Dzuhur.
Untuk menuju jalur selanjutnya, dari shelter 2 ini kami bergerak ke arah barat sekitar 50 meter, kemudian ada sebuah pohon dengan papan yang bertuliskan “Dilarang Menebang Pohon”. Tanda tersebut kami jadikan patokan untuk menuju jalur puncak. Setelah melewati pohon dengan papan yang bertuliskan “Dilarang Menebang Pohon” tersebut tepat di samping kami melangkah. Jalan tanah menanjak di antara kerumunan tanaman teh tersebut mulai menandakan kami akan menuuju batas perkebunan teh tambi dengan kawan belukar di atasnya.
Dari perbatasan itulah mulai kami merasakan kerepotan menghalau terik matahari, teduhan pohon sangat jarang kami temui sepanjang jalur tersebut hingga sampai ke puncak. Beruntung sinar sore mulai mendingin dari panas kala siang, hembusan angin mulai terasa sejuk pada ketinggian tersebut. Pada daerah semak ini memang angin lebih terasa karena daerah yang terbuka dan jarang penghalang. Kondisi stamina tetap berada pada Heru dan Agung, sedangkan saya dan Yogo masih megap-megap di belakang mereka berdua. Kondisi jalan mulai berubah baruan keras dan kerikil kasar, namun sesekali melintasi tanah yang tertutup semak.
untuk lanjutannya klik saja pada HIJAUNYA JALUR SIGEDANG MENUJU PUNCAK GUNUNG SINDORO (3153 MDPL) 2 OF 3 ya 😀
3 comments
Kebun tehnya hijau, tapi tetep saja Gunung Sindoro (dan Sumbing) itu kerontang ya Mas, mendaki siang-siang rasanya kayak dibakar. Kerasa banget lihat foto-fotonya saya ikut ngerasa gerah 😀
Sumbing jalur selatan air berlimpah mas, belum sempat saya posting.
Kalau Sindoro jalur utara memang daerah bayangan hujan, makanya ditanami teh 😀
Saya soalnya jujur, agak ciut nyali kalau diajak naik Sumbing Sindoro, yang terkenal gersang. Hahaha. Ditunggu postingan yang jalur selatan Sumbing Mas. Sipp